Saya
tidak paham. Apakah cara saya menulis cerita serpeti ini bakal di cap sebagai
cara liberal oleh teman saya yang bersangkutan?
Saya cuma
mau mengungkap apa yang saya rasakan. Paham liberal terkait berpendapat seperti
ini pun saya sama sekali tidak terlalu ngeh
bagaimana pengertian dan prakteknya di dunia nyata. Toh, saya tidak
menyebutkan jati diri yang bersangkutan disini.
Beberapa
hari yang lalu. Sore hari, saya berbagi cerita dengan seorang teman perempuan.
Dia sebaya dengan saya. Dari cerita yang di bagikan pada saya, saya baru tahu
kalau dia ternyata pernah 10 tahun ada di pondok. Barulah dia masuk sekolah
negeri waktu masuk SMA.
Saya akui.
Teman saya ini secara etika memang cukup baik. Saya sering merasa dia tidak
sependapat dalam banyak hal, tapi dia selalu berusaha tidak mendebat
berlebihan. Barangkali, etikanya ini dia dapat dari pengertian agama yang dia
miliki.
Dalam
percakapan sepanjang sore, teman saya itu mengaku kalau dia memiliki pacar. Dia
tahu itu tidak benar dalam agama yang dia yakini. Dia mengatakan bahwa itu sisi
dirinya yang belum bisa dia tinggalkan. Saya akui dia berani mengakui. Dia
hebat. Tapi ujung kalimat setelah dia mengakui hal tersebut kurang menyenangkan
dimana dia mengaku pikirannya jadi konvensional sejak masuk SMA negeri.
Konvensional yang dia maksud disini saya tangkap sebagai pikiran orang- orang
kebanyakan yang tidak berbau ‘benar’, pacaran contohnya.
Ujung
kalimat dia yang demikian, jadi berlawanan dengan pendapat dia soal pelacuran
dan kemskinan. Dia bercerita bahwa dia pernah miskin, tapi dia tidak pernah
berpikir untukmenjual diri. Dia bilang, jadi pelacur atau tidak tergantung
kekuatan masing- masing orang, bukan tergantung kemiskinan.
Jadi? Pemikiran
baik atau buruk juga bukan karena seseorang 10 tahun hidup di pondok atau
seumur hidup sekolah di sekolah umum bukan?
Percakapan
tersebut akhirnya sampai dengan persimpangan pendapat di antara kami. Teman saya
berpendapat bahwa agama tidak bisa di jabarkan secara logika. Sangat bahaya bila
agama di jabarkan dengan logika.
Dia
keburu berpendapat, dia belum mendengar lanjutan pendapat saya. Ya. Memang tidak
semua dalam agama bisa di jabarkan dengan logika. Saya ingat ada istilah untuk
fatwa tertentu yang tidak bisa di jabarkan dengan logika tapi harus terus di
amini. Tapi saya lupa apa istilah untuk fatwa yang demikian.
Jujur
saja saya tertawa. Kalau memang dia menelan mentah bahwa bahaya apabila agama
dijabarkan dengan logika. Kenapa dia pacaran? Dia paham dalilnya bukan? Tidak cukup
kuatkah dalil- dalil itu untuk mengendalikan dirinya?
Untuk
itu, saya memancing dia dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang menekankan
pemikiran saya bahwa penjabaran logika memang menguatkan seseorang untuk
menjalankan perintah agama.
Saya
bertanya pada teman saya itu, apa dia mengerti kenapa lawan jenis (dalam artian
pria dan wanita yang utamanya memiliki perasaan atau ketertarikan khusus) yang
tidak memiliki hubungan suami istri atau hubungan darah dilarang bersentuhan
tangan?
Dia menjawab,”Kamu tahu? Dimana setan berdiri di setiap
sisi tubuh kita. Dimana mata dengan mata berjumpa akan menimbulkan getaran
napsu dan disanalah setan beraksi. Ketika kulit dengan kulit menyatu, seolah
ada listrik yang menjalar hingga batin dan pikiranmu. Rasa puas datang dan disanalah
syahwat mulai bertambah,”
Lagi- lagi saya terbahak.
Terbahak bukan berarti saya mengejek teman saya ini. Tapi saya merasakan
sensasi yang aneh antara geli, sedih dan kasihan. Kenapa tidak dia telaah lebih
dalam semua ilmu yang dia dapat selama 10 tahun di pondok? Kenapa dia kopi
mentah- mentah apa yang di ucap pengajar- pengajarnya di pondok? Yang di ucap
para pengajarnya tentunya tidak ada yang sesat. Tapi, apa salahnya bila dia
menelaah lebih jauh? Bukankah itu juga untuk penguatan dirinya juga?
Kasihan sekali setan. Dia
dipersalahkan soal banyak hal. Setan seolah adalah mahluk lain yang serba salah
ketika manusia melakukan dosa. Saya mulai simpatik pada setan. Tapi siapa
setan? Benarkah mahluk lain yang menggoda manusia ataukah itu bentuk sifat
buruk manusia berupa napsu yang juga buruk?
Saya akhirnya menanggapi
ucapan teman saya itu sebaik dan setenang yang saya bisa. Saya ini orang bodoh.
Saya menjelaskan sesuatu dengan cara yang sangat- sangat sederhana dan terkesan
remah.
Saya katakan pada dia
bahwa dalam biologi. Setiap orang memiliki libido. Libido sudah kodrat setiap
manusia untuk memilikinya. Libido itulah yang terpacu ketika lawan jenis yang
memiliki perasaan khusus bersentuhan tangan atau kulit. Ketika dua orang yang
memiliki rasa tertarik mulai berpegangan tangan, hal itu tidak akan cukup.
Libido akan terus meningkat sehingga berpegangan tangan tidak lagi cukup. Aktivitas
terkait bersentuhan bisa berlanjut pada ciuman bahkan hubungan badan! Siapa yang
menjamin tanpa ikatan pernikahan, dua orang bakal setia pada satu orang? Tidak ada!
Lama- lama kebutuhan untuk
berhubungan badan itu pun akan jadi sesuatu yang terus menagih. Tidak ada
kompromi untuk peningkatan lidido manusia. Tanpa ikatan pernikahan, seseorang
akan sekenanya berhubungan dengan banyak orang asalkan kebutuhan fisiknya
terpenuhi. Dari hal yang demikianlah seseorang bisa mengidap HIV/AIDS.
Setelah mendengar
penjelasan saya. Dengan tenang teman saya mengakui bahwa itu merupakan ilmu
baru yang dia dapat. Dia berterimakasih. Saya sangat salut dengan jiwa besar
teman saya soal pendapat orang berupa ilmu baru.
Betapa luar biasanya ketika
perintah Tuhan di telaah lebih mendalam. Bukan begitu?
SELESAI
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!