Sumber: Gugel |
Kamu tentu sudah sering sekali dengar bahwa, mimpi itu bunganya tidur. Ya... Cuma bunga, aksesoris biar jadi indah saja. Sebagian pendapat lain yang pernah kamu dengar, barangkali adalah mimpi itu kumulasi dari hal yang paling banyak kamu pikirkan di dunia nyata. Dan hari ini saya ada di sebuah sekolah dan stasiun. Kemudian di akhir adegan yang menimbulkan debaran halus itu, saya dan kamu terus bergandengan tangan, menatap kereta yang panjangnya mustahil ada di dunia nyata.
Tiba-tiba kita sekolah di satu SMA yang sama. Ketua kelasnya seorang anak perempuan, tidak terlalu pintar tapi jago momong semua orang. Kamu dicap siswa paling encer dan tidak jelas cap saya apa di dalam sana. Semua orang, bahkan kamu sekalipun pasti pernah mengalami bagaimana mimpi itu kita sadari sebagai mimpi. Rasanya bikin lelah. Kadang saya bisa mengendalikan ceritanya dan kadang tidak. Padahal semestinya mimpi itu mengistirahatkan sementara kepala dan hati saya, membiarkan segalanya tanpa kendali. Sayangnya, saya nggak bisa. Saya kelewat takut semua berakhir buruk jika tanpa campur tangan saya.
Seperti malam ini, saya menyadari semuanya mimpi. Tapi sialnya, saya nggak bisa mengendalikannya sama sekali. Tahu-tahu si ketua kelas itu bikin beberapa kelompok kerja di kelas. Ketua kelas itu bilang pada saya, ada satu anak paling bebal dimasukkan sekelompok dengan saya dan kamu. Alasannya? Kecerdasan sosialmu kata si ketua kelas tidak bagus. Si bebal itu perlu berbaur dan orang seperti saya sangat cocok ada di antara kalian berdua; si paling encer dan si paling bebal.
Saya lantas memuji-muji kecerdasan sosial ketua kelas. Bahwa ia memikirkan begitu banyak orang, bahwa ia kelak pasti akan menjadi orang besar dengan kecerdasannya itu. Kemudian debaran halus itu mulai datang, munculnya dari dada. Kamu datang dan betul kita menggabung dua bangku jadi satu buat kerja satu kelompok. Dan betul kata si ketua kelas, saya bisa mencairkan suasana antara kamu si encer dan dia si bandel. Tapi sialnya debaran halus itu nggak kunjung hilang, apalagi ketika detail wajahmu itu terus saya ingat dan tahu-tahu kita sudah ada di stasiun.
Kamu berlarian menuju kelas, bayangan stasiun tiba-tiba lenyap. Langit cerah kira-kira pukul sepuluh. Tidak ada percakapan antara kita tapi saya tahu, kamu terburu-buru, serupa keringat yang berleleran di keningmu itu. Kamu mengajak saya ke stasiun secepatnya. Tidak ada penjelasan kamu akan mengajak saya pergi kemana atau kamu yang justru akan pergi kemana meninggalkan saya.
Tapi waktu ternyata mendesak. Jarak antara ajakanmu dan jadwal kereta ternyata mepet. Jadi kita mesti berlarian menuju stasiun. Tidak ada jalanan atau kendaraan atau gerbang sekolah. Tahu-tahu kita sudah ada di pelataran stasiun, bergandengan tangan dengan terengah-engah. Saya cemas sekali. Ada debaran ketakutan ketinggalan kereta dan ada debaran halus yang menyenangkan waktu kita bergandengan tangan. Saya semakin sadar semuanya mimpi. Saya ingin pipis tapi justru takut bertemu kamar mandi dalam mimpi. Hawa rasanya dingin sekali tapi saya terlalu ngantuk buat meraih selimut. Kata orang-orang, ketika kita ingin pipis, kamar mandi bisa datang dan ketika kita betul-betul pipis, kita artinya mengompol di dunia nyata. Jadi dalam mimpi itu, saya ingin pipis, takut ketinggalan kereta dan berdebar menggandeng tanganmu. Sunggguh saya ingin mengendalikan semuanya malam itu. Bahwa saya seharusnya nggak perlu menggandeng tanganmu. Tapi mimpi malam itu kelewatan bebalnya. Saya nggak bisa mengaturnya sama sekali.
Selanjutnya, kereta melewati kita dan tidak kunjung berakhir. Panjang kereta itu luar biasa. Kita tetap bergandengan dan hanya berdiri menatap. Saya kemudian ingat, juli ini bukannya kamu sudah menata perjalanan studimu ke luar negeri lagi? Saya melihatnya dari sosial mediamu. Menyedihkan bahwa saya bahkan tidak memberimu kesempatan bercerita.
Saya sedih dan merasa menyakitimu terus. Kemudian saya memblokir semua akses komunikasi kita, tidak berusaha memerbaikinya seperti biasa. Dalam hati saya ingin pergi seterusnya dan dalam bagian hati saya yang lain, saya ingin kamu yang berusaha.
Kereta itu terus berjalan di hadapan kita, suaranya makin keras. Genggaman tangan kita selalu lembut dan tidak tahu siapa yang lebih dahulu memulainya. Saya menoleh padamu sambil terus ingin pipis. Wajahmu lurus menatap kereta yang panjangnya tentu aneh jika ada di dunia nyata.
Ketika itu saya menyadari, bahwa mimpi memiliki algoritma. Seperti halnya sosial mediamu yang menampilkan profil yang paling sering berinteraksi di beranda. Bahwa saya memimpikanmu karena saya entah berapa banyak memikirkanmu di dunia nyata. Tapi tetap pagi itu kita nggak kemana-mana, hanya menatap lurus kereta. Ketakutan saya bukan lagi soal akan pipis dimana atau akan ketinggalan kereta. Tapi ketakutan saya adalah ketika mimpi itu berakhir, kita berpisah.