Friday, October 28, 2016

Rival (2)

Sumber: Dokumentasi pribadi

Cara terbaik membunuh rivalmu adalah dengan memuji.

Karena pujian, membikin seseorang puas kemudian berhenti belajar atau bekerja.

Saturday, October 22, 2016

Agama dan Dua Mangkuk Sup

Sumber: IG Gamelan Kiai Kanjeng

Kurang ada gunanya, tetanggamu tahu bahwa kamu bisa membikin dua mangkuk sup maha lezat dalam sekali pagi, dalam rumahmu sendiri. Lebih ada guna, ketika kamu bisa membantu menata panganan saat tetanggamu itu ngunduh mantu[1].

“Dan sesungguhnya, yang ditunggu orang adalah output sosial dari shalat kita.”
Emha Ainun Nadjib




[1] Pesta pernikahan yang dilakukan pada pihak laki-laki

Tanah Pemakaman Tujuh Agama


Sesuanu dan Sesuancuk pada suatu sore di pinggir trotoar jalan Surabaya, kota Malang…
“Kalau kamu punya uang banyak, mau kamu apakan uang itu, Nu?” tanya Sesuancuk sambil mengunyah beberapa butir es batu dalam mulutnya.
“Mau aku belikan tanah untuk rumah ibadah, Cuk...” jawab Sesuanu.
“Investasi jangka panjang ya, Nu?”
“Begitulah… investasi dunia untuk hidupku kelak di akhirat.”
“Lha… rumah ibadah sudah banyak banget kok sekarang. Pada magrong-magrong [1]semua. Di kampungku saja, rumah ibadah ada tiga dan besar-besar. Bedanya cuma di tanggal lebarannya saja…”
“Terus… kamu sendiri kalau punya uang, pengin kamu apakan uang itu, Cuk?”
“Bikin kuburan dong, Nu…”
“Eh? Buat apa? Kuburan?”
“Ya... buat orang mati, Nu. Rumah ibadah sekarang sudah terlalu banyak, semua magrong-magrong. Padahal, ada yang beribadah di sana juga belum tentu. Beda dengan mati, semua orang pasti mati dan butuh pemakaman. Investasi akhiratku lebih menjanjikan, Nu…”
“Wah… kalau begitu kamu mesti bikin pemakaman tujuh agama, Cuk.”
“Lho? Mesti begitu?”
“Kalau ndak ya… kamu bakal dikira tendensius sama agama tertentu. Lha… rumah ibadah di kampungmu saja yang satu agama, mesti beda-beda bangunannya soalnya beda tanggal lebaran kok…”



[1] Terlalu mewah

Kepada Ujian Nasional: Sebuah Surat Kangen Dari Kami Generasi 90an

Sumber: Gugel


Hai, Ujian Nasional a.k.a UN kabar saya baik, seperti kamu tebak. Nama saya Kenangan, saya lahir di era 90an dan menemuimu kali pertama saat kelas sembilan.

Kala itu orang-orang dewasa di sekitar saya selalu pias saat mendengar namamu, UN. Televisi menyiarkan belasan anak kesurupan sedang ratusan lainnya menangis histeris sambil mengucap nama Tuhan, tiap kamu makin dekat.

Mama seorang tetangga saya yang kelas dua belas, datang ke rumah dengan wajah tegang dan hampir menangis. Ia menceritakan, putrinya meraih nilai delapan dan sembilan pada tiga mata pelajaran dan nilai dua pada satu mata pelajaran yang membikinnya itu tidak lulus.

Orang-orang dewasa di sekeliling saya, tidak ada yang mengatakan bahwa tanpamu, saya tetap bisa ikut paket B atau tetap bisa masuk sekolah lanjutan negeri. Mungkin mereka sengaja tidak memberitahukannya, agar saya berusaha keras buatmu. Ya… biar saya terbiasa dengan usaha keras sebelum dewasa, barangkali. Atau mereka memang tidak tahu, yang tidak terlalu memuakkan ketimbang pura-pura tidak tahu. Selain soal program kesetaraan belum bisa menyamai gengsi sekolah formal sih.

Akhirnya, dengan segenap kekuatan super yang saya punya, les privat sana-sini maksudnya. Tiga mata pelajaran saya raih dengan nilai delapan dan satu mata pelajaran dengan nilai empat. Empat adalah batas nilai terendah yang jika ditotal dengan tiga mata pelajaran lain, berarti saya masih lulus meski cuma dengan rata-rata tidak sampai delapan.

Tidak ada maknanya nilai rapor, ujian sekolah atau gambar-gambar karya saya yang saat itu hampir selalu jadi percontohan oleh guru kesenian. Hanya kamu yang kala itu punya arti.

Beda lagi, saat saya kembali bertemu denganmu di kelas dua belas. Nilai ujian sekolah ada artinya saat itu, meski secara ajaib nilai matematika saya yang hanya lima berubah jadi delapan di ijazah.

Tiga tahun berikutnya, kamu berubah lagi. Nilai rapor dan ujian sekolah setara maknanya denganmu saat itu. Meski begitu, televisi tetap menayangkan belasan anak kesurupan sedang lainnya menjerit histeris sambil menyebut nama Tuhan. Motivator makin laris. Mereka membikin anak-anak sekolahan sesaat menjeritkan nama ibu mereka, sambil memutar musik-musik sedih yang biasa jadi latar berita tragedi di televisi.

Sekarang, saya sudah mengerti, mestinya mama tetangga saya tidak perlu tegang hingga hampir menangis. Putrinya bisa masuk jurusan di perguruan tinggi, yang tidak berkaitan dengan mata pelajaran yang membikinnya tidak lulus. Bahkan tes masuk perguruan tinggi tidak ada kaitannya dengan kamu juga kan ternyata.

UN… nanti tolong inbok alamat terbaru kamu di FB saya, ya. Saya sekarang sudah agak pintar ketimbang dulu buat berdialog denganmu. Lha… waktu saya sudah agak pintar dan pengin ajak kamu berdialog, kok ya kamunya menghilang toh…

