Thursday, January 10, 2019

Enam Tahun Jadi Narablog, Dituduh Pencemaran Nama Baik

“Maaf, di negara ini kan bebas berpendapat tapi tolong jangan menyudutkan satu instansi karena mungkin saja hasil analisa kamu salah dan belum kamu ulik sepenuhnya lebih dalam lagi. Bisa-bisa kamu kena kasus pencemaran nama baik, jika curhatan kamu ini tidak seperti kenyataan.” Ketik Afsha dalam kolom komentarnya di blog saya.
 
Ketika saya coba klik nama Afsha sebagai si pengirim komentar, ternyata akun miliknya anonim. Akun itu baru aktif Juli 2016 dan dipergunakan untuk mengomentari tulisan yang saya unggah Januari 2017 berjudul (Bukan Esai) Iming-iming Penerbit Indie (Masih Ada). Manipulatif, satu kata itu yang saya pikirkan ketika membaca komentar Afsha yang sebenarnya terdiri dari empat paragraf.
Akun anonim Afsha. Sumber: Dokumentasi pribadi

Saya sendiri mulai mengelola blog semenjak 2009, hanya saja saya berganti-ganti alamat hingga 2013 saya menetap di http://semangkaaaaa.blogspot.com. 2017 adalah tahun ke empat saya menjadi narablog dan sayangnya masih saja saya menemukan modus lomba menulis yang hanya menguntungkan penerbit. Masalahnya bukan hanya menyoal oknum penerbit indie yang berlaku curang, tapi juga menyoal ada saja teman sekitar saya yang ternyata tidak kunjung melek mengenai modus serupa. Padahal, di tahun 2015 saya sempat menulis esai berjudul Iming-iming Antologi Ala Penerbit indie yang diterbitkan di koran lokal. Tulisan sejenis yang lebih mendalam pun bermunculan seperti Jalur Instan Itu Bernama Kedodolan.


Tulisan (Bukan Esai) Iming-iming Penerbit Indie (Masih Ada) sendiri, bermula dari adik tingkat bernama N yang menandai saya dalam pengumuman lomba puisi penerbit PL. Secara garis besar, saya menarik kesimpulan mengenai ketentuan lomba yang sebagai berikut:


1. Peserta mengirimkan naskah
2. Naskah pemenang dan nominasi akan dibukukan
3. Pemenang dan nominasi mendapat potongan harga buku dan harus mengeluarkan biaya sendiri ketika membeli
4. Buku diperjualjualbelikan tanpa royalti kepada penulis, untuk umum

N yang membagikan informasi lomba. Sumber: Dokumentasi pribadi

Persyaratan lomba. Saya copy paste dari website bersangkutan. Sumber: Dokumentasi pribadi
 
Persyaratan lomba. Saya copy paste dari website bersangkutan. Sumber: Dokumentasi pribadi
Berhubung saya dulu belum belajar UU ITE dan di masa itu saya masih meledak-meledak waktu bicara kenyataan, jadinya ya… saya langsung terpantik untuk menulis persoalan tersebut di blog. Apalagi, saya sempat berdebat dengan oknum penanggungjawab alias PJ lomba yang cara bicaranya betulan tidak macam orang yang bergerak di bidang literasi, jauh dari beretika. Oknum tersebut bernama R.

Salah satu percakapan dengan R selaku PJ even. Sumber: Dokumentasi pribadi

Jadilah kemudian saya menulis mengenai penerbit PL dan oknum bernama R lengkap dengan tangkapan layar segala keganjilan tanpa edit. Semua saya cantumkan jelas beserta nama penerbit dan PJ yang asli. Setelah saya mengunggah tulisan tersebut di blog, respon positif saya dapat dari teman-teman penulis, sebagian saya kenal dari Forum Lingkar Pena (FLP), Gramedia Writing Project (GWP), Citizen Reporter Harian Surya dan UKM Penulis UM. Teman-teman ternyata banyak yang merasakan kegeraman serupa terhadap oknum demikian. Melecehkan profesi menulis adalah kalimat yang tepat bagi para oknum tersebut.

 
Rekan Citizen Reporter membagikan tulisan saya. Sumber: Dokumentasi pribadi
Saya tentu sebal ketika muncul akun anonim yang menyudutkan saya kemudian. Pikiran buruk saya waktu itu mengatakan, bisa jadi ini dari pihak penerbit bersangkutan yang merasa dirugikan dengan tulisan jujur saya tersebut. Atau bisa jadi, ada oknum penerbit lain yang melakukan kecurangan sejenis dan juga merasa rugi dengan unggahan demikian.

