Wednesday, December 5, 2018

Vonis Dokter Bukan Penentu Nasibku, Cerita Krisna Bocah dengan Low Vision

Krisna di dekat kandang ayam belakang rumahnya. Sumber: Dokumentasi pribadi

Dokter bilang, Krisna cuma bisa hidup sampai tiga minggu. Tapi tiga bulan kemudian, justru bu dokter itu yang menangis waktu lihat Krisna. Nama Krisna itu juga bu dokter yang kasih
Yana (48), Uwak Krisna

Terkena air ketuban sejak lahir, itu yang membuat Krisna yang usianya kini masih dua belas tahun, mengalami low vision atau penglihatan di bawah normal, bahkan nyaris buta. Pada tingkatan tertentu, orang dengan low vision masih bisa melihat dan Krisna salah satunya. Seharusnya, ia menggunakan kacamata, namun karena belum terbiasa dan agaknya cukup mengganggu aktivitasnya, kacamata itu kerap tidak ia pergunakan.

Pemalu, itu yang menjadi fokus saya ketika membaca profil Krisna yang diberikan oleh tim Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC). Anak ini adalah saya di masalalu, pikir saya waktu itu. Dia introvert juga jangan-jangan, batin saya selanjutnya. Jadi seluruh peserta baru mengetahui di keluarga mana akan live in, setelah pelatihan bersama YSTC dan Tempo Institute selesai di hari pertama. Seluruh peserta tidak bisa memilih karakter anak dan jenis disabilitas yang mereka alami.

Dan benar saja, saya maupun Krisna sama-sama introvert. Baru di hari ketiga yang artinya hari terakhir, saya bisa akrab dengan Krisna dan itu saya sesali hingga sekarang. Tinggi Krisna sekuping saya, 150 cm lebih barangkali. Tinggi badannya melebihi anak seusianya. Berat badannya pun seimbang. Krisna anak yang sehat.

Sama pemalu di masa anak-anak, introvert dan kebutuhan khusus, kurang apa lagi? Saya tahu saya dan Krisna akan dekat tapi tidak dalam tiga hari. Ya saya juga kebutuhan khusus. Meski saya masih harus membuktikkannya dengan tes yang lebih detail, beberapa bulan lalu seorang teman mengatakan bahwa seniornya yang seorang psikolog membaca blog saya. Si senior tadi mengatakan, saya gifted. Masalah belajar dan sosial yang saya alami selama ini, persis ciri anak gifted. Dan lagi, senior psikolog tadi mengatakan bahwa pengalaman nyata yang seluruhnya menjadi bahan tulisan saya di blog, adalah ciri utamanya.

Masalah sosial sebenarnya masih saya alami hingga hari ini, tentu saya coba melawannya. Nekat mengikuti Youth Live In Ideal bersama YSTC dan Tempo Institute, adalah salah satu caranya. Beruntungnya, ibu Yana, Nenek, Teh Rosa yang merupakan putri ibu Yana dan bahkan Arjuna, sepupu Krisna, sangat terbuka dengan keberadaan saya.

Ibu Yana sendiri merupakan uwak dari Krisna atau tante dalam bahasa Indonesia. Adik perempuan ibu Yana adalah ibunya Krisna dan kedua orang tua Krisna sendiri, sudah bercerai semenjak dirinya masih berusia tiga bulan. Bahkan ketika Krisna lahir, ibu Yana dan Nenek yang membawa ibunya Krisna ke rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung. Jarak dari rumah ibu Yana sekeluarga menuju rumah sakit, sekitar lima jam jika menaiki transportasi umum. Krisna yang sempat masuk inkubator setelah lahir itu, berangkat dan pulang naik transportasi umum sekeluarga.

Dokter sempat mendiagnosa Krisna yang tidak punya langit-langit mulut, akan selamanya makan dengan disuapi, tidak bisa berjalan dan bahkan tidak bakal bertahan lebih dari tiga minggu apabila dikeluarkan dari inkubator sebelum waktunya. Namun keluarga tetap nekat membawa Krisna pulang dan tiga bulan kemudian, ibu Yana membawa Krisna ke dokter yang sama dan dokter itu menangis.

Dokter perempuan itu meminta maaf pada ibu Yana karena pernah seolah berkuasa atas panjang dan pendeknya hidup Krisna. Dokter itu juga kaget melihat banyaknya porsi susu formula yang Krisna minum. Kini mata kanan Krisna memang buta total, namun mata kirinya masih bisa melihat dengan kabur. Bahkan, kedua mata Krisna sebenarnya hampir buta total. Para dokter sudah menyerah hingga salah seorang dokter mau mencoba mengoprasi Krisna. Jadilah sekarang mata kiri Krisna ternyata masih bisa difungsikan. Bahkan, Krisna jago bermain bola dan bahkan bisa menaiki motor sendiri.

Bahkan di hari kedua, saya bersama ibu Yana, pak Lalang dari Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) dan tim YSTC piknik ke sumber air dekat rumah keluarga ini tinggal. Sumber air tersebut ternyata berupa kawasan sawah yang sangat besar dengan jalanan yang curam dan licin. Namun Krisna justru berjalan dengan ringan dan lincah di antara kami semua. Ketika kami semua pulang, pak Lalang langsung tertidur sedang teman-teman lainnya kelelahan. Namun kami semua justru melihat Krisna dengan santai masuk ke dalam rumah sebentar, lantas pergi keluar lagi untuk bermain.

Krisna telah dua kali membuktikan, bahwa dokter bukan penentu nasibnya. Vonis boleh jadi didasari ilmu pengetahuan, namun usaha manusia dan takdir Tuhan, bikin jalan ceritanya jadi berbeda...

Catatan: Nama disamarkan untuk melindungi identitas anak

#BerpihakPadaAnak
#YouthLiveIn 

Tulisan ini masuk dalam nominasi pemenang. Jadi, sepulang live in dan membuat tulisan, para peserta masih diadu lagi untuk masuk tiga besar.

1 comment:

dian said...

Yes, setuju. Kalau kita menyerah sama vonis dokter, apalagi vonis internet, bisa kelar hidup sebelum dimulai.
Mangat Krisna!!