Sumber: Dokumentasi pribadi |
Di usia yang ke 25, teman-temannya mulai sibuk
mempersiapkan pernikahan, daftar LPDP, bahkan mulai merantau ke berbagai kota. Namun
ia justru gila.
Tidak ada ingatan tersisa soal siapa dirinya, yang
mana ibu, di mana rumahnya. Ia hanya ingat kucing hitam putih itu miliknya,
kesayangannya dan bapaknya yang terpaksa memelihara demi kesembuhannya juga.
Sebelumnya ia percaya, semua orang di muka bumi ini
pada dasarnya baik. Ia juga terlampau percaya diri bahwa semua orang pasti bisa
disentuh hatinya. Cinta itu nyata.
Hingga pertemuannya dengan kedua orang itu. Yang
bagaimanapun ia sodorkan cinta buat mereka, tetap saja tikaman yang ia terima.
Egonya bisa jadi terluka. Ia ternyata bukan si ajaib yang bisa menyentuh hati
siapa saja dengan kekuatan cinta.
Kedua orang itu juga menikam siapa saja yang selain
dia semaunya. Cinta yang ia sodorkan dilirik mereka saja tidak. Bagaimana bisa
mereka tetap berjaya? Bukankah konsep yang ia terima sepanjang hidup, cinta
selalu menang melawan yang batil?
Jadi dia gila.
Memutuskan gila juga tepat.
Sukmanya ada di antara dunia yang pekat biru langit
dan dunia lain di bawahnya. Tersendat di sana, tidak ke atas, tidak ke bawah.
Dia menyerah tapi berdalih ingin dekat dengan yang
maha kuasa. Konsep cintanya lebur lagi hancur tapi berdalih ingin ibadah ritual
saja selamanya...
...tanpa terhubung lagi dengan manusia. Manusia yang
hanya melukai konsep cintanya, mematahkan hati saja.
Tapi seorang uztad memberinya kisah 100 tahun
beribadah. Ia tidak dimarahi. Ia juga tidak sedang diajak bersedih. Namun
tangis dan rasa marahnya keluar serentak.
Kisah itu mencubit inti hatinya. Kisah itu adalah dia.
Jadi air matanya berleleran.
Ia mengakui takut menghadapi kekecewaan, kerumitan
hidup di dunia, jadi kabur dengan berdalih ingin dekat Tuhan saja.
Ia pengecut.
Ia tahu itu.
Jadi kisah 100 tahun beribadah membuat air matanya
tidak juga berhenti. Ia ada di sana, dalam kisah itu. Manusia yang mengira
ibadah ritual saja cukup aman dilakukan, tidak seberbahaya bersinggungan dengan
manusia-manusia lain.
Kemudian pelan-pelan ingatannya kembali. Ia ingat
siapa dirinya, yang mana ibunya, juga di mana rumahnya.
Erich Formm pernah berkata:
Maka dari itu, keinginan terdalam manusia adalah
keinginan untuk mengatasi keterpisahannya, meninggalkan penjara kesendiriannya.
Kegagalan mutlak dalam meraih tujuan ini berarti kegilaan, karena rasa panik
akibat keterasingan total hanya dapat diatasi dengan menarik diri secara
radikal dari dunia luar sehingga rasa terpisah itu sirna—karena dunia luar,
tempat seseorang terasing itu juga sirna. (Seni Mencintai:18)
Ketika manusia lain melakukan hikikomori, dia malah meraga sukma.