Duh… UN…

Salam,

Kenangan

Zizi Hefni dan Caranya Menjadi Manusia


Semaunya sendiri, adalah kesan mbak Zizi untuk saya. Saya bocah SD yang kali pertama bertemu dengannya saat dia masih berkuliah di UIN Malang. Tentu saja, di masa itu saya tidak mengetahui bahwa mbak Zizi yang sekarang menjadi editor Diva Press, juga seorang yang dikenal sebagai cerpenis asal Malang.
Mbak Zizi adalah guru mengaji yang sangat berkesan bagi saya. Dia memikat hati saya, gadis kecil yang karena keadaan jadi berkuping tebal dan hanya percaya pada dirinya sendiri juga Tuhan untuk berbicara.
Saya dikenang sebagai murid mengaji yang selalu punya aktifitas sendiri. Saya tentu tidak mengingat kebandelan saya itu. Mbak Zizi yang mengingatkannya saat kami saling bertukar komentar di FB setahun atau dua tahun lalu.
Kemudian, saya jadi teringat masa-masa di mana teman-teman saya menurut, saat mbak Zizi memberi instruksi buat menulis huruf hijaiyah, sedang saya malah sibuk menggambar sendiri. Betul, saya punya dunia sendiri dan hanya percaya pada dunia yang saya bikin sendiri itu.
“Mengajimu bagus sekali, Pop. Kamu belajar di mana?” puji mbak Zizi. Pipi saya tentu saja panas. Saya jarang mendapat pujian hingga sulit berekspresi sebagaimana semestinya ketika mendapat pujian itu. Saya yakin, saat itu saya terus memasang wajah datar meski sungguh ingin tersipu atau tersenyum.
“Aku ngaji di sekolah, Mbak.” Jawab saya.
“Oh iya? SD mana?” tanya mbak Zizi dengan nada suaranya yang selalu ceria dan menyenangkan itu.
“SD Muhammadiyah 1 Malang.” Jawab saya.
“Oh… pantas…” sahut mbak Zizi yang seperti maklum.
Kalimat ‘oh pantas’ seperti mewakili pengetahuan mbak Zizi soal SD islam yang tentu saja banyak porsi pelajaran agama dan mengaji. Ini kali pertama saya menyebut asal alumni saya di hadapanmu, supaya kamu tidak lelah penasaran soal bagaimana latar belakang saya atau menerka apakah saya budha, katolik atau agama lainnya, hanya karena saya menyenangi kutipan-kutipan Yongey Mingyur Rinpoche atau senang memakai display picture BBM wajah ibu Theresa.
“Mbak Zizi, ada yang bilang menggambar itu haram.” Cetus saya satu waktu.
“Siapa bilang? Kamu kan niatnya menggambar, bukan niat meniru ciptaan Tuhan. Ayo, Poppy bikin gambar. Nanti mbak kirim ke majalah.” Sahut mbak Zizi.
Mbak Zizi menyemangati saya buat terus menggambar. Tidak jarang, dirinya juga membikin suatu permainan berkelompok yang memanfaat kemampuan menggambar saya. Saya merasa berharga dan makin tertarik buat mendengarkannya.
“Mbak… aku nggak bisa doa yang seperti teman-teman itu. Aku bisanya doa iftitah.” Ucap saya saat semua teman dan mbak Zizi sendiri, mengucap doa awalan sholat yang beda dengan yang kadung saya hafal dari sekolah.
“Nggak apa-apa, Pop. Kamu pakai doa yang diajarkan di sekolahmu saja.” Sahut mbak Zizi adem.
Jika mengingat bagaimana mbak Zizi dulu menyikapi perbedaan, maka saya ngilu dengan kotak-kotak aliran itu dan ini yang ada di masa sekarang. Mungkin, kamu salah satu orang yang dengan keras saya tegur saat sengaja membagikan artikel terkait islam, namun cenderung menyerang di sosial media milik saya pula. Kamu sekarang paham apa sebabnya bukan? Selain karena pemirsa sosial media saya bukan cuma yang seperti dirimu, yang sudah merasa benar beragama.
Pertemuan saya setahun lalu, saat mbak Zizi pulang ke Malang juga berkesan bagi saya. Mbak Zizi tidak memertanyakan kenapa saya memakai celana jeans atau kaos lengan pendek. Dia juga tidak memertanyakan sudah khatam kah saya mengaji.
“Selama di Malang, kamu kenalan sama siapa saja, Pop?” tanya mbak Zizi.
Loh… dia justru menanyakan pergaulan saya.
“Aku kenal teman-teman diskusi sampeyan jaman kuliah dulu, Mbak. Mas Denny Mizhar salah satunya.” Jawab saya.
Pertanyaan mbak Zizi, justru mengingatkan saya bahwa soal bergaul, juga termasuk dalam beragama. Bergaul, justru letaknya lebih jauh dan tersembunyi ketimbang syariat atau tata cara beragama yang nampak dari luar.
Bagaimana? Sudah terasa belum? Bahwa yang memahami ilmu, justru menyebarkannya lewat cinta.

Friday, October 14, 2016

Bagaimana Cara Menjadi Manusia?


Suatu saat, tulisan ini pasti akan sampai padamu. Tidak mungkin kamu yang menemukannya sendiri. Saya ingat, kamu tidak pernah terlalu suka membaca. Cara menulismu selalu seperti bahasa dalam pesan singkat, bahkan dalam karya tulis yang jadi tugas kuliah.
Saya tahu, kamu terus berjalan bahkan semenjak kita saling mengusir dan makin merentang jarak. Mereka bilang, kamu mengagumkan. Seorang lelaki agamis yang tidak berpacaran bahkan tidak juga bersalaman dengan perempuan. Itu kamu yang sekarang dan saya tidak tahu apa yang kamu dengar tentang saya dari orang.
Kamu yang dulu, begitu bangganya saat menceritakan bagaimana kakak tingkat di SMAmu memberimu kado, sebuah kitab suci dengan statusnya yang sebagai pacarmu. Kamu yang dulu, bercakap-cakap dengan pacarmu begitu lekatnya, hingga berciuman lewat udara.
“Saya suka dengan prinsipmu, tapi saya tidak suka dengan kamu.” Sebelum saya menatapmu lekat, kamu mengalihkan pandangan dengan jari-jari tanganmu yang bergerak gelisah.
“Prinsip?” tanya saya.
“Soal tidak pacaran...” jawabmu.
“Oh…”
“Lanjutkan prinsip itu. Saya suka…” kamu buru-buru berdiri dan berjalan makin jauh.
Saya tidak pernah menyatakan apa yang jadi prinsip saya padamu atau pada siapa saja. Dan saya tidak perlu tahu bagaimana kamu mulai menerka-nerka.
“Saya kemarin ikut kajian agama di komunitas X. Saya mulai ragu soal saya dan pacar saya.” Ucapmu.
“Segera bikin keputusan, entah itu ragu atau itu yakin. Dia perempuan yang jelas punya rasa, kamu jahat kalau tidak tegas soal hubungan kalian.”
“Oke… saya akan segera bikin keputusan.”
Tidak lama, saya dengar kamu putus dengan pacarmu yang beda kampus itu. Kita sendiri makin menjauh satu sama lain. Kamu dengan caramu mencari jati diri dan saya pun sama.
Saya kemudian mulai melihatmu yang melontar komentar panas soal anti hari valentine, berpacaran hingga percampuran antara perempuan dengan lelaki.
“Saya tidak setuju dengan percampuran antara perempuan dengan lelaki…” ucapmu.
“Percampuran yang bagaimana?” tanya saya.
“Ya… antara perempuan dan lelaki…”
“Kamu suka cak Nun tidak?”
“Ya… saya nonton dia waktu di UMM.”
“Laki-laki dan perempuan berbaur di sana, lintas generasi, lintas profesi, yang bertato hingga yang tanpa tato. Tidak ada sekat buat belajar. Percampuran macam begitu yang kamu tidak setuju?”
Kamu diam dan kembali pergi.
“Cara belajarmu itu salah. Mestinya, kamu belajar syariat dulu baru ma’rifat…” tuduhmu.
“Saya cuma ingin jadi manusia…” balas saya.
“Tapi kamu salah. Kata guruku, mestinya syariat dulu baru ma’rifat.”
Kita makin berjarak setelahnya. Saya jengah dengan agama yang berubah jadi momok di tanganmu. Kamu jengah dengan saya, yang kamu tangkap seperti tidak terikat pada satu tata cara beragama tertentu. Semoga kita menemukan cara menjadi manusia…
Tuhanku yang maha kasih, lihat betapa memuakkannya umatmu ini…
Yang atas namamu, kami saling meretas hubungan setelah perdebatan-perdebatan…

Tambahan November 2021,
Kira-kira 2016 atau 2017, seorang teman lelaki menyatakan kekagumannya padamu di depan saya. Dia bilang, prinsip dan beragamamu keren. Kala itu, dengan lantang kamu menyatakan apa-apa saja yang jadi peganganmu hingga banyak orang tahu memang.
Lalu tahun ini, seorang teman yang lain terkekeh melihatmu mengunggah video berboncengan dan berpelukan dengan pacarmu di media sosial.
Tapi lebih dari itu, saya justru salut atas kejujuran beserta semua prosesmu hari ini. Bukankah proses tidak pernah layak dihakimi? Hanya saja semoga, kita sama-sama sudah saling memaafkan dengan siapa saja di hari lalu yang kita tuding sebagai si tidak benar, lalu dengan legowo juga mengakui kita juga sedang berproses.

