Sumber: Gugel |
Ramah dan bersahabat, itulah kesan pertama yang saya dapat ketika 2016 kali pertama bersalaman dengan si pembully itu. Dia sudah lulus kuliah sedang saya baru selesai seminar proposal, kami seangkatan, hanya saja saya yang telat lulus karena masalah kesehatan. Jika fisik kami digambarkan dalam pertemuan hari itu, ia memiliki berat 10 kilo di bawah indeks massa tubuh, sebaliknya saya yang 10 kilo di atas indeks massa tubuh. Sedang kulit kami sama terang.
Di hari-hari berikutnya, kami masih sering bertemu di
warung kopi yang sama bahkan tergabung dalam komunitas serupa. Ia aktif datang
sebagai moderator maupun audien, sedang saya yang menjadi audien dan
kontributor tulisan.
“Aku tuh pengin punya lengan kayak kamu, seger
gitu...” katanya ramah, sambil memegang lengan saya yang gemuk dan segera
setelahnya, ganti memegang lengannya.
Ucapannya kali itu lebih terasa sebagai upaya membesarkan
hati, tidak ada body shaming sama sekali. Pancaran mata si pembully itu
pun hangat, selaras dengan kampanye body positivity yang kerap ia
gencarkan di media sosialnya. Bahwa ia, betulan menganggap gemuk bukan masalah
jika diterima.
Dari satu komunitas, kami selanjutnya masuk dalam
komunitas yang satu lagi. Kali ini bukan lagi komunitas literasi, namun
komunitas feminis. Dua komunitas ini masih satu atap dan yang membuat saya
masuk adalah si pembully ini, mempertemukan pula dengan banyak teman lainnya,
lintas kampus.
Di hari-hari berikutnya, si pembully ini tetap hangat,
bahkan pernah punya rencana mengunjungi rumah saya. Ia bahkan membagikan tulisan
saya di grup. Sebuah tulisan yang dimuat di website feminis yang hari itu
dianggap prestisius. Meski lupa persisnya, ia jelas menyertakan kalimat
kebanggan terhadap saya. Ia melakukan hal serupa pula di story WAnya.
Beberapa teman menyahut, mengucap selamat dan kalimat
berbau kebanggaan sejenis. Dari semua itu, semestinya cukup untuk meyakini si
pembully itu teman yang baik. Ia seorang feminis yang betul menerapkan women
support women. Hingga saya mulai dekat dengan lebih banyak teman dalam
komunitas tersebut dan mendapati konflik antara si pembully ini dengan satu
teman fakultasnya sebut saja Maia.
Maia ini dua tingkat lebih muda dari si pembully di
kampus. Diakui Maia, orang yang mengenalkannya pada feminisme adalah si
pembully, bahkan mengajarinya metode penelitian. Seolah, Maia ini ‘dipungut’
lalu dididik si pembully ini. Jika digambarkan secara fisik, Maia memiliki
berat badan pas dengan indeks massa tubuh, wajahnya pula standar industri,
sedang si pembully wajahnya standar industri ketika menggunakan make up.
Keganjilan mulai terasa ketika di grup WA, adik
tingkat Maia membagikan sebuah acara gerakan perempuan. Ada foto di mana ia dan
Maia berada di sana. Kalimat yang menyertai foto pun berupa ajakan jika
teman-teman di grup ingin bergabung, maka dipersilakan. Sayangnya, sekutu si
pembully sebut saja mbak Anggun, justru memojokkan adik tingkat Maia. Meski
tidak dapat mengetik ulang bagaimana persisnya kalimat mereka karena
kejadiannya sudah 2017, siapapun jelas bisa menangkap si adik tingkat ini
dipojokkan sesungguhnya karena ia dianggap sekutu Maia dan bukannya karena si
adik ini dianggap mengunggah kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan
komunitas.
Melihat si adik tingkat dipojokkan dan makin mundur
agaknya karena bingung dan merasa sungkan soal usia, saya pun akhirnya
turut berkomentar. Saya menyatakan bahwa, kalimat yang dipermasalahkan justru
ajakan yang terkait dengan pengembangan komunitas. Tidak layak si adik tingkat
dirisak sedemikian rupa untuk hal yang salah saja tidak.
Hingga mbak Anggun berhenti menyalahkan si adik
tingkat di grup WA, konflik ternyata tidak tuntas. Si adik tingkat mengirim
pesan pribadi kepada saya, menyatakan sangsi atas tindakannya sendiri. Jangan-jangan
betul ia salah seperti kata mbak Anggun, namun saya yakinkan ia tidak salah dan
mbak Anggun sedang gaslighting saja.
Setelahnya, barulah masalah Maia dan si pembully mulai
terungkap. Si pembully ternyata kerap merisak Maia setelah ia mengetahui,
jejaring Maia di dunia feminisme jauh lebih banyak dan cepat. Masih Maia yang
bahkan menjadi pendamping penyintas di sebuah LSM yang tidak dijangkau si
pembully. Dua di antara bentuk perisakan itu antara lain, meninggalkan Maia
ketika hendak pergi ke Jakarta. Padahal proposal hingga mendapat pendanaan
sebelum acara, semua Maia yang mencari. Ia betul-betul tidak diberitahu kapan
kereta berangkat dan setelah diprotes, si pembully sambil menangis berjanji
tidak akan mengulangi perbuatannya dan menyatakan sangat menyesal. Tentu
kalimat barusan terus diulang ketika ia melakukan hal serupa dan Maia melakukan
protes yang sama.
