Sepuluh tahun, adalah rentang waktu yang paling jernih buat mengenali diri masing-masing, bagi Abimanyu pun bagi Sumirah.
Bahwa ketika mereka bertemu kembali, Abimanyu telah berpikir bahwa Sumirah tidak akan memahami bidang yang dirinya kerjakan, banggakan. Sarjana ekonomi, hendak menjadi akademisi dan pergi ke luar negeri.
Bahwa ketika mereka bertemu kembali, Sumirah telah berpikir Abimanyu tidak akan memahami bidang yang dirinya kerjakan, banggakan. Lulusan SMA yang populer dari kampung ke kampung, pegiat tari dan teater.
Kepada pemuda-pemudi kampung, Abimanyu bilang jika orang-orang di luar sana menanak nasi tanpa perlu dilemparkan ke dinding, untuk tahu nasi itu telah matang atau tidak. Nasi itu akan matang sendiri, selagi ditinggal pergi.
Kepada pemuda-pemudi di luar sana, Sumirah bilang jika di kampungnya, orang-orang giat menebas kayu sendiri. Nasi ditanak menggunakan kayu dan tentu baunya lebih wangi. Meski ya... Sumirah mesti melemparkan sedikit nasi ke dinding buat tahu nasi itu sudah matang atau tidak.
Selain doa yang tertaut untuk keberkahan hidup masing-masing, tidak ada yang dilihat Abimanyu dan Sumirah selain rentang waktu dan perbedaan yang kian lebar saban harinya.
|
Jepreted by: @yoannes95 |
Jika pemahaman mengenai keberagaman biasanya hanya dilaksanakan dalam
seminar-seminar dalam kampus maupun kajian melalui komunitas tertentu,
lain halnya dengan Youth Interfaith Tour 2.
Kegiatan yang diinisiasi komunitas Youth Interfaith Peacemaker
Community (YIPC) justru dilaksanakan dengan cara mendatangi gereja dan
biara.
YIPC bersama Gudsurian dan Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU)
memulai tour, Minggu (20/5/2018), dari Gereja Paroki Gembala Baik, Batu.
Para peserta menuji ke Biara Flos Carmeli Batu, yang letaknya tepat di
seberang gereja. Mereka berkumpul dalam satu ruangan dan dipertemukan
dengan seorang biarawati. Baik biarawati maupun para peserta, bebas berdialog dan mengajukan pertanyaan.
Melalui pertemuan itu, para peserta mengetahui kebiasaan-kebiasaan di biara, termasuk tata cara makan yang unik. Para biarawati makan sambil mendengarkan doa di sepanjang acara makan. Para peserta juga diberikan pemahaman mengenai cara berdoa para biarawati yang lima kali sehari dan hak milik sebelum masuk biara, yang diselesaikan secara hukum melalui notaris.
“Kegiatan ini menjadi salah satu cara untuk menyaksikan keseharian
mereka yang tinggal di dalam biara,” ujar Agung Kresdianto, salah
seorang inisiator Youth Interfaith Tour 2, yang juga bergiat di YPIC dan
Gusdurian Batu.
Yang menarik, peserta diperkenankan masuk ke dalam kapel tempat para biarawati berdoa. Usai berdialog dengan biarawati
dan mengunjungi kapel, para peserta diajak kembali ke Gereja Paroki
Gembala Baik. Para peserta masuk ke dalam gereja untuk mendapat
penjelasan mengenai tata cara beribadah dan juga berbagai istilah dalam
agama Katolik.
Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Biara St Maria Batu, yang
letaknya 500 meter dari gereja. Jika di Biara Flos Carmeli, para biarawati betul-betul berkegiatan di dalam biara, lain hal dengan para biarawati yang tinggal di Biara St Maria.
Biarawati di Flos Carmeli disebut kontemplatif (pertapa), sedangkan biarawati
di St Maria disebut misionaris (aktif). Biarawati di sana tugasnya di
dalam biara. Di St Maria, mereka sesuai kebutuhan masyarakat dan sesuai
dengan bakat dan minat.
Kegiatan diakhiri pukul 15.30. Masuk ke dalam biara menjadi pengalaman unik untuk peserta dari berbagai agama itu.