Tambahan Mei 2023,
Sampai juang di pernikahan. Semoga langgeng dalam ibadah seumur hidupmu.
Temanmu yang terkekeh di 2021 itu sedang 'merasa paling' juga ternyata. Lantas ia diuji pula di 2022.
'Merasa paling', meski itu dalam hati sedemikian menakutkan ternyata. Tuhan menyiapkan ujian-ujian setiap rasa paling ini berembus. Ya, setiap embusannya.

Monday, October 10, 2016

Sayap-sayap Patah


Jika belum, cobalah bertanya pada dirimu sendiri…

Apakah seseorang yang ada di hadapanmu itu, sungguh memahami dirimu? Atau dia hanya sengaja menyamakan diri atas apa yang kamu pikirkan dan kamu rasa nyaman di hati, demi… mencapai tujuan...

*Judul tulisan saya ambil dari salah satu Lagu Dewa 19 favorit saya


Distopia

Sumber: Gugel
Maka, di hadapan saya sekarang ada kamu. Dengan bibir robek dan pipi biru.
“Hai…” sapamu dengan mata yang redup.
Dengan bola mata yang berair, saya malah mengambil jarak beberapa langkah dari tempatmu tidur.
“Mereka menghianati saya, kamu tahu kan?” kamu lebih panjang berucap meski kesusahan mengatur napas.
Saya justru kembali berjalan mundur beberapa langkah.
“Ya… kamu sudah tahu tentang itu sejak bertahun-tahun lalu. Saya memang yang terlalu utopis, ketika melihat mereka yang seolah mau berjalan bersama saya,” kali ini, kamu bicara sambil berusaha mengangkat kepalamu yang nampak begitu berat bahkan hanya untuk sedikit digeser.
“Saya adalah januari, yang berkali disebut salam lagu seperti katamu. Saya adalah januari, yang juga berkali disebut dalam doa mendiang ibu saya, masih seperti katamu. Saya adalah januari, yang berkali ada dalam omelanmu, lagi-lagi seperti katamu. Saatnya saya minta maaf padamu kali ini…”
Saya mendekati gagang pintu dan mulai memutarnya sambil masih menoleh padamu, yang makin kesusahan mengatur napas dan berhenti bicara.
“Kamu butuh istirahat dan bersekapat pada dirimu sendiri buat memaafkan…” ucap saya sebelum keluar dari ruangan.

Sunday, October 9, 2016

Mendiang Bu Nurul, Bikin Si Anak Panti Jadi Percaya Diri


Saya baru saja memahami, apa sebab saya menulis selama ini. Saat SD kelas dua, saya begitu menyukai bu Nurul Aula. Guru yang menurut teman-teman lain begitu kaku dan galak. Namun, bagi saya beliau justru tegas dan perhatian. 
Siswa paling pintar bisa diapresiasinya dengan melibatkan seluruh penghuni kelas. Persaingan sehat dibentuk dari sana. Bahkan, masing-masing siswa yang menjadi jagoan bisa memiliki simpatisan. Jika di kelas lain, siswa paling pintar, segala apresiasi dan pujiannya seolah hanya dimiliki sendiri. Beda betul dengan kelas yang dipimpin bu Nurul. Siswa paling pintar seperti dimiliki bersama oleh seluruh penghuni kelas.
Bukan hanya siswa paling pintar. Bu Nurul juga memerhatikan keunikan karakter masing-masing siswanya. Pernah suatu ketika, teman saya yang tinggal di sebuah panti asuhan membawa teri balado sebagai bekal. Bu Nurul tidak sungkan memohon ijin buat memakan sedikit bekal yang dengan antusias dikatakan, sepertinya memiliki rasa yang enak.
Saya sangat ingat, teman saya itu buru-buru memberikan satu sendok teri balado dari kotak bekalnya. Wajahnya kelihatan berbinar dan tersanjung, seolah seorang guru yang mau makan makanan yang sama dengan anak panti sepetinya adalah hal yang luar biasa.
Bu Nurul ternyata hanya menyuap sedikit makanan yang ada di tangannya. Selanjutnya, dia memuji masakan pengurus panti, yang dibawa sebagai bekal oleh teman saya itu betul-betul enak. Seluruh kelas bergemuruh. Sebagian siswa yang biasa bergerak lincah segera mengerubungi bu Nurul, memohon sedikit jatah teri balado untuk mereka makan.
Teman saya si anak panti itu makin menunduk dan tersipu. Bu Nurul kemudian meminta lagi sedikit teri balado dari kotak makan miliknya. Banyak siswa yang kemudian mengerubungi si anak panti itu. Semua saling berbicara, meski sekadar memohon ijin buat meminta sedikit teri balado dari si anak panti.
Selanjutnya, teman saya si anak panti itu, begitu diingat teman-teman sekelas sebagai seorang yang mau berbagi teri balado dengan mereka.
Belakangan, ketika dewasa. Saya baru menyadari, cara bu Nurul meminta teri balado adalah buat melibatkan teman saya, si anak panti itu di dalam kelas. Anak panti itu, baru saja bergabung di sekolah saat kelas dua, yang juga jadi tahun pertamanya menjadi warga panti asuhan.
Saya sering melihat beberapa teman perempuan sengaja menjahilinya hingga mata anak itu berkaca-kaca karena sedih. Saya sendiri hanya bisa diam dan duduk di sudut kelas tanpa berbuat apa-apa. Saat itu, saya memang lemah dan belum mengerti sekuat apa sesungguhnya diri saya jika saja saya lebih berani.
Kamu tahu? Saya sangat ingin mengatakan pada bu Nurul bahwa saya sangat menyukai beliau. Namun, saya tidak pernah mengerti bagaimana carnaya. Saya dulunya tidak seperti siapa yang kamu kenal sekarang. Dulu, saya sangat kesusahan mengungkap apa yang sesungguhnya saya rasa.
Menjelang kelulusan, saya nekat masuk dalam ruang guru. Saat itu, tepat ulang tahun saya yang ke dua belas, tanggal lima juni. Saya menyodorkan selembar kertas berwarna kuning pada bu Nurul.
“Eh? Ini buat apa, Pop.” Tanya bu Nurul saat itu.
Dengan tidak berani menatap mata beliau, saya menjawab,”Itu untuk biodata bu Nurul…”
Oh, Tuhan… saya sungguh tidak percaya saya bisa seberani itu. Saya berhasil mengatakan apa yang saya mau pada orang yang sangat saya suka.
Saya ingat, bu Nurul hanya tersenyum kemudian memersilahkan saya duduk di hadapannya.
“Diisi apa nih, Pop?” goda bu Nurul sambil mengetuk-ketuk bolpoinnya di atas kertas.
“Anu… nama, tanggal lahir…” jelas saya sebisa mungkin tanpa rasa grogi.
Bu Nurul lagi-lagi tersenyum dan menyelesaikan biodata yang saya minta. Setelah biodata selesai ditulis dan disodorkan pada saya, buru-buru saya pamit keluar ruangan. Jika saja bu Nurul tahu, saya sesungguhnya ingin berlama-lama duduk di hadapannya dan mengobrol banyak hal. Kelulusan makin dekat dan saya tahu, mustahil melihat bu Nurul setiap hari di SMP.
Ah… pikir saya saat itu, meski saya tidak berani menyatakan perasaan saya pada bu Nurul apalagi berlama-lama mengobrol dengannya, saya setidaknya masih bisa menyimpan tulisan tangan yang saya dapat dari biodatanya itu. Bukankah tulisan tangan juga punya harga?
Bu Nurul meninggal sekitar tahun 2010. Tentu saja, saya menangis. Tidak ada wajah terakhir beliau yang bisa saya rekam. Terakhir, saya hanya bisa menitipkan sebuah kertas yang asal saya comot dari meja perawat bertulis ‘Bu Nurul, You Are The Best Teacher’.
Saya sudah mulai bisa berekspresi saat itu, menulis jadi awalnya. Sayang, kertas berisi isi hati saya pada bu Nurul yang akhirnya bisa saya ungkapkan itu, hanya bisa saya titipkan pada adiknya yang berjaga di depan ruang ICU yang kemudian juga jadi tempat bu Nurul berpulang.
Jika kamu mengenali saya yang barangkali terlalu ekspresif mengungkap sesuatu saat ini, baik lewat tulisan atau juga sikap. Kamu mesti tahu, saya hanya tidak ingin terlambat kemudian menahun dalam sesal…