Sebelum Maia betul-betul pergi, hasil kerjanya pernah
juga diakui si pembully dan mbak Anggun, sekutunya. Jadi komunitas membuat
acara dengan tema penelitian dan feminisme. Konsep acara, semua Maia yang membuatnya
sedang ketika hari H, ia ditinggalkan. Bahkan yang masuk media dan diwawancara,
justru si pembully dan mbak Anggun. Pada berikutnya, Maia keluar dari grup WA
dan betul keluar dari komunitas. Praktik penyingkiran oleh si pembully dan para
sekutunya berhasil.
Awal 2018, seorang teman menyatakan si pembully, mbak
Anggun dan satu lagi sekutunya yang seorang lelaki, membicarakan Maia. Sambil
tertawa-tawa, mereka katakan Maia layaknya dibikinkan pangggung membaca tulisan
secara erotis sampai orgasme. Si lelaki itu sendiri ada di komunitas literasi
dan feminis yang sama dengan si pembully dan mbak Anggun. Serupa dengan mereka
berdua, si lelaki ini gemar berdagang isu kemanusiaan ketika tampil di
panggung.
Masih di awal tahun 2018, saya berjumpa dengan si
pembully dan mbak Anggun ketika Haul Gus Dur di gedung kesenian. Dengan senyum
mengejek, si pembully memanggil saya dan di hadapan mbak Anggun ia
katakan,”Sorry, ya. Bukannya aku body shaming, tapi kamu emang makin gemuk.”
Disusul tatapan puas dan tawa keduanya.
Dari situ saya memahami, kebaikan si pembully terhadap
saya sebelum 2018 ternyata grooming saja alias kedok dari kejahatannya.
Bagaimana ia mendukung saya menulis, mendukung penerimaan tubuh hingga
merangkul dengan ramah ketika 2017 berjumpa di sebuah acara buku, ternyata kedok,
semuanya kedok. Yang bisa jadi ketika tidak pernah terang-terangan memihak Maia
dan siapapun yang dianggap temannya, saya tidak akan percaya bagaimana ia
dirisak sedemikian rupa. Semacam, nggak mungkin deh dia gitu. Ke aku aja
baik kok...
Toh, kita memang kerap tidak percaya seseorang
melakukan kejahatan ketika pelakunya tidak melakukan serupa terhadap kita. Kita
kerap melakukan negasi atas pengalaman orang lain jika tidak mengalami yang
serupa. Dan selamat, di situlah kita menjadi alat grooming bagi para
pelaku kejahatan, entah itu seorang tukang merisak maupun predator seksual.
Namun semenjak kejadian adik tingkat Maia yang dirisak
di grup hingga meragukan dirinya sendiri, saya memang melihat kejadian itu
sebagai sebuah data. Sekalipun tidak mengalaminya sendiri, jika ada fakta di
depan mata kenapa harus membuat negasi? Apalagi jelas si adik tingkat ini tidak
melakukan kesalahan.
Data itu ternyata bertambah ketika Maia dijadikan
guyonan seksual dan saya sebagai yang nampak keberpihakannya kena body
shaming. Jadi si pembully tidak bisa menemukan argumen yang masuk akal untuk
melawan keberpihakan saya terhadap ‘musuhnya’, satu-satunya hal yang dianggap
kekurangan hanya berat badan, apalagi dia tahu saya tidak bisa disentuh soal
itu. Bagi yang kerap membaca tulisan saya soal persepsi tubuh di blog, tentu
tahu apa sebabnya.
Keterbukaan saya soal kasus Maia, adik tingkatnya dan
diri saya sendiri ternyata membawa pada data yang lain. Pertengahan 2018, adik
tingkat saya di UKM akhirnya bercerita bahwa selama SMA, ia ternyata dirisak
oleh si pembully! Saya tentu kaget dan menyesal. Menahun saya bareng si adik ini,
bahkan pernah di tahun 2017 di sebuah acara buku, kami satu meja dengan si
pembully dan ia belakangan baru mengaku takut sekali hari itu. Sayangnya, saya
betul tidak mendeteksi semuanya. Adik tingkat ini tidak berani bercerita karena
takut hubungan saya dengan si pembully rusak dan lagi, ia sering sangsi soal
pengalamannya. Apalagi, si pembully tiba-tiba bersikap ramah terhadapnya dan di
media sosial, ia kerap berbagi seputar feminisme.
“Aku kira dia udah berubah, Mbak. Dia positif banget
di Instagramnya, suka berbagi soal feminisme juga.” Ucap adik UKM.
