Sunday, October 18, 2015

Hampir Jadi ‘Manusia Kamar’


Aku namai dia Landas. Usianya lebih muda dariku dan aku selalu menyukai dia. Matanya manis dan cerdas. Menyimpan rekaman luka-luka di masa terdahulu, dekat dengan ketakutan yang suka ujug-ujug datang, tapi jauh dari rapuh. Ah, itu semua cuma rekaanku saja. Perkiraan ngawur buat alasan bahwa aku tidak bakal melepasnya. Kami harus memiliki ikatan, harus jadi teman baik!
Selanjutnya, kami hanya mengetahui bahwa kami berdua cocok buat saling mengobrol. Aku menangkap bahwa Landas mampu memimpin orang lain, bekerja dan memengaruhi. Hanya sebatas itu. Sampai status-status facebooknya bikin aku merinding. Dia matang-matang memaki kaum borjuis. Oh, aku merinding bukan karena itu kali pertama aku baca status macam itu. Tapi aku merinding karena aku bisa merasakan bahwa apa yang dia tulis punya latar belakang yang mestinya unik, bukan cuma keren-kerenan sok jual teori berat. Tentu soal luka. Luka yang harus aku paksa hentikan.
“Aku habis baca kitab Karl Marx.” Jawab landas cekak waktu aku tanya latar belakang status-status ‘ekstrim’ yang dia tulis.
“Ah, bukan cuma perkara itu, kan?” Aku mendesak Landas dengan tatapanku yang hangat. Ini tatapan andalan yang aku yakin bakal menyentuh hatinya. Soal dia, aku harus tahu, tapi bukan buat sekadar tahu lantas bangga dengan apa yang aku ketahui.
Landas diam. Dia menarik napas dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. Yes! Hatinya tersentuh. Tentu saja, itu memang keahlianku.
Mata Landas kembali menatap wajahku, kali ini bola matanya makin berair. Lidahnya mulai bergerak, berceloteh soal luka-luka dan bagaimana dia bisa mendadak tersesap dalam kitab Karl Marx. Bola matanya terus digenangi air, tapi air-air yang mestinya buru-buru tumpah menuju pipinya itu, seperti terganjal di cekungan kantung matanya yang bengkak.
Cerita-cerita panjang dari Landas, akhirnya bisa aku rangkum dalam dua kalimat.
1.      Ibunya kerja di luar negeri.
2.      Bapaknya kawin lagi.
Landas marah dengan keadaan dimana kebutuhan perut sebegitu melilitnya, hingga ibunya mesti pergi jauh. Sosok lelaki baik juga tidak ada dalam bayangannya, dia tidak punya pakem bagaimana seorang lelaki bisa dianggap baik. Dia punya bibit dan bakat jadi seorang pembenci. Bakal jadi kolaborasi yang manis bila berpadu dengan kebisaannya memimpin, bekerja dan memengaruhi. Ruam miliknya bisa sengaja dia tebar…
Aku mestinya waktu itu menangis. Tapi Landas tidak boleh tahu. Melalui dia, aku mesti melatih diri berpura-pura jadi yang paling kuat. Latihan yang aku yakin bakal menjadikan aku sungguh-sungguh kuat.
“Baca cerpen Seno Gumirah Aji, judulnya Manusia Kamar. Cerpen itu aku baca kali pertama di kelas empat.” Ucapku seperti memberi pungkasan yang tidak memuaskan bagi cerita panjang Landas.
Kening Landas mengerut. Ya, dia kelihatan tidak puas betul dengan pungkasan dariku atas cerita panjangnya. Bagimana sebuah cerita yang begitu panjang hanya dibalas dengan sebuah pekerjaan rumah tambahan? Mencari cerpennya SGA, Manusia Kamar.
“Akan aku cari.” Balas Landas. Meski sebal, nada bicaranya kelihatan cukup meyakinkan bahwa dia memang bakal menyelesaikan pekerjaan rumah dariku itu.
***
“Aku sudah membaca cerpen itu, terimakasih. Aku seperti ditampari. Bukan cerpen itu yang menampari aku. Tapi kamu.” Landas berucap sambil menarik kursi buat tempatnya duduk.
Aku terkekeh pendek sambil berkata,”Sama-sama…” tangan aku ulur padanya. Landas memandangi tanganku, tidak juga menyambutnya. Dia seperti mencari titik berat maksut uluran tanganku. Waktu normal menunjukkan putaran pikirannya buat memaknai uluran tanganku hanya beberapa belas detik. Tapi, buatku itu kelewat lama. Aku menarik tangannya. Dia kaget dan lagi-lagi seperti sedang mencari titik berat, makna dibalik tanganku yang menarik paksa tangannya.
“Kamu tidak bakal lepas. Kita adalah teman!” tegasku sepihak dalam batin.
Tentang Manusia Kamar? Secara singkat, cerpen itu bercerita soal seorang tokoh yang memiliki pikiran kelewat super, cerdas, liar dan mendalam soal teori isme-isme hingga hidup. Tokoh tersebut terus mengembara dalam pemaknaan yang dia ramu sendiri hingga pelan-pelan menarik diri dari lingkungan sosial. Sebelum dia benar-benar lenyap, hanya tulisan-tulisannya yang terjejak melalui media massa.
Hubunganku dengan Landas makin kuat, setelahnya. Aku terus menyukainya. Matanya yang manis dan cerdas itu tidak pernah berubah. Bagaimana dia lari dari luka-lukanya dengan cara bergiat di berbagai tempat berbeda juga memikat aku.
Kami dengan ringan bisa saling bercerita,”Oh, aku juga pernah berniat bunuh diri di usia sembilan tahun.”
Aku berusaha memudahkan sedikit hidupnya, dengan apa yang aku punya. Kupingku untuk menampung ceritanya, makananku meski tidak banyak buat mengganjal perutnya. Luka tidak boleh menjadikan dia pembenci. Luka merupakan tempaan yang begitu membanggakan. Bukan ruam yang mesti dibagi lagi pada yang lain. Luka akan berhenti pada aku juga pada Landas.
Ini seperti dulu, mbak Zizi dan mendiang bu Nurul  yang memudahkan sedikit hidupku dengan meminjamkan mata hangat dan kupingnya buat aku. Pertemuanku dengan mereka berdua yang bikin aku yakin bahwa luka itu cukup berhenti pada diriku. Mereka membabat bibit pembenci yang ada pada aku.
“Siapa kamu? Kamu cuma tokoh fiksi, aku yakin.” Ucap Landas satu waktu. Aku lupa sudah yang berapa kali dia berucap seperti itu sejak hubungan kami makin lekat.
Aku menggoyang pelan badanku ke kiri dan ke kanan. Itu membuat motor yang dia kemudikan sedikit oleng ke arah aku menggoyangkan badan.
“Lihat, motor ini aku yang bikin oleng. Aku nyata kan?”
“Aku tidak percaya ada orang seperti kamu. Mungkin aku seperti tokoh yang ada dalam film, bicara di atas motor dengan orang yang sebenarnya hanya ada dalam kepalaku, orang yang aku harap benar-benar ada. Kamu terlalu menyenangkan buat ada.” Balas Landas. Lagi-lagi ucpannya yang satu itu sudah berkali-kali dia ulang sepanjang hubungan kami.
Aku tergelak panjang dan yakin Landas bakal mengulang dua ucapan pamungkasnya itu lagi, lain waktu.
Kuping dan makananku bakal bikin Landas yakin bahwa ruam-ruam miliknya itu harus berhenti pada dirinya saja…