PERHATIAN: Kupinang Putrimu Dengan Seperangkat Kostum Dan Properti Teater Di Bayar Tunai Pak!

Dibuat di Malang, 2014

“Tujuan hidupmu apa Kak? ,” rasanya aku ingin menyembur isi air yang ada dalam rongga mulutku buru- buru. Pertanyaan itu. Mendadak bikin air mineral yang baru masuk ke rongga mulut jadi pahit rasanya.
“Apa? ,” aku menoleh ke mukanya. Tapi. Tolehanku tidak di balas. Dia terus menghadap arah depan. Bicaraku terlalu buru- buru. Belum semua air dalam rongga mulutku kutelan. Nyaris keluar dari sudut bibir sisa air yang belum kutelan.
“TUJUAN HIDUPMU apa? ,” kata ‘tujuan hidup’ dia tekan tiga kali lipat dari ucapan sebelumnya.
“Eh ,” kugaruki kepala belakangku yang tidak gatal.
“Apa? ,” melirik matanya ingin tahu.
“Tujuan hidup… ,” aku mengulang pertanyaan.
“Iya apa? ,” bola matanya kembali menghadap arah depan.
“Eh ,”
“Apa? ,”
“Tujuan… hidup… ,” lagi. Kuulangi pertanyaan dia.
“Iya apa? ,”
Skak! Telak! Aku terpojok. Ini lebih ngeri ketimbang mesti kuis dadakan salah satumata kuliah. Oh oke. Untuk kuis, aku masih bisa dapat bisikan teman atau asal tembak salah satu opsi ganda dengan cara ngawur. Tapi ini!. Bisikan dari siapa yang aku harapakan?. Kami cuma… berdua!.
“Apa? ,” napasku berkejaran. Dia bertanya lagi.
“Pulang kampung ,” apa yang akan terjadi?. Jawaban macam apa ini?.
“Eh? Aku yang bertanya kurang jelas. Benar juga. Setelah ini liburan. Pulang kampung juga tujuan kan? ,” dia tergelak. Terbahak. Diluar dugaan. Anak ini tidak bikin aku terpojok lagi. Mukanya yang datar mendadak cair. Gigi gingsulnya terpajang bebas.
“Maksudku… ,” ah ini dia. Mukanya kembali datar. Nada bicara itu… pasti menyudutkan aku lagi setelah ini!.
“Seperti aku. Aku ingin lulus kuliah. Dalam waktu dekat aku akan mengulang mata kuliah yang belum meluluskan aku ,”
“Jadi tujuan hidupmu? ,” napasku berkejaran lagi. Aku resmi. Ter-po-jok.
“Eh ,” aku menghentak keras satu tarikan napas.
Dia diam. Mukanya tetap. Datar. Lama. Aduh! Diammu terlalu lama nona!. Kamu mirip dosen- dosen mata kuliah yang sebal lihat kelakuanku. Kabur dari ke-las. Melanglang ke sanggar teater kemudian ngobrol dengan teman yang pura- pura tidak tahu prosesku melarikan diri dari banyak kelas!.
“Oh ,” matanya berbinar. Gigi gingsulnya terpajang lagi.
“Tujuan hidupmu untuk menemukan tujuan hidup itu sendiri. Itulah sebabnya kamu hidup di dunia ini Kak ! ,” dia tertawa. Singkat.
Jantungku panas. Seperti di remas.Ditusuk. Di belah kemudian di bumbui dengan garam dan jeruk nipis.
Aku hidup untuk mencari tujuan hidupku. Tujuan hidup yang akucari dalam hidup. Sebab aku hidup untuk mecari tujuan hidup. Demi tujuan hiduplah aku hidup. Dan. Tujuan hidupku adalah menemukan tujuan hidup.
Ah! Anak ini. Bicaranya selalu bikin aku berpikir sepuluh kali!. Kata- kata yang terbolak balik tapi penuh makna yang mengharuskan akumengakui bahwa… aku sama sekali tidak pernah memikirkan jawaban dari pertanyaan anak ini!. Oh nona… aku ingin…
“Ya. Itu tujuan hidupmu. Itulah kenapa kamu hidup. Mencari tujuan hidup sebabnya ,”dia tertawa lagi.
Aku menoleh padanya. Dia tetap menghadap kearah depan.
Pertama kalinya!. Ya!. Ada orang yang menyebut sebab kenapa aku hidup. Bahkan aku sendiri tidak pernah memikirkan itu!.
Makin keras tawanya.
“Dik ,”
“Apa? ,”
“Besok datang lagi?. Pentas teaternya masih ada untuk dua hari kedepan ,”
“Ya. Mungkin. Aku nggak bawa motor Kak. Angkutan umum daerah rumahku juga susah. Tahu sendiri ,” di renggangkan dua tanganya seperti orang baru bangun tidur.
“Datang sendiri atau aku jemput? ,”
“Ter-se-rah ,” nada bicaranya datar.
“Aku jemput kamu nanti ,” asal saja aku menyahut. Ini keputusan sekenanya. Kata ‘terserah’ seperti memojokkan aku. Untuk me-mu-tus-kan.
“Ya. Boleh. Kabari lagi saja besok ,”
“Sekarang kamu mau pulang? ,”
“Terserah ,” seumur hidup kata terserah baru kudengar dari nona ini. Memutuskan sesuatu bukan kebiasaanku. Rasanya… pahit, asam, manis…
“Tunggu ,” aku buru- buru berlari kebelakang panggung. Secepatnya juga aku keluar.
“Ya… nanti aku kembali lagi. Aku antar dia dulu ,” tanganku melambai kepada beberapa teman disana.
***
“Kak jadi jam berapa?.”
Pesan singkatnya bikin leherku panas.
“Jam 13.30 pentas 1.”
Kubalas secepatnya.
“Oke.”
Hanya oke? Lalu aku mesti jawab apa?. Lama. Kuhentak kakiku. Seperti digigiti semut di dasarnya sepatuku. Eh? Aku menyanggupi untuk menjemput dia bukan?. Tapi aku… bagaimana aku harus datang? Bagaimana aku harus memberi salam? Bagaimana aku harus menunggui di di ruang depan? Dan. Bagaimana dengan satu kelas yang aku lewatkan hari ini?. Haruskah aku kabur untuk menjemput perempuan? Atau kabur ke sanggar tempat teman- teman?.
“Uhm. Nanti kalau aku nggak bisa jemput aku kabari.”
Oh Tuhan!. Sudah kuputuskan. Aku… Ragu!.
“Bisa atau nggak bisa tetap kabari ya Kak.”
Menolak. Aku mau menolak. Mana tega?. Tapi demi mengantar dia kemarin, aku sudah tolak ajakan teman- teman untuk sekadar mengobrol. Tapi…
Lama.
“Sorry. Aku nggak bisa jemput kamu.”
Oh Tuhan!. Aku berhasil menolaknya. Tapi. Apa ini mauku?.
“Oke nggak apa- apa.”
