“Mereka di telanjangi ,”
“Di telanjangi? ,” kata di telanjangi
begitu di tekan di lidahnya.
***
Dua kakiku jongkok di atas nisan.
Kilat putih tanpa suara berulang kali menusuki mataku.
Lalu lalang orang bawa kamera. Bibir
mereka membentuk bulan sabit. Gigi mereka di pajang menampar angin. Kilat putih
datang tiap beberapa detik. Menerpa muka mereka. Tangan mereka memeluk nisan.
Erat. Badanku bergoyang.
Aku terkikik. Kantung mataku
penuh dengan air.
***
“Tapi apa? ,” matanya menyipit.
Pundakku di remas.
“Percuma. Dua tangan itu sebesar
tanganmu. Cukupkah untuk menutup badan? ,”
***
Jari tangan wanita berambut hitam
kemerahan merambat pelan di gundukan tanah. Kepalanya menoleh ke kanan. Ke
wajah seorang wanita. Tambun. Kulit seluruh badannya berkerut. Kepalanya
mengangguk meyakinkan.
“Cepat.. ,” wanita tambun
berbisik sepelan dan sejelas mungkin. Tas berenda emas miliknya buru- buru di
buka.
Beberapa kembang bercampur tanah
buru- buru diraih wanita berambut hitam kemerahan dengan tangan kanannya. Genggamanya
penuh. Tangannya masuk ke dalam tas
berenda emas si wanita tambun. Setelah
keluar. Tangannya kosong.
Dua kakiku jongkok di atas nisan.
Aku terkikik. Kantung mataku penuh dengan air.
***
“Dua tanganku?. Kenapa tanganku?.
Bukankah kamu juga punya dua tangan yang sama? ,” telunjuknya menyentuh
punggung tangan kiriku.
Aku terkikik.
“Aku ini cuma nyaru Nak.. ”
“Pipi ini ” aku menarik tangannya
ke pipiku.
Pipiku
putih. Merah merona.
“Muka ini ” aku menarik tangannya
biar merabai seluruh mukaku.
Alisku
tebal. Mataku biru. Bening. Kulitku halus. Bibirku merah. Tipis.
“Cuma nyaru Nak.. ,” kulepas tangannya.
“Nak?. Apa- apaan. Usiamu
barangkali terpaut dua tahun lebih tua daripada aku. Dan.. ,”
***
Asma Tuhan bersahutan dari lain
bibir. Masuk kuping kananku. Keluar kuping kiriku. Mereka yang memakai jubah
putih.
Di bibir nama Tuhan di sebut.
Dalam hati doa di ucap. Mata mereka tertuju pada
nisan sekalian gundukan tanah.
Bayang si penghuni gundukan tanah berkelebat. Pikir mereka, si penghuni
gundukan tanah bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan Kabul doa mereka.
Dua kakiku jongkok di atas nisan.
Aku terkikik. Kantung mataku penuh dengan air.
***
“..Nyaru itu apa? ,” dia melanjutkan ucapannya.
“Nyaru itu meniru ,” bulu abu- abu keluar dari permukaan telapak
tanganku.
“Aku tidak mengerti. Lalu. Apa
pula yang terjadi pada dua orang telanjang itu? ,”
“Bongkahan buah terlarang yang di
lahap si lelaki bertahan di lehernya. Jadi benjolan ” bulu abu- abu merambat ke
lenganku.
“Sedangkan pada si wanita.
Bongkahan buah itu terpecah dua dan bertahan di dada ,” bulu abu- abu merambat
ke leherku.
Gadis ini. Terlalu lekat dia menatap
tutur bibirku.
***
Merah jambu warna ransel itu.
Gadis berambut sebahu menggendongnya di belakang punggung.
Matanya menyapu tandas muka- muka
di sekeliling nisan dan gundukan tanah. Bunga- bunga di atas gundukan di raih
banyak tangan sekalian serpihan tanahnya.
“Apa yang mereka kejar? ,” bisik
si gadis.
***
“Mereka di turunkan dari surga ”
bulu abu- abu sudah merambat ke pipiku.
“Kami sebelumnya sudah bersumpah
bakal goda anak cucu lelaki dan wanita itu sesaat setelah si lelaki diciptakan
Tuhan ”
Bola mata gadis ini mendadak seperti
pecah. Matanya mulai di gulir ke pipi, leher,
lengan dan telapak tanganku.
“Apa ini? ,” ujung telunjuk
kanannya menyentuh pipi kiriku. Penuh bulu.
“Ini namanya nyaru Nak ,” aku tersenyum. Pundakku meninggi. Bulu abu- abu
hilang. Berganti kulit sawo matang yang mulai menyelimuti seluruh badanku.