Nyanyian Jodoh (1) Lelaki yang Seperti Ayah


Seorang lelaki yang mendudukkan semua orang di boncengan motornya, bukan karena agamanya, bukan karena paras yang dia punya, bukan karena kecerdasannya, bukan karena hartanya. Bukan karena ada karena. Karena yang ada adalah setipisnya tendensi, rasa bahagia.
Adakah?
Ada.
Ah, apa benar?
Tentu saja.
Siapakah dia?
Ayahku.
Tidak bakal ada, lelaki yang serupa ayahmu lagi.
Memang tidak bakal ada yang serupa dengan ayahku. Namun yang lebih baik darinya pasti ada.
Kamu kelewat idealis! Pemimpi! Pemilih! Ngawur!
Babah, urusanku. Aku mangan ndak njaluk awakmu kok![1]



[1] Biarin, itu urusanku. Aku makan juga tidak minta pada kamu kok!

Friday, October 16, 2015

Sanguin Versus Melankolis: Kencan dan Siomay


Sanguin berjalan berjingkat-jingkat dan makin dekat dengan posisi Melankolis berdiri. Berkali-kali dia meneriakkan suku kata depan nama Melankolis,”Mel! Mel!”
Dua tangan melankolis menutup kupingnya. Dia senang atas kedatangan Sanguin, tapi dia benar-benar tidak ingin Sanguin mengetahui perasaannya yang jujur. Melankolis takut benar jika Sanguin mengejek kejujurannya.
Sampai di depan Melankolis dengan terengah-engah, Sanguin tetap melanjutkan ucapannya,”Hei… Hei… bagaimana kalau kita membeli siomay lalu kita ngobrol bersama? Semacam kencan gitu. Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana?” mesti napasnya terengah-engah, kalimat Sanguin sama sekali tidak terpenggal bahkan malah beruntun seolah tanpa tanda baca koma apalagi titik.
Kening Melankolis mengerut. Dia gembira benar dengan ajak Sanguin. Dia ingin mengobrol dengan Sanguin berlama-lama. Tapi tunggu! Bagaimana jika Sanguin mengejek rasa jujurnya itu jika dia tahu? Begitu pikir Melankolis. Melankolis menyusun kalimat yang sebisa mungkin menyembunyikan rasa jujurnya pada Sanguin.

“Hmm… Maaf, aku belum bisa. Mungkin lain waktu saja, ya? Aku masih ada acara lain.” Ucap Melankolis.
Bibir Sanguin manyun. Mukanya kelihatan tidak berusaha menutupi rasa kecewanya. Tapi, bagi Sanguin, ajakannya itu bisa dia ulang lain waktu. Bila yang terjadi penolakan sekali lagi, dia akan tetap mengulangnya. Hei?! Apa Sanguin tidak punya rasa malu dan sakit hati? Tentu saja rasa semacam itu ada. Namun, rasa penasaran buat mencari celah hati Melankolis terlalu menyenangkan dan mengalahkan rasa malu juga sakit hatinya.
“Oke, baiklah. Bukan masalah.” Sanguin pergi menjauh.
Muka Melankolis makin kelihatan cemas. Dia sungguh ingin menerima ajakan Sanguin. Sayang dia memutuskan buat berkata hal yang sebaliknya. Dalam batin dia merutuk,”Hei! Apa kamu tidak ingin mengajak aku sekali lagi? Ayo, berusaha dong!”
Sanguin makin menjauh dari posisi Melankolis berdiri. Rutukannya tentu tidak didengar oleh Sanguin.
“Hei! Ayo lah! Coba ajak aku sekali lagi, aku pasti tidak bakal menolak ajakan kamu kok! Ayo… kembali kesini, Sanguin!” Teriak Melankolis dalam hati.
Sayangnya, Sanguin tidak dianugrahi kemampuan membaca batin orang lain. Langkah kakiknya tidak juga berhenti.