Bukan. Bukan. Aku ingin melanjutkan obrolan yang kemarin dengan dia. Atau… aku ingin diskusi soal pentas kemarin dengan teman- teman?. Oh tentu. Aku ingin keduanya. Bagaimana caranya pilih salah satu?. Bukankah aku sudah berhasil menolak nona itu. Eh? Menolak? Memangnya minta apa dia sampai aku menolak?.
***
“Pagi. Aku bisa jemput kamu.”
Apa yang aku lakukan?. Pukul delapan aku mesti ujian tengah semester. Ujian tersebut lisan!. Tidak tahu pukul berapa ujian itu bakal selesai. Semalam aku tidak tidur. Tidak juga mandi pagi ini.Apalagi belajar!.
Lalu? Aku tidak ingin bikin anak itu kecewa dan anggap aku tidak bisa tepat janji. Hah? Kenapa aku tidak rela dia menganggap aku demikian dan blablabla?.
Sudah. Aku sudah janji. Pukul setengah sepuluh. Ya. Aku janji untuk masuk kelas!. Aku juga janji menjemput anak itu sebelum jam tersebut!. Lalu?. Ya. Bagaimana?. Aku sudah janji.
Tidak. Tidak bisa. Anak itu tidak berhak kecewa. Ujian tengah semesterku tidak berhak terlalu lama menyita waktu. Dan. Berhak aku masuk kelas tepat waktu. Berhak. Semua berhak!.
***
“Kamu bisa menepati janji juga ya Kak? ,” terbahak dia selepasnya.
“Ya. Bisa. Aku bisa. Sangat bisa ,” aku seperti di tampar kata- kata anak ini. Sialan.
“Kamu butuh pendamping hidup sepertinya Kak ,”
“Eh? ,” aku memencet tombol lift.
“Biar teratur. Hidupmu… ,”
“Tapi… ” lanjutnya.
“Pendamping hidup juga butuh makan Kak. Kamu mau kasih makan apa? ,”
Geli. Tertampar. Terpojok. Tapi. Selalu aku menunggu kejutan- kejutan di balik lidahnya. Selalu bikin aku berpikir sepuluh kali untuk mencerna. Namun selalu penuh makna.
“Bapak calon pendampingmu pasti memastikan putrinya dapat kelayakan. Kamu menawarkan apa? ,”
Lama. Diam. Tertusuk.
“Aku bakal bilang Kupinang Putrimu Dengan Seperangkat Kostum Dan Properti Teater Di Bayar Tunai Pak! ,”
Tergelak tawanya. Keras. Paling keras di antara tawa dia yang aku tahu selama ini. Senyum tipis kugelar.
Bodoh kurasa yang aku ucap. Tapi. Balasannya berupa tawa bikin aku merasa ucapanku menghibur dan punya harga.
“Kak ,”
“Ya? ” mukanya kembali datar.
“Aku tahu. Dengan ada aku disini, aku jadi mengganggu kebersamaanmu dengan teman- temanmu di sanggar. Kalian butuh bersama. Butuh diskusi ,”
Pintu lift menunjukkan angka dua. Tujuan kami. Lantai satu.
“Ah nggak kok! ,” ayo- ayolah lift cepat turun. Ingin aku segera mengantar nona ini pulang. Mesti cepat kembali aku ke tengah teman- teman. Sudah janji aku bakal bersama mereka malam ini. Diskusi.
Tapi. Kalau nona ini kecewa bagaimana?. Tidak berhak dia kecewa.
Pintu lift menunjukkan angka satu. Lega. Kami sampai.
Pintu terbuka. Tapi. Anak ini. Diam di tempat dengan muka datar.
“Hey ayo ,” berkata ayo aku namun kakiku tetap di tempat.
“Silahkan duluan. Dulu. Aku pernah hampir terjepit lift. Agak takut aku ,” muka datarnya selalu bikin aku gagal percaya dia pernah melewati hal semengerikan itu.
Melawan ragu. Aku berjalan lebih dahulu.
Bahkan untuk memutuskan berjalan lebih dahulu  atau berjalan belakangan. Aku ternyata… tidak terbiasa.
Sekeluarnya dari lift. Jalan anak ini malah melambat. Was- was aku. Ayolah nona… aku mesti kembali ke teman- temanku. Tapi. Bagaimana cara mengabarkan itu padamu?.
“Jangan cepat- cepat. Aku masih ingin mengobrol dengan kamu Kak ,” astagaaaa anak ini. Betapa nyamannya dia mengatakan hal sepribadi itu. Dari hati? Atau? Karena dia sudah biasa bilang seperti itu pada siapa saja?.
“Eh? Oke ,” aku melambatkan langkah. Luluh aku. Menyetujui perpanjangan waktu bersama dia.
“Kak ,”
“Ya? ,”
“Soal kebiasaanmu merokok. Aku tidak berusaha merubah hidupmu…… ,”
“…..hanya mencoba membuat aku hidup lebih lama ,” aku melanjutkan kata- kata dia yang belum selesai. Hafal sekali aku dengan kata itu. Kata yang sama. Tapi. Selalu bikin aku punya harga.
“Dan lagi. Aku mengobrol dengan siapa kalau kamu mati? ,” heh? Mati?. Ringan sekali dia ucap kata itu. Sederhana. Tapi kata- kata dia barusan bikin harga hidupku terasa lebih mahal lagi.
“Kan ada teman yang lain ,” mengucap kata ‘teman’. Jadi ingat aku  janji dengan teman- teman. Ah. Aku harus cepat kembali. Langkah aku percepat. Lagi.
“Ya. Ada teman yang lain. Tapi beda dengan kamu Kak ,” tangannya menarik tas ranselku.
“Jangan cepat- cepat ,” lanjutnya. Terpaksa kakiku melambat.
Lagi. Kusetujui perpanjangan waktu kebersamaan kami.
“Kita bisa duduk disitu ,” kutunjuk dudukan di bawah sebuah pohon diluar ruangan. Aku duduk. Dia berdiri berputar- putar dua kakinya. Tidak bisa diam.
“Maaf hari ini merepotkan ,”
“Ah. Tidak ,” ya Nak. Aku cukup repot hari ini tapi kamu tidak berhak kecewa.
            “Aku tidak mau seperti itu lagi. Tapi. Terimakasih. Aku merasakan suatu rasa yang aneh selama bersama kamu. Bisa bilang ‘terserah’. Bisa berlagak bodoh soal angkutan kota.Berlagak penakut soal lift.”
            “Aku selalu memutuskan. Aku selalu melangkah di depan teman- teman. Apapun. Mereka selalu bertanya padaku. Bosan aku ,”
            “Bukan masalah. Dengan kamu. Aku belajar memerdekakan diri ,”
            “Hah? ,” dahinya di tekuk.
            Ya. Ya nona. Denganmu aku belajar merdeka. Merdeka mengartikan kata ‘terserah’.
Itu sebuah harga bagi yang merdeka tapi tidak merdeka. Dan. Itu aku…