Komentar lengkap Afsha. Sumber: Dokumentasi pribadi

Sempat juga saya curhat dengan mbak Puput, senior saya di FLP soal komentar manipulatif tersebut. Mbak Puput saya ingat menanggapi begini,”Kamu mencemarkan gimana? Mereka kan emang sudah cemar sendiri dari awal. Aku sama anak-anak FLP dulu juga pernah kena kasus sejenis (bersinggungan dengan oknum penerbit indie curang).”


Setelah saya rasa tulisan tersebut sudah cukup disebarluaskan dan mendapat pembaca yang tepat, pertengahan 2018 saya memutuskan menyembunyikan tulisan tersebut dari blog. Traffic tulisan tersebut yang tinggi dan komentar yang masuk, menunjukkan banyak penulis memiliki kegelisahan serupa dan sama berusaha mencari tahu. Ini bukan berarti saya takut, namun saya berjanji akan menulis hal sejenis dengan lebih cerdik. Tentu sebelum saya menyembunyikan tulisan tersebut, saya sudah menyimpan tangkapan layar tulisan beserta komentar yang masuk.


Begitu banyak kasus dimana seseorang menceritakan fakta, namun ketika hal tersebut ditulis dan dilempar ke ruang publik, orang tersebut justru menjadi salah di mata hukum. Kita semua tentu ingat dengan kasus Prita Mulyasari dan komika Acho. Dengan cara menulis saya yang waktu itu lebih banyak mengajak pembaca menelaah sendiri, posisi saya sebetulnya tidak lemah. Namun pada selanjutnya, saya akan menulis kebenaran dengan lebih cerdik, jangan sampai ketika saya menyebutkan nama pelaku yang bersangkutan, justru menjadi celah saya lemah di mata hukum. Ya… UU ITE memang serba kikuk, bukan?


Bulan Juni tahun ini, genap enam tahun saya menjadi narablog dan saya semakin meyakini, bukan masalah bicara fakta melalui blog, kebenaran tidak pernah salah ketika disuarakan. Blog sendiri tidak memiliki batasan tema dan gaya menulis, sehingga lebih leluasa dipergunakan untuk bersuara. Namun dalam menyuarakan kebenaran sekalipun, kita mesti cerdik. Maka saya tidak akan berhenti bersuara dan akan jadi lebih cerdik ketika bicara fakta…


Tulisan ini disertakan dalam #KompetisiBlogNodi dengan tema Bangga Menjadi Narablog Pada Era Digital #NarablogEraDigital

Tulisan ini peringkat ke 59 dari 438 peserta. Total nilai 68.60. Itu pun, peringkat 59 dan 60 total nilainya sama hehe. Saya cuma menang abjad awal nama.

Penyelenggaraan kompetisi ini sangat profesional dan berkesan. Menghargai tulisan peserta dan edukatif juga. Usai kompetisi, seluruh peserta, mendapat komentar dari juri via email. Bahkan soal saya yang kurang teliti menulis kata 'dimana', tidak luput dari komentar.

Komentar juri. Sumber: Dokumentasi pribadi.

Komentar juri. Sumber: Dokumentasi pribadi

Komentar juri. Sumber: Dokumentasi pribadi.

3 comments:

Siska Dwyta said...

Bener banget mbak, kebenaran harus disuarakan (dengan cara yg cerdik) jangan didiamkan saja, karena nanti korbannya makin banyak.

Saya juga pernah ikut event antologi menulis dari salah satu penerbit indie tapi memang nggak berminat beli bukunya jadi cuma dapat sertifikat saja. Ya masih mending yah saya dapat sertifikat daripada kejadiannya kayak yang mbak sebutkan di atas. Klu nggak beli bukunya nggak dapat sertifikatnya juga. Kan jadi miris ya, penerbit indienya yg untung padahal dalam buku itu ada karyanya kita. Setidaknya dihargailah dengan oemberia e-sertifikat.



Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Hai, Siska. Makasih ya sudah mampir ke blog saya.

Iya, memang serba kikuk. Kalau kita yang ikut even demikian menuntut yang sebenarnya hak, kita akan dituduh sebagai penulis yang bermental lemah dll. Dan mereka yang macam begini aslinya bukan betulan orang literasi, makanya nggak peduli hak dan kewajiban.

Saya akan mengunjungi balik blogmu. Salam kenal.

Jihan Fauziah said...

Saya sudah tobat dulu pernah ikut mbak... heheheeh artikel yang menarik. Semangat menulis terus ya mbak....