Sumber: Dokumentasi pribadi |
Oh,
tidak… tidak… kamu keliru jika mengira buku ini berisi halal dan haram dunia
homoseksual. Tapi jika kamu berpikir isi buku ini demikian, merasa jijik,
bahkan lebih jauh berpikir penulisnya pantas dirisak, lebih baik tutup dahulu
resensi buku ini dan baru kembali lagi dengan itikad yang sama; sebagai sesama
manusia.
Membaca
berbeda Pelangi, nyatanya cukup membuat terkejut. Ansyah di sini sebagai
minoritas malah berusaha betul memakai narasi heteroseksual dalam
tulisan-tulisannya. Bisa dikatakan, buku ini dibuat oleh seorang homoseksual
yang isinya justru ramah terhadap heteroseksual. Nah, bagaimana nih? Yang
minoritas justru yang berpikir bagaimana membuat nyaman yang mayoritas.
Buku
ini sendiri diambil dari tulisan-tulis di blog Ansyah selama ini. Kata
penulisnya sih, ini blog trafficnya suka naik setiap ada media yang
memberitakan homoseksual dalam pusaran konflik.
Baik,
kita mulai dari Berbeda Pelangi yang isinya bukan halal dan haram…
Ditulis
menggunakan gaya bahasa personal dengan tidak banyak sudut pandang orang
pertama, halaman 19 berjudul Salahkah Menjadi Gay? Ansyah menyajikan dua sudut
pandang antara salah dan benar dalam dunia gay. Tidak ada kesimpulan yang
memperjelas posisi sikapnya di sini. Pembaca pun, seperti dibiarkan memilih
sikapnya sendiri. Tidak ada kalimat yang menganjurkan pilihan tertentu.
Sumber: Dokumentasi pribadi |
Format
menulis dalam tulisan ini, dibuka dengan paragraf pembuka berisi pro kontra
soal dunia gay secara umum. Baru kemudian, masuk sub judul; Salah dan Benar,
selanjutnya kesimpulan.
Hal
pertama yang kan dibahas adalah sisi salah. Ada yang mengatakan apapun alasan
yang mendasari seseorang menjadi gay, itu adalah sebuah kesalahan. Tak jarang
gay disebut sebagai, ada yang bilang gay itu kelainan gen, atau bahkan lebih
ekstrim itu gangguan jiwa. Mereka yang menganggap gay adalah sebuah kesalahan
pada dasarnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu agama, budaya, sosial dan
hukum. (hal 20)
Demikian
isi paragraf awal sub judul Salah. Masih dilanjutkan pembahasa agama, budaya
dan sosial. Penulis pun di sini tidak meletakkan diri sebagai seorang ahli
namun lebih kepada seorang teman. Hal ini terlihat dari kalimat ...mari kita
bahas dari segi agama terlebih dahulu. Koreksi saya jika salah…
Sub
judul ini dipungkasi narasi bahwa ternyata menjadi gay pun masih menjadi
perdebatan di antara teman-teman gay sendiri. Pengetahuan ini tentu baru, bagi
teman-teman hetero yang jarang atau sama sekali bersinggungan dengan
homoseksual. Narasi ini masih disusul penjelasan mengapa dari perdebatan ini,
ada gay yang akhirnya menikah dengan wanita. Dalam cara pandang hetero, gay
yang menikahi wanita boleh jadi dianggap kebohongan dan kejahatan, namun dalam
sub judul ini, terang dijelaskan bagaimana korelasi anggapan menjadi gay salah
hingga seorang gay yang akhirnya memutuskan menikahi perempuan. Ada motif yang
ternyata lebih rumit dari yang dikira sekadar kebohongan dan kejahatan.
Sumber: Dokumentasi pribadi |
Paragraf
berikutnya berisi sub judul Benar. Terdapat bahasan Hak Asasi Manusia (HAM).
Pembahasan seputar setiap manusia memiliki tanggungjawab dan pilihan
masing-masing. Kemudian dipungkasi pembaca dipersilahkan memilih sendiri mau
mengambil sudut pandang yang mana.
