Thursday, July 3, 2014

Orca



“Pada 04 Oktober 1997 di lepas pantai Antartika pun,……”
          Benda itu tipis. Kecil. Panjang dan tajam. Ditusukkan di punggungku. Aku tidak punya kelopak mata. Tapi semua gelap tanpa mesti aku menutupnya.
          Waktu bangun, tetap semua biru. Air lewat lembut di sela- sela ketiak dan kelopak mataku. Berusaha aku berdiri tegak. Melompat. Naik. Mencari napas.
          Warna biru makin terang. Kuangkat kepala. Aku bertemu napas. Tapi perutku bergemuruh. Makin keras. Bukan gemuruh lapar yang biasa.
          Debur benda berat menggaruki kupingku. Aku menoleh. Melihat darah. Berlari aku. Gigi aku tancap pada benda berat yang mendebur air beberapa detik yang lalu itu. Benda itu lunak. Lapisan- lapisannya berjalan memenuhi rongga mulut, kerongkongan dan perutku.
          “Hei. Kejar! Kejar!. Dia memakannya!. Dia memakannya! ,” rambutnya coklat kemerahan. Dia menutup sepanjang bawah lehernya dengan lembaran yang warnanya mirip batu apung. Putih.
          Aku melirik polos. Benda besar warna putih mengambang di permukaan air. Mendekat cepat tempatku berdiri. Busa menggumpal sekeliling benda putih. Makin banyak langkahnya. Makin banyak busa. Makin dekat dengan tempatku berpijak.
          “Itu dia! ,” kilat tanpa suara menyapu mukaku. Lagi. Dan lagi.
          Kulepas benda empuk yang ada di gigitan. Benda itu menagambang menjauh. Berdarah. Kepala aku masukkan dalam air. Lari aku berlawanan arah dengan benda putih mengambang yang makin dekat dengan aku.
“……..sekelompok pengamat paus merekam kejadian unik dimana paus pembunuh atau Orcinus Orca yang menyerang hiu putih dewasa……..”
          “Aku dapat fotonya!. Dia sudah kabur! ,” si rambut coklat kemerahan bersama benda putih besarnya yang mengambang dan benda lain berbentuk persegi yang mengeluarkan kilat putih tanpa suara tiap menyapu mukaku itu sudah berhenti di tempat.
          Tetap aku lari.
 “……dan kemudian memakan hiu putih tersebut. Pernyataan yang mengatakan bahwa……..”
          Moncongku yang pesek menabrak bekuan es. Dingin. Tapi tidak bikin badanku membeku.
          “Mereka bikin narasi soal kamu ,” warnanya hitam dan putih. Sama seperti aku. Paruhnya hitam. Juga seperti mocongku. Ekor ikan besar meluber dari paruhnya.
          “Narasi? ,”
          “Ya. Itu kata- kata yang isinya soal kamu ,” Dia. Seekor Pinguin.
          “Oh? ,”
          “Benda putih besar yang mengapung itu namanya kapal. Dia bertugas mengejar kamu ,” celoteh pinguin ini tidak terlalu jelas. Mulutnya diganjal ikan. Kulit ikan itu utuh. Tidak ada yang tertelan ke lambung si Pinguin.
          “Bikin narasi soal apa mereka tentang aku? ,”
          “Soal kamu yang makan saudara kami ,” suara besar bikin aku menoleh kebelakang. Si empunya suara seluruh tubuhnya warna putih keabuan. Lebih kecil tubuhnya di banding aku. Runcing giginya lebih dari aku.
          “Kami. Hiu… ,” lanjutnya.
          “Hi… Hiu? ,”
          “Kamu tadi di suntik sesuatu oleh mereka yang punya rambut merah. Setelahnya, apa kamu merasa apa? ,”
          “Lapar. Sangat Lapar ,”
          “Mereka lalu melempar saudara kami di depan mukamu ,”
          “Ti.. tidak.. aku menggigit benda empuk itu tapi dia tidak bergerak sama sekali ,”
          “Benda empuk itulah Hiu. Sudah dibunuh sebelum di leper padamu ,” Pinguin menyahut. Dia tidak memandang aku. Siripnya di gerak menuju permukaan yang lebih terang. Dia. Hilang.
          “Hindari kepala merah- kepala merah itu ,” Hiu membalik badan. Sirip ia gerak menuju dasar yang lebih gelap.
          Cuma narasi.
 “………Hiu merupakan predator yang mengendalikan rantai makanan teratas di laut pun di patahkan oleh peristiwa itu……….”
          “Anna!. Makan siang! ,”
          “Lima menit lagi Bu!. Aku masih menonton acara ini. ‘Predator Paling Ganas Di Dunia’ ,”
          “Wah baiklah. Sup sirip Hiu ini akan Ibu habiskan sendiri. Jangan menyesal Anna ,”
          Aroma amis sirip ikan tertimbun bau bawang memenuhi ruangan.
TAMAT

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!