Kota Malang tidak pernah lagi sedingin lima belas atau dua puluh tahun lalu. Usia di mana aku masih belajar mengusap ingus kehijauan yang keluar seenaknya dari lubang hidung. Usia di mana bedak putih tebal jadi selimut di pipi dan keningku tiap selesai mandi. Usia di mana papa masih menoleh menuju pintu rumah, kemudian memutar gagang pintu buat menghambur masuk dan memeluk kami.
Pemutar kaset yang biasa digunakan papa, berbedak debu saban harinya. Kaset berisi lagu kesenangannya dibawa serta sejak terakhir dia menoleh pada pintu rumah kami. Itu jadi sebab mama alergi betul dengan pemutar kaset dan lagu berjudul How Do I Live, semuanya kesenangan papa.
“Agni… pacarmu menjemput tuh…” mas Gimbal mengetuk mejaku dengan jari-jari tangan kirinya. Sedang tangan kanannya nampak sibuk dengan nampan berisi kentang goreng pesanan pengunjung yang lain.
“Asem kamu, Mas. Mana ada pacar? Dia teman saja kok.” Mataku mengedar ke depan pintu kafe, mencari-cari motormu. Ada! Tapi di mana kamu?
“Bukan pacar gimana, sih? Mata kamu berbinar gitu kok, tiap dia menjemput kesini.” Mas Gimbal tergelak geli sambil melenggang menghampiri meja si pemesan kentang goreng.
Mas Gimbal, jujur aku tidak pernah ingat siapa nama aslinya. Aku hanya ingat eksekusi rambut gimbalnya itu dilakukan di tempat pacar temanku yang terampil dan punya warung kopi dekat terminal Landungsari.
Kafe ini sudah dibuka sejak rambutnya belum dieksekusi jadi gimbal. Sejak buku-buku yang bisa dibaca dan terpajang di rak belum terlalu banyak. Sejak tubuhku masih langsing. Sejak aku masih senang melekatkan rok bentuk payung di tubuhku…
“Agni, orangnya depan pintu tuh… pacarmu.” Ucap mas Gimbal yang ternyata sudah kembali dengan tangan kosong tanpa beban nampan. Kembali jari-jarinya mengetuki meja tempatku menyelonjorkan telapak tangan.
“Pacar… pacar… ini areal kampus, Mas. Bukan taman kota yang salah guna dipakai pacar-pacaran.” Balasku ketus sambil meninggalkannya yang terkekeh tipis.
***
Ada sebab mengapa papa memilih mama. Mama berperawakan langsing dengan pipi tirus dan bibir tipis. Fasih juga berbahasa inggris. Seorang sarjana yang lulus sidang dengan nilai A. Punya pengetahuan luas karena waktu-waktu luangnya lebih banyak dipakai membaca surat kabar atau buku, ketimbang untuk memoles bedak tipis di pipi atau menebalkan gincu.
“Kecantikan alami…” Ucap papa sambil tangannya mengelap ingusku dan meratakan bedak yang kelewat tebal di mukaku. Itu ucapan pungkasan yang selalu dia sertakan usai menceritakan sebabnya memilih mama.
Tidak peduli aku paham atau tidak dengan ucapannya, papa terus mengoceh tentang sebabnya memilih mama. Aku pun selalu mengulangi pertanyaan yang sama padanya…
“Kenapa mamaku adalah mama, Pa?”
If you ever leave...
Satu baris lirik How Do I Live seperti memaksa masuk dalam kuping dan ingatanku. Lagu kesenangan papa yang tidak jarang diputar di kafe ini.
“Agni… ini coklat hangat dari pacarmu, dia tadi pamit buru-buru ke kamar mandi. Sepertinya dia salah makan sampai diare.” Mas Gimbal menyodorkan coklat hangat di hadapanku.
Aku membuat gigiku tampak bergemeretak dengan jari-jariku yang bergerak gelisah. Itu semua sebagai tanda, aku sungguh tidak senang mas Gimbal menyebut kamu sebagai pacarku. Sebaliknya, dia malah terkekeh sambil melenggang menuju meja lain dengan membawa nampan yang berisi pisang goreng dan macam-macam minuman lainnya.