Judul-judul
tulisan yang ditelakkan di awal buku, memang banyak yang membahas pertentangan
mengenai gay itu sendiri. Peletakan judul-judul tulisan ini agaknya dalam upaya
merangkul pembaca hetero yang bisa dipastikan, mula-mula pasti masih bertanya
seputar gay salah atau benar? Gay takdir atau pilihan?
Meski jika
meletakkan diri sebagai hetero yang sama sekali belum pernah bersinggungan
dengan gay, ada beberapa judul yang lebih baik disusun ulang. Beberapa di
antaranya, Gay Liberal VS Konservatif dan Pernikahan Semu di Kalangan Gay. Gay
Liberal VS Konservatif bisa diletakkan di awal buku, setelah jusul-judul
seputar perdebatan seperti Mau Kapan Jadi Seorang Gay? Hingga Gay, Pilihan Atau
Takdir. Cukup disangakan ketika Gay Liberal VS Konservatif yang mestinya jadi
pembahasan awal, malah diletakkan di tenagh buku oleh Ansyah.
Kemudian
Pernikahan Semu di Kalangan Gay, lagi-lagi judul ini diletakkan di tengah buku,
padahal judul yang saling terkait justru ada agak jauh di halaman sebelumnya.
Judul ini lebih cocok diletakkan sebelumatau sesudah Jika Ayahku Seorang Gay,
Jika Anakku Seorang Gay dan Jika Suamiku Seorang Gay. Satu lagi judul yang
cocok diletakkan di antara tulisan-tulisan yang saya sebut ini, Kisah Wanita
yang Menikah Dengan Seorang Gay. Tulisan ini berisi contoh kasus dan justru
diletakkan terlalu jauh dari judul-judul terkait, halaman 129! hampir di
seperempat akhir buku.
Lanjut
pada, Berbeda Pelangi memakai narasi ala heteroseksual…
Meski
tidak semua narasi ala heteroseksual dan beberapa di antaranya bagi
heteroseksual akan terasa semacam duh, kok aku disalahkan ya? Namun
narasi ala heteroseksal itu terlihat salah satunya dari tulisan Bisakah Gay
Sembuh? Istilah ‘sembuh’, tentu aja sangat hetero. Bagi banyak hetero, hal-hal
di luar menyenangi lawan jenis lebih layak disebut harus disembuhkan. Iya… iya…
sebagian lagi memang tidak demikian. Ini bagi yang tidak canggung bersinggungan
dengan gay sebagai teman atau kerabat.
Dalam
judul Bisakah Gay Sembuh? Terdapat lagi sub judul antara lain; Penyebab Menjadi
Gay, Hapus Semua Aplikasi Gay, Tinggalkan Lingkungan Gay, Mendekatkan Diri
Kepada Sang Pencipta, Aktif Kegiatan Sosial, Menikah. Sub bab-sub bab ini
isinya memang memakai narasi hetero. Di antaranya penjelasan menjadi gay salah
satunya karena pergaulan. Sebagai hetero, kisah menjadi gay karena lingkungan
begitu jamak saya dengan dan barangkali kamu juga. Kerap kali, narasi satu ini
membuat minggir kisah-kisah lain semacam ada pula gay sejak kecil. Terbawa
pergaulan ini, masih juga sepaket dengan kisah gay menular. Tentu tidak hanya
saya yang mendengar narasi macam ini sejak kecil di antara penutur yang
semuanya juga hetero.
Istilah
‘sembuh’ ini juga diulang pada beberapa judul lain, ditambah dengan istilah
‘zona abu-abu’ yang seperti mengamini pandangan hetero bahwa dunia gay
sepenuhnya tidak benar. Selain pemakaian istilah yang ramah hetero, ada juga
pemakaian istilah yang menjadi jembatan. Simak kalimat berikut…
Pilihan
untuk menikah… berjanjilah pada diirmu sendiri bahwa kamu akan bertanggungjawab
atas pilihan tersebut… (hal
96)
Bagi
teman-teman homoseksual, kata ‘kamu’ akan terasa seperti,”Oh iya, yang diajak
ngomong itu aku.” sedang bagi heteroseksual, kata ‘kamu’ akan terasa
seperti,”Oh iya, seandainya aku ada di posisi itu…”
Sumber: Dokumentasi pribadi |
Sedang
dalam judul Jika Suamiku Seorang Gay dan Jika Ayahku Seorang Gay, terdapat dua
pendekatan berbeda. Suamiku Seorang Gay, menyajikan pilihan; mencari alasan
(suami menjadi gay), memberi kesempatan kedua, istikharah hingga bercerai.