***
Bola mata si gadis di gulir. Lagi.
Dilihatnya belasan orang berjubah putih menyebut- nyebut asma Tuhan. Tapi. Mata
mereka menatap lekat nisan dan gundukan tanah. Seperti jadi kiblat mereka.
“Apa yang mereka cari? ,” si
gadis berbisik.
***
“Masihkah kamu tidak paham nak? ,”
sebuah peci hitam menyembul di kepalaku.
Gadis ini menggeleng. Bola
matanya kelihatan makin pecah. Digulir bola matanya ke atas kepalaku. Pada peci
hitamku.
“Aku ini sudah memijakkan kaki
disini jauh sebelum kamu. Puluhan ribu tahun lalu ,” badanku melebar. Pundakku
menebal.
***
“Janggi!. Sedang apa kamu?! ,”
jongkok kedua kakiku di atas nisan. Kuteriaki sosok kurus berkepala pelontos
yang memasukkan banyak sekali kembang dalam tas merah jambu si gadis tanpa
membukanya.
Janggi. Satu jarinya didepan
bibir. Tanda aku di kehendaki dia buat diam.
***
Sepatu hitam menutup dua kakiku.
Hem coklat menutup badanku.
“Ka.. kau.. ,” gadis ini sedikit bergidik.
Ya. Cuma sedikit.
***
Kilat tanpa suara datang tiap
beberapa detik. Bibir mereka membentuk bulan sabit. Gigi mereka di pajang
menampar angin. Tangan mereka memeluk nisan.
“Apa yang mereka cari? ,” bisik
si gadis.
***
Wajah salah seorang pahlawan nasional
berkelebat dalam batok kepala gadis ini.
“Wajahmu sama seperti Kapten....
,” gidikan dalam diri gadis ini menghilang pelan- pelan.
Mukaku melebar. Keriput.
***
Dibukanya tas merah jambu itu
untuk mengambil sebuah botol. Kaget. Timbunan bunga menyambut telapak
tangannya. Segera gadis itu berlari ke sudut kamar mandi. Sepi. Dikeluarkan
timbunan bunga itu segenggam- segenggam.
Tersenyum aku. Badanku bening.
Merah api. Kulit putih pucat membungkus nyala api di badan dan mukaku. Cekungan
berdarah di lubang mata diganti bola bening warna biru.
Kutepuk pundak si gadis. Dia.
Kaget.
***
“Ini namanya nyaru , ” muncul tongkat penyangga di tangan kiriku. Punggungku
makin tebal. Sedikit bungkuk.
“Kamu bisa berubah jadi siapa
saja? ,”
“Ya ,”
“Kamu ada hubungannya dengan
kembang- kembang yang ada dalam tas ranselku? ,”
“Tidak. Itu kelakuan temanku,
Janggi. Dia sebal karena kamu tidak sama seperti kebanyakan mereka yang datang
ke tempat ini ,”
“Ya. Memang ,”
“Janggi mau merapuhkan
keyakinanmu soal Tuhan ,”
“Dia temanmu. Kenapa kamu bilang
begitu padaku?. Apa kamu berbeda? ,”
Pundak kiri dan kanan kuangkat
keatas. Berbarengan.
“Mana aku tahu. Janggi harap kamu
jadi percaya bahwa mahluk seperti kami bisa berbuat banyak melebihi Tuhan.
Berhati- hatilah ,” aku bangkit dari bangku kayu depan kamar mandi.
Gadis ini. Diam dia. Sampai
punggungku hilang di sudut kamar mandi.
Berjalan aku di sangga tongkat. Kurapatkan
badanku pada mereka yang memeluk nisan. Muka mereka di sapu kilat tanpa suara
tiap beberapa detik.
“Hey! Ada siluet serupa Kapten X
di gambar ini! ,” pemuda berkaos merah menarik lengan beberapa temannya.
Dia. Pemuda itu. Menyebut nama
penghuni gundukan tanah yang di tancap nisan.
Itu aku. Sungguh. Aku nyaru.
“Kamu ,” suara gadis berambut
sebahu menggendong ransel merah jambu menggigiti kupingku.
Digiring aku menepi dari lalu
lintas manusia.
“Terimakasih. Kamu berkata jujur
dan memperingatkan aku supaya hati- hati dengan sesamamu yang hendak membuat
aku merasa ada yang sekuat Tuhan ,”
“Ya. Bukan masalah. Kita sama-
sama mahluk Tuhan bukan? ,” tersenyum tipis aku.
“Kamu jujur. Bisa kamu lihat masa
depanku? ,”
“Oh. Tentu ,”
Kena kau. Sudah sumpah aku
menyesatkan kamu. Sebangsamu. Dengan cara apapun.
TAMAT