Aku
kelas dua belas, kali pertama bertemu dengan Jenny. Dia satu dari beberapa siswa
kelas inklusi di sekolah yang sama dengan aku. Dia autis, anak berkebutuhan
khusus.
Jenny
usianya setahun lebih tua daripada aku. Tapi, dia masih kelas sepuluh.
Rambutnya selalu di kuncir kuda. Seringkali lepek. Ibunya bekerja sebagai guru,
barangkali sering lelah membersihkan rambut Jenny. Gadis biasa seusia Jenny,
mestinya sudah tahu kapan rambutnya mesti di bersihkan.
Kaki
Jenny kecil sebelah. Sangat kentara waktu dia berjalan pelan. Aku, Putri Wulandari
dan Putri Sih, kami sering mengobrol dengan Jenny. Jenny terkesan. Kami di
anggap teman.
Hanya
mengobrol, dan kau sudah di anggap teman. Sederhana, bukan?
Ketika
teman-temanmu yang lain, mau berteman dengan kamu karena kecerdasanmu yang
menguntungkan. Ketika lelaki-lelaki yang mendekati dirimu, berlaku semanis
mungkin untuk mendapat hatimu. Padahal, mereka tidak berlaku manis juga pada yang
lain, mereka berlaku manis, karena satu tujuan, hatimu. Setelah urusan hati itu
hilang, laku manis itu pun ikut hilang.
“Putri,
kenapa kamu pakai kaos kaki pendek dan warnanya tidak putih?” komentar Jenny
pada Putri Sih. Putri Sih memang hobi memakai kaos kaki pendek dengan warna
selain hitam dan putih. Menyalahi aturan sekolah, bukan aturan mode.
Putri
Sih nyengir. Dia menatap Jenny dengan
jahil.
“Aku
ndak punya uang buat beli kaos kaki.”
Aku terbahak. Aku tahu, kalau Putri Sih cuma bercanda. Tapi, Jenny terus
memandanginya dengan serius.
“Kasihan,
kamu orang tidak mampu.” Komentar Jenny. Kedengaran menohok. Tapi, itulah cara
Jenny mengungkapkan apa yang dia tangkap dari lingkungannya.
Seminggu
kemudian. Jenny menenteng kantung plastik hitam. Katanya, berisi kaos kaki. Dia
menghampiri Putri Wulandari, dia bilang kalau dia mesti bertemu Putri Sih untuk
memberikan kaos kaki dalam kantung tersebut. Putri Wulandari mengatakannya pada
aku dan Putri Sih.
Putri
Sih mendadak pucat, dia merasa bersalah. Aku tahu, ucapannya perkara kaos kaki
hanya bercanda. Tapi, Jenny? Dia menanggapinya sungguh serius.
“Aku
emoh[1]
ketemu Jenny, mesakno[2].” Komentar
Putri Sih. Dia benar-benar merasa bersalah. Dia tidak memahami bagaimana
kapasitas Jenny dalam mendengar sebuah candaan. Candaan yang mestinya di
pahami, untuk gadis seusianya.
Jenny
ternyata membawa-bawa kantung plastik berisi kaos kaki itu kemana-mana. Sampai
akhirnya, dia secara kebtulan bertemu aku dan Putri Sih yang tengah makan di
kantin. Putri Sih benar-benar merasa tidak enak. Jenny nerocos kalau dia sudah lama mencari-cari Putri Sih, tapi tidak ketemu.
Putri
Sih menerima sodoran kaos kaki dari Janny dengan kikuk. Dia mengucap
terimakasih berkali-kali, dengan mata terkesan. Wajah Jenny tetap datar.
“Aku
bilang sama Ibukku kalau ada temanku tidak mampu beli kaos kaki.” Oceh Jenny
setelah Putri Sih mengucap terimakasih yang kesekian kalinya.
Perkara empati, Jenny nyatanya nomor satu. Barangkali, dalam pikirannya, dia hanya ingin memberi pada orang yang dia rasa membutuhkan. Sederhana. Dan tanpa tendensi.
Bila ada yang nyeletuk,”Tentu saja! Dia anak kebutuhan khusus, mana ngerti untung rugi. Dia bukannya polos, tapi dia memang begitu dengan kekurangannya.”
Bila ada yang nyeletuk,”Tentu saja! Dia anak kebutuhan khusus, mana ngerti untung rugi. Dia bukannya polos, tapi dia memang begitu dengan kekurangannya.”
Sepenuhnya
salah!
Anak-anak
seperti Jenny, memang di selamatkan Tuhan dengan yang kata orang namanya
kekurangan. Mereka di biarkan memiliki keterbatasan kemampuan berpikir dan
keterbatasan perkembangan emosi. Mereka dibiarkan suci, seterusnya polos, tanpa
tendensi, tanpa mesti terpaksa mengikuti arus berpikir untung rugi, seperti aku
dan lainnya yang di berikan hidup normal.
Selain
daripada itu, pemberian kaos kaki dari Jenny untuk Putri Sih, menunjukkan bahwa
anak kebutuhan khusus seperti Jenny pun, sebenarnya sangat berdaya, mereka
tidak lemah. Mereka mampu berempati bahkan memberi!