Lampu-lampu mulai menyala di dalam maupun luar kafe. Tulisan ‘Sembari Ngopi, Membangun Literasi’ yang ada di atas kepalaku juga mulai menyala.
Kafe ini tetap saja buka, bahkan setelah mas Gimbal makin diingat pengunjung dengan rambutnya itu. Setelah buku yang dipajang di rak dan dapat dibaca semakin banyak. Setelah aku sengaja menggemukkan tubuh. Setelah celana jeans kusam ganti melekat ditubuhku. Setelah aku lebih suka duduk di teras kafe sambil menghisap rokok. Oh, dilarang keras menghisap rokok di ruangan dalam, jadi aku lebih senang duduk di teras sekarang.
How do I live without you...
Satu baris lagu kesenangan papa itu lagi-lagi masuk paksa dalam kuping dan ingatanku. Lagu yang nyaris saban hari papa putar di pemutar kaset. Begitu jauh sebelum aku memahami arti kata leave dan without. Memahami, bukan sekadar tahu arti dua kata asing itu…
Kepulan asap yang aku hisap mendadak tidak bisa melayang bebas. Ada mukamu yang menghambat mereka melayang. Ada tanganmu yang mengibas dan membuat mereka berhamburan sebelum bisa melayang bebas.
“Sudah setengah lusin hari ini, Agni,” Ucapmu sambil menarik bungkus rokok yang ada dekat cangkir coklatku.
“Kamu ini lucu. Merokok tapi justru didampingi minuman coklat bukan kopi. Ndak matching istilah kerennya…” kamu terkekeh.
Aku punya maag akut dan tidak pernah tahan dengan kopi sejak awal kuliah. Kamu tahu itu, tapi tetap saja menjadikannya bahan lelucon. Tentu aku kangen berat buat bertemu kopi. Kangenku itu, beda dengan ketika aku melihatmu terus menerus mengedar di sekelilingku, aku justru jengah.
Sayangnya, kamu adalah orang yang belum juga terjawab oleh aku selama ini. Kamu tidak pernah mengomentari tubuhku yang makin menggemuk. Kamu tidak pernah mengomentari rok payung yang sudah cukup lama aku gantikan dengan jeans lusuh. Kamu tidak pernah mengomentari kebiasaan merokokku yang makin kalap, selain mengingatkan sudah berapa batang yang aku hisap selama kita bersama dalam sehari.
Kenapa kamu terus bersama aku? Aku sedang mencari-cari sebabnya…
Pasti ada sebab. Layaknya dulu papa memilih mama. Sebab yang jika hilang, kamu bakal melenggang pergi.
***
Mama menurut saja waktu papa menyuruhnya tinggal di rumah sepanjang waktu. Kami tidak pernah kekurangan makanan atau cemilan, papa yang membuatnya begitu. Mama merawat aku dan rumah kami saban hari.
Pipi tirus mama mulai menggembung. Dia tidak lagi sempat menyentuh apalagi membaca surat kabar dan buku. Kosakata-kosakatanya dalam percakapan bahasa inggris seperti minggat dari dalam kepalanya karena tidak pernah dipergunakan lagi. Satu hal yang tetap sama, bibirnya yang tipis.
Semua sebab papa memilihnya sudah lenyap. Kami tidak pernah kekurangan makanan dan cemilan. Namun kami mulai kehilangan muka girang papa tiap memutar gagang pintu. Langkahnya makin lamban ketika melewati pintu. Dia tidak pernah lagi menghambur buat memeluk kami, setelahnya.
Semenjak saat itu, aku selalu bertanya-tanya soal sebab. Bagaimana jika di masa depan aku mendapati seorang lelaki memilih aku karena sebab? Dan bagaimana jika sebab itu lenyap bersama lelaki yang memilihku itu?
Badanku gemetaran tiap memikirkannya.