Narasi dari pilihan-pilihan tadi terlihat semacam itu pilihanmu, itu hakmu. Judul
tulisan satu ini, kuat memakai narasi hetero. Hetero yang mengalami kejadian
serupa atau teman hingga kerabatnya yang mengalami, akan merasa tidak
disalahkan ketika memilih apapun jika merujuk tulisan ini.
Namun
tidak demikian dalam Ayahku Seorang Gay. Ada penekanan seorang anak yang
mengalami hal tersebut untuk melakukan refleksi diri paksa. Semacam disarankan
mengingat berapa biaya yang ayahnya keluarkan untuk dirinya hingga penekanan
untuk memaafkan. Bagi hetero yang mengalami hal tersebut, bisa jadi akan merasa
ayahku yang nggak jujur, aku juga yang dimarahi? Namun justru letak
otentiknya buku yang ditulis langsung oleh teman gay memang ada di sini.
Upaya
Ansyah menjembatani dengan menggunakan narasi hetero tentu saja keren, namun
narasi homoseksual seperti dalam Ayahku Seorang Gay tetap juga mesti kita
pelajari. Lha, sepanjang buku sudah banyak narasi ala heteronya kok, beberapa
yang narasinya homoseksual justru bikin kaya toh?
Perkara
ejaan, sedikit saja yang salah ketik atau kalimat tidak efektif, jadi tidak
perlu saya bahas di sini. Ansyah sendiri menulis dengan cukup rapi. Meski bagi
pembaca yang barangkali sudah terbiasa membaca jurnal atau tulisan ilmiah lain
tentang homoseksual, barangkali akan merasa susunan tulisan Ansyah terasa
lamban. Namun untuk yang satu ini, tentu tergantung pengalaman personal.
Sebagian orang barangkali tidak merasa butuh disajikan kutipan pengertian dari
Wikipedia yang disajikan Ansyah, sedang sebagian lainnya masih butuh.
Selebihnya,
pembaca diajak mengenal pilihan-pilihan hidup gay yang ternyata serba terbatas.
Bahwa teman-teman homoseksual nyatanya bukan sebatas pemberitaan yang lebih
banyak di pusaran konflik seperti prostitusi misalnya. Teman-teman homoseksual ada
pula yang dihadapkan pada ketakutan hidup sebayang kara di hari tua, sedang
sulit bagi mereka menyenangi sesama jenis sedang standar masyarakat
menggambarkan normal artinya menikahi lawan jenis. Kalaupun menjalani pernikahan
dengan lawan jenis, masih ada pula permasalahan seperti pasangan dan anak yang
baru mengetahui orientasi seksual ayah atau suami mereka belakangan. Belum lagi
keinginan berhubungan dengan sesama jenis yang tidak bisa dibendung sekalipun
telah menikah dengan lawan jenis. Motif-motif manusiawi dijabarkan pula oleh Ansyah dalam setiap penuturannya.
Dalam
bertutur, Ansyah lebih banyak menggunakan sudut pandang orang ketiga. Buku ini
pun secara otentik, merekam pengalaman personalnya sebagai seorang gay. Pengalaman demikian, tentu beda pendekatan
dengan jurnal atau tulisan ilmiah yang berbasis data. Ansyah pula, menulis buku
ini hingga lebih terasa sebagai seorang teman yang tengah menggandeng tangan
kita, menuntun dan menceritakan segala sesuatunya dengan perlahan…
Judul buku
: Berbeda Pelangi (The
Hidden Life Part 1)
Penulis : Ansyah
Ibrami
Tebal : 170 halaman
Tahun
terbit : 2020
Penerbit : Indie
Book Corner (IBC)
ISBN :
978-602-309-480-6