Sebagian besar percakapan dalam cerpen ini, saya comot dari percakapan saya dan teman saya yang seorang pegiat teater. Saya mengenalnya sejak maba, sedang dia kuliah tingkat tiga. Tipe kepribadiannya dominan plegmatis dan dia kesusahan menuruti maunya sendiri. Hingga sekarang, dia belum lulus kuliah. Dalam cerpen ini, saya mencoba masuk dalam sudut pandangnya.

Monday, October 3, 2016

Zulfikar Si Pengenang VS Poppy Si Pembuat Kenangan


Poppy Trisnayanti Puspitasari. Sumber: Dokumentasi pribadi
Saya lemah soal dokumentasi, betul… saya tidak pernah meletakkan dengan rapi benda-benda yang mestinya bisa dikenang seterusnya. Meski begitu, saya pembuat kenangan yang sangat baik. Saya hobi menulis surat atau gambar buat orang-orang yang saya mau.
Zulfikar Rachman. Sumber: Dokumentasi pribadi
Zulfikar justru kebalikan dari saya. Dia seorang perfeksionis yang begitu rapi menyimpan benda-benda yang bisa dikenang. Namun, soal mengungkap perasaan dia justru sangat kesusahan. Tidak ada gambar atau tulisan yang bisa membantu dirinya mengungkap perasaan.
Sekarang, Zulfikar sudah berangkat ke Jepang. Saya tahu itu dan memutuskan untuk tidak mengucap selamat tinggal. Selamat tinggal, bagi saya adalah sebuah akhir. Sedang ini semua bukanlah sebuah akhir.

Nyenyak

Lolos Workshop Cerpen Kompas Jawa Timur, 2015 (Ketika dikirim berjudul asli, Oleh Sebab Karena)

