Friday, February 13, 2015

Teman Saya 10 Tahun di Pondok, Suka Menyalahkan Setan


Saya tidak paham. Apakah cara saya menulis cerita serpeti ini bakal di cap sebagai cara liberal oleh teman saya yang bersangkutan?
Saya cuma mau mengungkap apa yang saya rasakan. Paham liberal terkait berpendapat seperti ini pun saya sama sekali tidak terlalu ngeh bagaimana pengertian dan prakteknya di dunia nyata. Toh, saya tidak menyebutkan jati diri yang bersangkutan disini.
Beberapa hari yang lalu. Sore hari, saya berbagi cerita dengan seorang teman perempuan. Dia sebaya dengan saya. Dari cerita yang di bagikan pada saya, saya baru tahu kalau dia ternyata pernah 10 tahun ada di pondok. Barulah dia masuk sekolah negeri waktu masuk SMA.
Saya akui. Teman saya ini secara etika memang cukup baik. Saya sering merasa dia tidak sependapat dalam banyak hal, tapi dia selalu berusaha tidak mendebat berlebihan. Barangkali, etikanya ini dia dapat dari pengertian agama yang dia miliki.
Dalam percakapan sepanjang sore, teman saya itu mengaku kalau dia memiliki pacar. Dia tahu itu tidak benar dalam agama yang dia yakini. Dia mengatakan bahwa itu sisi dirinya yang belum bisa dia tinggalkan. Saya akui dia berani mengakui. Dia hebat. Tapi ujung kalimat setelah dia mengakui hal tersebut kurang menyenangkan dimana dia mengaku pikirannya jadi konvensional sejak masuk SMA negeri. Konvensional yang dia maksud disini saya tangkap sebagai pikiran orang- orang kebanyakan yang tidak berbau ‘benar’, pacaran contohnya.
Ujung kalimat dia yang demikian, jadi berlawanan dengan pendapat dia soal pelacuran dan kemskinan. Dia bercerita bahwa dia pernah miskin, tapi dia tidak pernah berpikir untukmenjual diri. Dia bilang, jadi pelacur atau tidak tergantung kekuatan masing- masing orang, bukan tergantung kemiskinan.
Jadi? Pemikiran baik atau buruk juga bukan karena seseorang 10 tahun hidup di pondok atau seumur hidup sekolah di sekolah umum bukan?
Percakapan tersebut akhirnya sampai dengan persimpangan pendapat di antara kami. Teman saya berpendapat bahwa agama tidak bisa di jabarkan secara logika. Sangat bahaya bila agama di jabarkan dengan logika.
Dia keburu berpendapat, dia belum mendengar lanjutan pendapat saya. Ya. Memang tidak semua dalam agama bisa di jabarkan dengan logika. Saya ingat ada istilah untuk fatwa tertentu yang tidak bisa di jabarkan dengan logika tapi harus terus di amini. Tapi saya lupa apa istilah untuk fatwa yang demikian.
Jujur saja saya tertawa. Kalau memang dia menelan mentah bahwa bahaya apabila agama dijabarkan dengan logika. Kenapa dia pacaran? Dia paham dalilnya bukan? Tidak cukup kuatkah dalil- dalil itu untuk mengendalikan dirinya?
Untuk itu, saya memancing dia dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang menekankan pemikiran saya bahwa penjabaran logika memang menguatkan seseorang untuk menjalankan perintah agama.
Saya bertanya pada teman saya itu, apa dia mengerti kenapa lawan jenis (dalam artian pria dan wanita yang utamanya memiliki perasaan atau ketertarikan khusus) yang tidak memiliki hubungan suami istri atau hubungan darah dilarang bersentuhan tangan?
Dia menjawab,”Kamu tahu? Dimana setan berdiri di setiap sisi tubuh kita. Dimana mata dengan mata berjumpa akan menimbulkan getaran napsu dan disanalah setan beraksi. Ketika kulit dengan kulit menyatu, seolah ada listrik yang menjalar hingga batin dan pikiranmu. Rasa puas datang dan disanalah syahwat mulai bertambah,”
Lagi- lagi saya terbahak. Terbahak bukan berarti saya mengejek teman saya ini. Tapi saya merasakan sensasi yang aneh antara geli, sedih dan kasihan. Kenapa tidak dia telaah lebih dalam semua ilmu yang dia dapat selama 10 tahun di pondok? Kenapa dia kopi mentah- mentah apa yang di ucap pengajar- pengajarnya di pondok? Yang di ucap para pengajarnya tentunya tidak ada yang sesat. Tapi, apa salahnya bila dia menelaah lebih jauh? Bukankah itu juga untuk penguatan dirinya juga?
Kasihan sekali setan. Dia dipersalahkan soal banyak hal. Setan seolah adalah mahluk lain yang serba salah ketika manusia melakukan dosa. Saya mulai simpatik pada setan. Tapi siapa setan? Benarkah mahluk lain yang menggoda manusia ataukah itu bentuk sifat buruk manusia berupa napsu yang juga buruk?
Saya akhirnya menanggapi ucapan teman saya itu sebaik dan setenang yang saya bisa. Saya ini orang bodoh. Saya menjelaskan sesuatu dengan cara yang sangat- sangat sederhana dan terkesan remah.
Saya katakan pada dia bahwa dalam biologi. Setiap orang memiliki libido. Libido sudah kodrat setiap manusia untuk memilikinya. Libido itulah yang terpacu ketika lawan jenis yang memiliki perasaan khusus bersentuhan tangan atau kulit. Ketika dua orang yang memiliki rasa tertarik mulai berpegangan tangan, hal itu tidak akan cukup. Libido akan terus meningkat sehingga berpegangan tangan tidak lagi cukup. Aktivitas terkait bersentuhan bisa berlanjut pada ciuman bahkan hubungan badan! Siapa yang menjamin tanpa ikatan pernikahan, dua orang bakal setia pada satu orang? Tidak ada!
Lama- lama kebutuhan untuk berhubungan badan itu pun akan jadi sesuatu yang terus menagih. Tidak ada kompromi untuk peningkatan lidido manusia. Tanpa ikatan pernikahan, seseorang akan sekenanya berhubungan dengan banyak orang asalkan kebutuhan fisiknya terpenuhi. Dari hal yang demikianlah seseorang bisa mengidap HIV/AIDS.
Setelah mendengar penjelasan saya. Dengan tenang teman saya mengakui bahwa itu merupakan ilmu baru yang dia dapat. Dia berterimakasih. Saya sangat salut dengan jiwa besar teman saya soal pendapat orang berupa ilmu baru.
Betapa luar biasanya ketika perintah Tuhan di telaah lebih mendalam. Bukan begitu?
SELESAI

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!