Salah
seorang teman laki-laki saya, yang mengakui dirinya bad boy, marah dengan saya tempo hari. Lah… dia ini repotnya minta
ampun. Dia mengakui dirinya bad boy
pada saya. Sebagai teman yang emak-able dan pikiran ala motivatornya selalu
diisi ulang tiap enam jam sekali, saya selalu bilang,”Saya nggak percaya kamu itu jahat. Kamu itu cowok baik. Semua orang itu punya potensi baik, cuma beda kadarnya saja.”
Tapi, dia tidak berhenti juga, terus saja mengikrarkan dirinya itu bad boy dan makin banyak bercerita. Dia
selalu menolak anggapan saya soal kebaikan dalam dirinya. Kan… kan…
Saya
kan juga manusia, adakalanya saya sungguhan rasa dilema ketika si teman bad boy saya ini cerita terlalu banyak.
Dia selalu bilang, menganggap saya ini sama laki-lakinya seperti dia. Ya…
karena dianggap sesama laki-laki tadi, dia dengan bebasnya mengomentari
teman-teman sesama perempuan saya. Ada yang dibilangnya rapuh, ada yang dibilangnya
mudah dibodohi, sampai ada dua nama yang dia sebut sangat asyik andai dia
hancurkan. Nah…
Haks…
haks… bagaimanapun dia mengenal pola pikir saya yang maskulin, meski tampilan
saya kalem dan lemah begini, saya ini juga perempuan tulen, bukan perempuan
KTP. Mendengar terlalu banyak nama disebut dan dikomentari teman saya itu,
kuping saya gatal juga pada akhirnya. Belum lagi, saya sudah rutin jadi
pendengar setianya soal bagaimana dia berhasil menggaet hati banyak perempuan
dan membuat mereka menangis. Bagi dia, menggaet hati adalah tantangan. Masih
menurut dia, dengan menggaet hati, dia tahu seberapa lemah orang lain.
Dua
nama yang disebut teman saya itu asyik untuk dihancurkan, kebetulan teman-teman
yang saya cukup tahu latar belakang keluarganya. Sebut saja Nania, ayahnya
sering melakukan kekerasan psikis di keluarganya. Namun, Nania sejak mahasiswa
baru justru mampu kuliah sambil bekerja. Bahkan, ketika posisi dirinya sendiri
baru pemulihan dari sakit, dia masih berpikir untuk mengantar saya keluar gerbang
kampus dan saya diantarnya ke rumah nenek yang dekat dari kampus, karena
kondisi kesehatan saya saat itu menurun. Nania dewasa jauh melebihi usianya,
dia bahkan mengurus adiknya yang masih SD dengan sangat baik, seperti seorang
ibu. Belum lagi, dia juga setia membantu ibunya di warung keluarga mereka.
Kemudian,
satu lagi sebut saja Anggi. Anggi ini saya juga cukup tahu sejarah hidupnya.
Karena berbagai hal di masalalu, dirinya mesti diadopsi orang lain yang tidak
memiliki keterkaitan darah sama sekali dengannya. Ibu kandung Anggi juga hingga
sekarang, justru tidak pernah memedulikannya. Sedihnya, Anggi sempat terjebak
kasih sayang palsu dari mantan pacarnya, hingga motor pun mereka beli bersama
dan selama menahun pacarnya ini ternyata cowok
pemalas yang berakting rajin bekerja di depan Anggi, tukang selingkuh pula.
Jika
dibanding dengan Nania, pertemanan saya dengan Anggi memang jauh lebih lama.
Saya jadi salah satu orang, selain mendiang kakak angkat laki-laki Anggi, yang
vokal menyatakan perasaan kurang srek
pada mantan pacarnya itu.
“Kamu
nggak usah ganggu Anggi…” ucap saya pada teman bad boy saya itu. Duh, itu kali pertama saya tidak lagi tahan
dengar cerita dia.
“Ini
hidup saya… urusan saya…” jawab teman bad
boy saya itu. Superior… seperti biasa.
Selanjutnya,
saya cerita padanya bahwa saya juga punya teman bad boy yang lain. Wajah teman saya itu kalem dan manis macam wajah
saya begini. Namun, rekam jejaknya mendapatkan perempuan baik perasaan maupun
fisik, sudah tidak karuan jumlahnya.
“Dia
beda dengan saya. Dia baik di luar, busuk di dalam.” Teman bad boy saya itu menanggapi. Berkali-kali memang teman saya ini ngotot, jika dia hanya menggaet hatinya
perempuan, bukannya fisik. Tapi bedanya apa? Menyakiti manusia lain juga, kan?
“Beda…
kalau kamu kan luar dalam sama busuknya hahahaa…” balas saya setengah bercanda.
Lah…
kok ya dia marah. Dia bilang tidak terima saya bilang begitu. Repot juga, kan?
Dia sering sekali ngeyel kalau
dirinya orang jahat dan wablablabla. Saya ngotot
balik kalau dia orang baik, dia mana pernah terima. Namun, begitu pada akhirnya
saya setujui dia orang jahat, dia malah marah.
Kabar
buruknya, si Anggi sepertinya bawa perasaan dengan sikap teman bad boy saya ini. Duh, cewek mana yang nggak merasa istimewa,
waktu dikasih wejangan bijak? Cewek
mana yang merasa nggak istimewa waktu
dipaksa dipinjami jaket? Yang jelas, setelah saya korek sedikit dari si Anggi,
dia memang menganggap si bad boy ini cowok cerdas dan dia juga tidak tahu
rekam jejak si bad boy ini. Jadilah
dirinya merasa istimewa. Ini sudah jelas, yang namanya bawa perasaan, merasa
istimewa, terjadi ketika kamu hanya tahu perlakuan tertentu yang dilakukan si
dia hanya untukmu.
Saya
yakin, Anggi satu waktu pasti membaca curhatan ini di blog saya kok. Saya mau
cerita lengkap ke dia soal cara pandang si bad
boy itu seluruhnya, hati saya sendiri rasanya anu. Untuk mengingatkan
Anggi, saya hanya bilang kalau si bad boy
itu, memang suka kasih jaket dan payung pada perempuan mana-mana saya. Pada
saya tidak, karena saya dianggapnya laki-laki.
Barangkali,
saya telah melukai kepercayaan teman bad
boy saya itu untuk berbagi cerita. Barangkali lagi, baginya saya memiliki
sisi lembut sebagai pendengar dari bagian feminim saya, sekaligus pola pikir
ringan dan logis dari bagian maskulin saya, yang akan nyambung dengan segala ceritanya. Bagi teman saya ini, saya mungkin
paket lengkap seorang teman yang dianggapnya bisa memahami dia. Cara kami
saling bela dan kritik pun, macam sesama laki-laki yang lugas.
Tapi
ya… saya tidak mau kebas pada rasa sakit manusia lain, dengan menerus berusaha
memahami cerita-cerita keberhasilannya menyakiti. Sekali saja, teman saya itu
mesti tahu, teman baiknya sekalipun, tidak akan selamanya menyetujui tindakannya.
Mendadak
saya ingat kutipan menyentil dari 9Gag…
Catut: LINE 9Gag |
Don’t teach boys not to hit girls, teach kids not to hurt anybody…
Kalaupun
saya laki-laki, nurani saya pasti juga bakal kebingungan, saat mendengar cerita
soal menyakiti manusia lain terus-menerus, meski dari teman baik saya
sekalipun. Itu semua… karena saya juga manusia…