“Bunda, bagaimana kabar Akbar?” tanya seorang tetangga yang melintas di depan halaman rumah bunda.
“Kabar Akbar selalu baik. Dia juga selalu tidur nyenyak seperti biasanya. Oleh-sebab- karena tidak bakal menganggu dia lagi.” Bunda menjawab tanpa memandang lawan bicaranya. Dia tetap sibuk membasahi tiap pot tanaman miliknya dengan semprotan air dari selang yang tengah dia genggam.
            Tetangga itu cuma menggelengkan kepala. Dia berlalu pergi tanpa tertarik lagi untuk memerpanjang obrolannya dengan bunda. Toh, sapaannya pada bunda memang hanya sekadar basa basi dan tenggang rasa. Sama seperti para tetangga lain yang coba menyapa bunda.
Rumah bunda terletak di mulut gang. Hampir semua orang keluar masuk gang dengan melewati rumah bunda. Bunda sering berada di halaman kecil depan rumahnya. Sepantasnya memang setiap orang yang lewat untuk menyapa bunda, meski hanya sekadar basa basi, tenggang rasa dan pengakuan kecil bahwa perempuan sepuh usia tujuh puluh dua tahun tersebut masih dianggap ada. Dia selalu kelihatan sibuk mengutak-atik pot tanamannya. Tidak ada yang mengerti, apa sebenarnya yang sedang bunda benahi dari pot- pot tanamannya itu. Halamannya selalu berantakan, pot-pot berdiri tidak teratur di sepanjang jalan menuju pintu rumah. Batang tanaman dan kembang dari pot-pot itu juga menjulur ke segala arah. Sangat memungkinkan membuat siapa saja tersandung, pun bunda.
Setiap orang selalu menyapa bunda dengan alasan menanyakan kabar Akbar, putra tunggalnya yang sudah delapan tahun tidak pernah terlihat lagi berkeliaran diluar rumah. Bunda tidak bakal menjawab pertanyaan apapun selain menyoal Akbar. Kabar Akbar baik dan tidurnya nyenyak, selalu hal itu yang di ucap bunda tiap orang lain bertanya menyoal Akbar. Oleh-sebab- karena, juga selalu disebut bunda sebagai sesuatu yang tidak bakal menganggu hidup putranya lagi.
“Baik buruknya kabarku, aku tidak pernah peduli. Aku cuma mementingkan Akbar. Kabarnya harus selalu baik dan tidurnya mesti selalu nyenyak. Oleh-sebab- karena tidak bakal mengusik hidupnya lagi.” Jawab bunda satu waktu, ketika salah seorang tetangga coba menanyakan kabarnya. Setelahnya, jawaban bunda yang demikian segera menyebar ke seluruh penghuni gang. Setiap orang akhirnya tidak pernah berani menanyakan sesuatu yang selain Akbar ketika menyapa bunda. Perasaan bunda sedang berusaha dijaga…
***
Sebutan ‘bunda’ mulai menyebar ke semua orang yang tinggal dalam gang, semenjak Akbar usianya dua tahun. Di usianya itu, sebutan bunda adalah kata pertama yang mampu dia ucap. Dia senang meracau dengan bahasa miliknya sendiri sambil menyebut ‘bunda’ berkali-kali, ketika para tetangga yang lewat depan rumah menyapanya. Semua orang mulai ikut menyebut perempuan berambut hitam kemerahan itu, dengan sebutan bunda, ibunya Akbar.
Akbar senang berlarian di halaman kecil depan rumahnya. Dua kakinya selalu membuat pot-pot pecah dan batang tanaman milik bunda berserakan kemana-mana. Bunda tidak pernah marah. Dia tahu, bahwa putranya itu hanya kelebihan energi, bukan bermaksud merusak apa-apa yang sudah tertata rapi.
Di masa itu, banyak orang yang juga wara wiri di dalam rumah bunda. Mereka adalah pelanggan baju jahitanya. Akbar terbiasa berbaur dengan banyak orang asing di dalam rumah. Dia selalu riang menyambut siapapun yang wara wiri di dalam rumah.
***
            Semenjak Akbar menghilang dari lingkungan sekitar rumah, kedatangan orang-orang yang menjadi pelanggan baju jahitan bunda mulai berkurang. Lama-lama mereka pun benar-benar menghilang. Kemudian, bunda menutup usahanya itu dan mulai bergantung pada uang pensiun mendiang suaminya.
            “Kamu bisa melihatnya, kan? Akbar selalu bahagia dan nyenyak dalam tidurnya.” Ucap bunda pada pelanggan terakhir sebelum usahanya di tutup.
            Pelanggan bunda itu memaksa untuk mengumbar senyum. Sebelum keluar dari rumah, matanya bertatapan dengan mata Akbar. Mata Akbar terbuka, dia duduk di sofa dekat pintu rumah. Namun, bunda agaknya benar soal putranya itu. Dia tertidur dengan matanya yang terbuka. Mata itu sudah tidak bisa menangkap cahaya. Pelanggan terakhir itu bukan orang pertama yang bergidik dan merinding setelah menangkap mata milik Akbar. Setelahnya, dia tidak pernah kembali, pun para pelanggan yang lain.
            “Akbar, sayangku, lihatlah. Mereka tidak mau menjahit baju-baju mereka lagi pada Bunda karena tatapanmu. Bunda tidak peduli. Terpenting bagimu adalah selalu bahagia dan tidur dengan nyenyak. Oleh-sebab-karena tidak akan mengusikmu lagi.” Gumam bunda sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulut Akbar satu waktu.
***
            Bunda selalu menggeleng, setiap Tirta dan Yudha memberi saran untuk memeriksakan kesehatan Akbar ke dokter atau psikiater. Mereka berdua adalah karib Akbar semenjak Sekolah Menengah. Hanya mereka, orang asing yang sering wara wari di dalam rumah, sekalipun usaha bunda sudah ditutup dua tahun setelah Akbar mulai menghilang dari lingkungan sekitar rumah.
            “Tidak. Aku rasa tidak perlu. Akbar sudah bahagia dan nyenyak dalam tidurnya. Oleh-sebab- karena tidak boleh lagi menganggu dia.” Ucap bunda, setiap Titrta dan Yudha memberi saran menyoal kesehatan Akbar.
            “Bunda…” Tirta berhenti melanjutkan ucapannya ketika melihat kantung mata bunda yang mulai penuh dengan air. Padahal, Tirta hanya hendak menawarkan mobil miliknya untuk membawa Akbar pergi ke dokter atau psikiater. Sebuah tawaran yang sebenarnya sudah belasan kali ditolak oleh bunda.
            Tirta dan Yudha saling pandang. Pandangan mereka berbarengan juga mengarah pada Akbar yang duduk sambil memeluk kaki di atas sofa. Matanya terbuka, namun dia memang seperti orang yang tengah tertidur. Dia tidak merespon kegelapan atau cahaya, pun suara tapak kaki orang lain meski itu bundanya.
            “Dulu, dia seorang penggerak yang cemerlang.” Bisik Yudha. Tatapannya tidak lepas dari punggung Akbar yang semakin kurus.
***
Waktu itu, Akbar usianya masih tujuh belas. Dia rajin mengumpulkan anak-anak yang tinggal di dalam gang untuk belajar menggambar tanpa biaya. Akbar pintar berbaur, karakter masa kecil yang masih terus berkembang hingga usianya belasan. Banyak warga yang tinggal dalam gang membolehkan anak-anak mereka belajar bersama Akbar. Tirta dan Yudha, dua karibnya itu, juga selalu di pastikan membantu Akbar mengajar anak-anak. Di usianya yang masih belasan itu, Akbar memang malah sibuk mengajar ketimbang berjalan-jalan seperti kebanyakan sebayanya. Kadang, teman satu sekolah dan beberapa guru juga datang untuk menyumbang buku buat anak-anak asuhan Akbar. Sering juga para donatur berdatangan untuk menyumbang alat-alat belajar. Ide sederhananya, ternyata membuat banyak orang tergerak. Pujian-pujian untuk Akbar dari hampir seluruh warga yang tinggal di dalam gang, selalu mampir ke telinga bunda saban hari. Bunda seringkali cuma tersenyum, berusaha menampakkan mimik rendah hati meski batinnya bangga setengah mati.
“Bar, aku selalu bermimpi untuk memiliki pemikiran yang seperti kamu. Kamu mampu menggerakkan banyak orang untuk berbuat sesuatu.” Ucap Tirta satu waktu.
Akbar cuma terkekeh sambil tangannya sibuk menuang cat ke dalam toples-toples kecil. Beberapa kali kepalanya menggeleng pelan. Baru kali ini, karibnya itu memuji dia sedemikian rupa.
“Tirta benar. Aku pun ingin memiliki pemikiran yang seperti kamu, Bar. Kamu adalah seorang penggerak.” Sambung Yudha.
“Ah, kalian terlalu berlebihan.” Tukas Akbar sambil terus terkekeh.
“Tidak, kami serius, Bar. Aku sendiri juga melihat keihklasan dalam dirimu untuk berbagi semua ini. Sering aku bertanya, mengapa kamu mau memulai hal kecil yang jadi penggerak banyak orang ini. Bagaimana sebenarnya ‘mengapa’ itu sebagai latar belakang atas semua yang kamu lakukan selama ini.” Tirta kembali menyahut.