Jadi jika Maia dianggap mengungguli si pembully dalam
karir aktivisme, adik tingkat saya itu dianggap merebut laki-laki yang
disukainya selama SMA. Bentuk perisakan itu salah satunya menyoraki si adik
tingkat yang tengah berolahraga di lapangan sekolah. Hanya karena tubuhnya
dianggap sedikit berisi, meski jauh untuk dikatakan gemuk, dijadikannya itu
bahan merisak oleh si pembully. Bersama teman-temannya, ia mengomentari tubuh
adik tingkat tadi beramai-ramai.
Jika digambarkan secara fisik, adik tingkat ini berat
badannya pas dengan indeks massa tubuh dan wajahnya standar industri. Semasa
sekolah, akademisnya juga sangat baik. Jadi selain tubuh yang dianggap tidak
sekurus si pembully, ia tidak punya bahan merisak lain. Apalagi lelaki yang
disukainya itu ternyata memilih si adik tingkat.
Data masih terus bertambah, ketika seorang teman
lelaki yang semasa SMA ternyata satu angkatan dengan si pembully, ternyata
pernah dimusuhi teman-temannya sendiri. Si pembully menebar cerita bahwa
pacar-pacar standar industri yang didapat teman kami ini hasil dari pelet.
Semua hanya karena teman kami ini dianggap wajahnya tidak standar industri,
jadi mustahil mendapat pacar yang dianggap unggul secara fisik. Padahal siapapun
yang mengenalnya di komunitas tahu, bagaimana ia jago membikin puisi,
musikalisasi hingga menggombal. Ia juga kreatif dan pintar, nyambung diajak
mengobrol. Perempuan menyenanginya? Tidak heran. Ia juga teman yang bisa diajak
saling dukung. Apa benar nilai teman kami ini sekadar kulit dan dagingnya?
Entah berapa banyak lagi korban dari si pembully ini
sebetulnya. Korban yang sangsi hendak bicara karena imej yang ia bangun. Bahkan
pernah, saya satu panggung dengan teman satu jurusannya di kampus dan si teman
ini nampak kagum sekali dengannya. Saya pilih pura-pura tidak mengenal si
pembully, ketimbang fakta-fakta yang penggemarnya belum perlu tahu itu bocor.
Kalaupun kelak ia mengetahui fakta-fakta tersebut, biarlah dengan tangannya
sendiri.
Si penggemar ini pintar dan fisiknya standar industri.
Tapi bagaimana bisa ia diperlakukan baik oleh si pembully bahkan seolah
dibimbing? Semua ternyata karena ia bergerak di bidang public speaking,
bidang yang tidak serupa dengan si pembully. Jadi sekalipun ia pintar dan
standar industri, tidak bakal tuh dianggap ancaman. Sebaliknya saya yang bukan
ancaman di dunia aktivismenya, akibat berat badan juga tidak dianggap punya
fisik standar industri, namun berpihak pada yang dianggapnya ‘musuh’, jadilah
bagi si pembully, saya layak balas diusik.
Hari ini, si pembully tetap berjualan konsep persepsi
tubuh positif di depan orang-orang, ini masih ditambah berdagang konsep
psikologi klinis sesuai jurusannya di S2. Dengan getol ia juga menyuarakan pentingnya
pola asuh yang baik.
Pernah seorang teman bertemu dengannya di MATOS tahun
2018 dan ia tanyakan kabar Maia. Teman kami menjawab, Maia masih berkonsentrasi
dengan anaknya yang masih bayi. Disaksikan si teman tadi, si pembully
mengangkat sebelah bibirnya, spontan tersenyum puas mendengar ‘musuhnya’ dianggap hidup
tidak lebih baik darinya yang sudah mendapat beasiswa S2.
Si pembully sendiri sempat terusir dari komunitas
karena disingkirkan teman perempuan lain yang sama-sama-sama sindrom ratu lebah
dengannya. Bahkan si penyingkir ini dengan bangga menyatakan, si pembully ketakutan
waktu jumpa dengannya. Ini belum lagi masalah dengan mbak Anggun dan sekutu
lelakinya itu. Setelah terlempar dari lingkaran lamanya, si pembully pun
kemudian mengambil psikologi klinis di provinsi lain ketika lolos beasiswa S2,
dengan tetap berusaha meninggalkan komentar mendukung di sosial media Maia
maupun adik UKM saya.
Ini semua bukan FTV sinema pintu taubat di mana
pembully hidupnya blangsak dalam waktu singkat. Pada nyatanya, si pembully
tetap melanjutkan hidupnya, menjadi pembicara di mana-mana dengan tema
kesehatan mental. Sedang Maia melanjutkan studinya ke benua lain tahun 2019 dan
adik UKM menikah dengan lelaki yang ia cintai tahun 2020.
Ada kemungkinan ketika ganti kejahatan teman perempuan yang menyingkirkannya terungkap dan sisi-sisi si pembully sebagai korban diangkat, ia akan kembali lagi ke Malang lantas mendapat panggung lebih luas dan korban perisakannya makin tidak berani berbicara. Entahlah... Tunggu saja yang lebih jahat dari si penyingkir itu bertindak dan baku hantam dengan si pembully atau tunggu ia terjerat jati diri aslinya sendiri. Kita tinggal tonton sambil menyiapkan banyak camilan, karena bukankah semua kejahatan itu berpola?