Maka tanpa kamu minta, aku cerita soal para lelaki yang mengedar di sekelilingku selain kamu. Berkali-kali sebab mereka memilihku juga aku ceritakan padamu. Sesekali aku lihat bola matamu berkilat, marah dan gigimu bergemeretak, mungkin kamu sedang cemburu. Kemudian, seperti buru-buru, muka kalem dan senyum tenang kamu ulas lagi.
“Kamu cantik alami. Kulitmu cerah tanpa polesan bedak. Badanmu juga sangat ideal” Ucap seorang lelaki.
Maka aku mulai senang telanjang tengah hari di balkon rumah hingga kulitku menghitam. Aku sembarangan minum banyak antibiotik hingga metabolisme tubuku rusak dan tubuhku menggemuk. Lelaki itu pun pergi.
“Kamu sangat cerdas dengan argumen-argumenmu di forum.” Yang lain berucap.
Maka aku mulai menunjukkan argumen-argumenku yang penuh logical fallacy di dalam forum. Seperti lelaki sebelumnya, aku mendapati kepergian.
“Kamu sangat cocok dengan rok payungmu itu. Dan lagi, kamu kalem, tidak juga merokok.”
Sebab lain aku temukan dari lelaki yang lain lagi. Setelahnya, aku mengganti rok payung dengan jeans kusam dan mulai merokok. Kepergian lagi-lagi dapat jelas aku tangkap.
Aku terus mencari sebab mengapa kamu mengedar di sekelilingku. Belum juga ketemu…
***
Mataku mengerjap merasakan hangatnya lampu di Unit Gawat Darurat. Telapak tangan kiriku terasa hangat. Ada kamu menggenggamnya.
“Mas Gimbal dan teman-teman di Kafe Pustaka menemukan kamu pingsan di lantai kamar mandi dan… berdarah,”
Lalu mereka memilihmu buat jadi pahlawan di hadapanku. Bukan begitu?
Aku memesan pil aborsi dari internet dan mendapatkan pesananku semalam. Kemudian, aku meminumnya. Aku tidak sedang hamil. Berciuman atau tidur dengan lelaki saja aku belum pernah. Agaknya, langkahku itu membuat gangguan hebat di dinding rahimku. Aku memang mengharapkannya.
Seorang lelaki beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dia ingin anak-anaknya lahir dari dalam rahimku, itu sebabnya dia memilihku. Maka aku mencoba meluruhkan saja rahimku. Aku ingin tahu, apakah setelah sebab itu lenyap, dia bakal lenyap juga seperti lelaki-lelaki lain dalam hidupku.
Tangan kiriku makin menghangat. Genggaman tanganmu makin kuat. Ada detak yang berkejaran makin cepat dalam dadaku.
Kamu tidak pernah berhenti mengedar di sekelilingku. Dan aku sedang mencari sebabnya apa. Maka aku mulai berencana membuka suara.
“Dewa, kenapa kamu tidak pernah berhenti mengedar di hidupku?” aku benar-benar buka suara.
Kamu melongo mendengar pertanyaanku. Setelahnya kamu malah tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Tubuhku gemuk, kulitku hitam dan sepertinya aku bakal mengalami gangguan pada rahimku buat seterusnya.”
Dua tanganmu menjepit telapak tangan kiriku sekarang.
“Agni, kamu perempuan yang kuat. Tidak seperti yang lain, kamu tidak pernah berciuman apalagi tidur dengan lelaki. Kamu adalah sebuah hadiah buat seseorang yang menua bersamamu kelak.”
Aku memejamkan kedua mataku. Bola mataku terasa panas. Dalam kepala, aku mulai mengingat-ingat lelaki mana saja yang pernah mampir dalam hidupku. Sekeluarnya dari Unit Gawat Darurat, aku bakal meminta salah satu dari mereka berciuman dan tidur denganku. Setelahnya, apakah kamu masih mau mengedar dalam hidupku, Dewa?
Aku terus bertanya-tanya dan juga akan terus berusaha menikam semua sebab…