Dada Akbar mendadak sesak. Keihklasan? Apa sesungguhnya yang di namakan keihklasan? Lalu mengapa? Mengapa dirinya mengajar anak-anak? Sungguh Akbar tidak pernah memikirkan dua hal itu apalagi mengapa sebagai latar belakang atas hal yang dia lakukan. Keihklasan dan mengapa. Mengapa dia mesti memertanyakan keihklasan dan mengapa keihklasan mulai dia pertanyakan sesungguhnya apa.
Setelahnya, di satu waktu yang lain. Akbar mengajukan pertanyaan yang sama kepada dua karibnya itu. “Mengapa kalian berdua mau membantu aku mengajar anak-anak?” kata mengapa ditekan benar oleh Akbar.
Tirta dan Yudha bertukar pandangan sangat lama, pun bunda yang tengah menyuguhkan sirup kelapa di atas meja. Tirta buka suara yang pertama. Napas dia tarik panjang dan lama sebelum dia berucap,”Karena aku ingin mengamalkan apa yang ada dalam hadist-hadist agamaku. Bahwa berbagi memang sangat dianjurkan, meski bukan dengan harta. Untuk itu, aku membantumu, Bar.”
Dada Akbar kembali sesak. Sama sesak seperti kali pertama dia memertanyakan keihklasan dan mengapa dalam dirinya. Setelah mendengar jawaban dari Tirta, matanya melirik Yudha. Senyum kelihatan terpaksa di kembang Yudha. Dia tahu, Akbar, karibnya itu sedang berlaku aneh dengan memasang mimik sangat tegang yang sepanjang pertemanan mereka tidak pernah di perlihatkan oleh Akbar. Yudha juga mengerti bahwa ketidakberesan ini tidak boleh mereka tertawakan atau Akbar bakal sangat terluka dan tidak lagi percaya pada mereka.
“Aku membantu kamu, karena aku bahagia. Senyum anak-anak yang selama ini bersama kita, semua itu membahagiakan buat aku.” Ucap Yudha kemudian.
Mata Akbar mendelik, pun mata bunda yang ikut mendelik setelah kaget melihat mendeliknya mata Akbar. Sore itu, setelah pertanyaan soal mengapa di luncurkan Akbar kepada dua karibnya, dia jadi mengurangi gelak tawa dan dominasinya dalam setiap obrolan.
Sekarang, ada tambahan pertanyaan dalam batin Akbar selain keihklasan dan mengapa. Dia juga mulai memertanyakan soal karena. Apa itu karena? Apakah karena yang menimbulkan sebab? Apakah oleh-sebab-karena, seseorang jadi melakukan satu hal. Bukankah arti ikhlas adalah bukan oleh-sebab-karena. Lalu, dimana letak keihklasan? Dimana? Jangan-jangan dirinya memang dilahirkan sebagai mahluk yang memiliki tendensi yang juga dikelilingi mahluk serupa. Bukankah oleh-sebab-karena adalah bentuk dari sebuah tendensi?
Akbar merasa bahwa dirinya mengalir begitu saja ketika mengumpulkan anak-anak yang tinggal dalam gang untuk bersamanya belajar menggambar. Kelas kecil yang dibentuknya ini menarik donatur buku dan orang-orang yang katanya peduli pada anak-anak juga pendidikan untuk berkontribusi. Bila ditanya mengapa, dia belum pernah memikirkan jawaban yang mengandung awalan karena. Apakah itu yang dinamakan sebuah keihklasan? Jika benar, berarti keihklasannya sudah jauh pergi, ketika dia mulai memertanyakan oleh-sebab-karena. Di sisi lain, tanpa adanya oleh-sebab-karena, Akbar merasa tidak memiliki sebab untuk melanjutkan hal-hal yang sudah dia bangun. Kemudian…
Kepala Akbar berdenyut.
***
Lepas pengumuman kelulusan, Akbar terus melanjutkan kelas menggambar di halaman rumah bersama dua karibnya. Keriangan Akbar makin terkikis saban hari. Kepalanya dipenuhi pertanyaan menyoal oleh-sebab-karena dan dimana letak sebuah keihklasan. Akbar merasa bahwa dirinya makin menjijikkan setiap hari. Dia jijik dengan dirinya yang tidak memiliki jawaban oleh-sebab-karena dan dimana letak sebuah keihklasan. Dirinya tidak berniat membuka kelas menggambar untuk memenuhi tuntunan hadist dalam agamanya. Demi mendapat kebahagiaan? Dia juga tidak berniat untuk memenuhi rasa bahagia dalam dirinya dengan membuka sebuah kelas menggambar. Lalu? Oleh sebab karena apa dia mesti melanjutkan apa yang telah dia lakukan? Motivasi Akbar makin terkikis. Tapi, bagaimana Tirta dan Yudha mampu menjawab oleh-sebab-karena? Pikiran Akbar makin runcing dan kepalanya lebih sering berdenyut.
Akbar mulai sering tidur sepanjang sore. Kelas menggambar akhirnya di komandani dua karibnya saja, tanpa dirinya yang sekarang lebih sering abai. Kantung matanya bengkak dan menghitam. Di malam hari, dia sering kesusahan tidur. Oleh-sebab-karena jadi pokok pikirannya tiap malam. Makin hari makin dalam.
Tirta dan Yudha kemudian sibuk mendaftar ke perguruan tinggi. Saat itu, Akbar malah menambah porsi tidurnya di sore dan pagi hari. Dua karibnya itu sudah menawari Akbar untuk mendaftar bersama ke perguruan tinggi atau setidaknya jika Akbar tidak berminat untuk melanjutkan pendidikannya, dia bisa melamar pekerjaan. Banyak donatur yang menawari biaya kuliah dan lowongan kerja buat Akbar melalui dua karibnya. Para donatur terkesan dengan rekam jejak Akbar dalam menggiatkan kelas menggambar. Tawaran di sekitaran dirinya itu, cuma ditanggapi Akbar dengan kalimat seolah mengiyakan. Matanya juga kelihatan menahan sakit tiap berbicara kelewat banyak karena kepalanya terus berdenyut.
            Kelas menggambar mulai sering diliburkan Akbar tanpa tenggat waktu yang jelas. Anak-anak yang diasuhnya mulai malas kembali karena permainan jadwal yang disusun sekenanya oleh Akbar. Semua itu sejalan dengan dua karibnya yang saat itu sama-sama diterima disebuah perguruan tinggi diluar provinsi. Akbar tidak lagi mampu mengelola kelas menggambarnya sendiri dengan keadaannya pada saat itu.
            “Oleh-sebab-karena apa? Aku mesti melanjutkan hal-hal yang telah aku lakukan? Jika aku menemukan oleh-sebab-karena dalam diriku, bukankah dengan demikian, keihklasanku dalam melakukan sesuatu sudah habis?” gumam Akbar sambil memainkan sendok dalam cangkir tehnya.
            Bunda yang ada di hadapannya cuma geleng-geleng kepala. Dia tahu, dalam diri Akbar makin tumbuh sesuatu yang tidak beres. Keriangan putranya itu sudah lenyap. Pikirannya makin rumit dan runcing. Kelas menggambar yang dia bangun juga bubar lebih cepat daripada lamanya dia membangun. Tiap malam badan Akbar sering menggeliat ke segala arah. Dia kesusahan tidur di malam hari. Putranya itu juga makin malas menunjukkan muka diluar rumah, bahkan hanya di halamannya sekalipun, ia malas.
            “Aku malu pada semua orang, Bunda. Oleh-sebab-karena apa aku melanjutkan hal yang telah aku bangun, tidak mampu aku jawab. Aku sungguh tidak tahu mengapa aku mesti melanjutkan hal-hal yang telah aku bangun. Dengan demikian, aku jadi ingin sekali berhenti melanjutkan semuanya.” Akbar terus menggumam tanpa menyeruput isi cangkirnya sama sekali.
            Kantung mata bunda makin penuh dengan air. Buru-buru dia berdiri menuju dapur, berusaha memunggungi Akbar yang sekarang gemar duduk di sofa dekat pintu masuk. Lebih sering bunda gelisah hingga potongan kain dan jahitan baju pesanan orang yang di serahkan padanya menjadi tidak karuan. Bunda kesusahan menyamakan antara permintaan terkait ukuran dan potongan kain dengan gerak tangannya yang malah sekenanya.
            Tiap malam, Akbar menggumam ditambah menangis. Dia berkata bahwa dirinya ingin tidur dan bahagia. Sering dia juga mengeluhkan kepalanya yang makin sakit saban hari.
            Bunda juga ingin Akbar tidur nyenyak dan bahagia.
***
            Lepas kuliah, Tirta dan Yudha makin jarang mengunjungi bunda dan Akbar. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing yang mereka tekuni. Akbar dapat di pastikan dapat bertemu dua karibnya itu ketika hari raya saja. Makin hari, cahaya dalam mata Akbar terkikis dengan pasti. Pada masa itu, bunda menyebut Akbar telah tertidur meski kelopak matanya terlihat lebih sering terbuka sepanjang hari. Dia tidak lagi menggumamkan oleh-sebab-karena. Tidurnya dianggap lebih nyenyak meskipun bunda tidak lagi bisa mengajakanya mengobrol. Akbar hilang dari lingkungan sekitaran rumah. Bunda sendiri sangsi, apakah anak-anak yang dulunya di asuh oleh Akbar dalam kelas menggambar, masih mengingat muka putranya itu.
            Tirta dan Yudha bukan sekali menyarankan bunda untuk membawa Akbar ke dokter atau psikiater. Namun, ucapan bunda tetap sama. Bunda berucap,”Akbar sudah bahagia dan nyenyak dalam tidurnya. Oleh-sebab-karena tidak lagi mengganggu tidurnya sekarang.”