“Kamu serius ingin ambil judul ini?” Bu Mami, dosen pembimbing skripsinya Seno itu berucap dengan keraguan yang mantap.
Seno
mengangguk. Di antara sembilan mahasiswa, dia satu-satunya mahasiswa lelaki
yang dibimbing oleh bu Mami, yang katanya master pendidikan keluarga dan parenting. Ini sudah kali kedua, Seno ngeyel mengajukan judul yang begitu
diragukan oleh bu Mami, soal WTS (Wanita Tuna Susila).
“Bahasan
ini sudah ketinggalan, Seno. Apa yang mau kamu tindak lanjuti? Bahasan serupa
dan ide brilian banyak yang hanya numpang lewat dalam kasus WTS. Ini perkara
mental, bukan wacana pelatihan, bukan juga wacana penelitian yang macam-macam.”
Lanjut bu Mami.
Argumen
Seno berikutnya berusaha menghantam keraguan bu Mami. Teman-teman Seno yang
lain, hanya menyimak dan kesulitan menangkap argumen-argumen yang diungkapkan
oleh Seno, apalagi menuliskannya kembali, bahasanya berat ala Senonisasi.
Setelah semua argumen dari Seno tamat diutarakan, mata teduh bu Mami malah
seolah mengatakan,”Oh, kalau memang itu maumu, baiklah.”
***
Seno
pergi ke sebuah lokalisasi yang terkenal sebagai bahan gojlokan jorok di kotanya, Gang Maria namanya. Maria sesungguhnya
adalah nama orang bule pendiri lokalisasi itu berpuluh tahun lalu. Sebuah nama
yang sekarang jadi bahan gojlokan
karena dianggap identik dengan sebuah gang yang penuh dengan perempuan berbayar
yang mengangkang.
Tidak
jarang, orang-orang menyebut Gang Maria dengan lambang sensor di sosial media.
Layaknya berkata jan*cok, Gang Maria juga diketik dengan cara; Gang Mari*a.
Remaja-remaja
banyak yang saling gojlok antar
sebayanya soal Gang Maria. Semisal teman mereka seorang lelaki yang kelewat
lama berstatus jomblo, maka mereka bakal mengetik gojlokan di sosial media,”Halah! Ente cari aja cewek-cewek di Gang Mari*a. Bayar langsung bawa. Daripada jomblo
seumur hidup.”
Jadilah
Seno memesan satu bilik kamar dan satu orang perempuan. Usianya empat tahun
diatas Seno. Dia masuk dalam bilik kamar dengan perasaan berdebar gila-gilaan. Bukan karena ini kali
pertama dia bakal melepas keperjakaan, tapi karena ini kali pertamanya berada
dalam satu bilik dengan seorang perempuan yang belum pernah dia rayu
sebelumnya.
Senyum
lembut perempuan yang Seno pesan menyambutnya ketika dia membuka pintu bilik.
Dengan tangannya yang gemetaran, Seno kembali menutup pintu bilik.
Perempuan
itu duduk di pinggiran kasur. Dia mengamati potongan tubuh Seno. Kemudian, dia
berkata,”Sampeyan wartawan atau
mahasiswa yang mau penelitian, Mas?”
Seno
tergagap. Tangannya makin gemetaran.
Perempuan
itu terkekeh sinis sebelum melanjutkan ucapannya,”Sudah ratusan wartawan dan
mahasiswa yang merekam cerita saya di sini, Mas. Hanya merekam, kemudian
menuliskannya kembali. Saya merasa tidak tertolong. Saya seperti dibayar buat
mengocehkan cerita soal hal-hal yang mengundang tangis, kemudian mereka
meninggalkan saya tanpa menyentuh kulit saya sedikit saja. Jijik barangkali.”
Empati
Seno seperti dirogoh. Perempuan itu terus berceloteh tanpa bergerak dari
pinggiran kasur, pun seno dari depan pintu. Asal perempuan itu dari keluarga miskin, perawannya
direnggut sang paman dan keberadaannya sebagai WTS akibat dari jebakan seorang
teman. Seno makin gemetaran. Di akhir kisah yang dituturkan perempuan itu, Seno
mulai berani bertanya, apakah cerita yang sama juga perempuan itu sajikan buat
wartawan dan mahasiswa peneliti lain yang ingin mendengar kisahnya?
Perempuan
itu lagi-lagi terkekeh. Dia berkata,”Sama? Tentu saja sama.”
Seno
kembali bertanya, jika sama, kenapa perempuan itu tetap menceritakan kisahnya
pada dia?
“Kamu
berbeda, Mas. Sejak saya tahu bahwa kamu memesan saya beserta bilik ini, saya
tahu kamu orang yang berbeda. Kamu akan membawa sinar yang berbeda. Kamu orang
yang memiliki empati yang juga beda kadar kedalamannya.”
Ketika
ditanya Seno darimana perempuan itu tahu, perempuan itu menunduk sambil
berkata.”Saya tahu begitu aja. Saya biasa diperlakukan buruk sehingga peka ketika
merasakan keberadaan orang baik.”
Tulang
Seno terasa mumur. Ada rasa bangga menyemat di dadanya karena telah dipercaya
perempuan yang hendak dia jadikan bahan skripsi. Dia merasa berhasil melakukan
pendekatan hingga dipercaya. Sejak hari itu, empati Seno resmi dirogoh.
Perempuan itu menuntunnya ke kasur sambil mulai menciumi Seno.
***
Dengan
bangga yang meluap, Seno menceritakan pengalamannya pada adik tingkatnya di
kampus. Adik-adik merasa kagum. Terlebih ketika Seno mengatakan bahwa untuk
membuat seorang WTS percaya dan mau bercerita, diperlukan pendekatan yang tidak
sembarang orang bisa.
Seno
dielukan oleh banyak adik-adik. Dia tidak peduli dengan bu Mami yang belum juga
setuju dengan judul skripsinya. Teman-teman Seno yang lain mulai mengetik
skripsi masing-masing. Seno lebih asyik mengunjungi perempuan di lokalisasi
itu, secara tidak tertulis dia adalah pelanggan perempuan itu. Alasannya? Cuma
demi penelitian, dia tidak bakal larut, dia sudah janji pada diri sendiri.
“Kak,
saya ingin mengikuti jejak kakak. Saya ingin meneliti soal WTS. Kakak telah
menginspirasi semua untuk melakukan pembaharuan dalam dunia skripsi. Sesuatu
yang mencerahnya dan berbeda.” Ucap salah seorang adik tingkat Seno yang
namanya Arthur.
Ucapan
Arthur disambut Seno dengan anggukan dan perasaan bangga yang makin terkembang
lebar.
***
“Kamu
berbeda, Mas. Sejak awal saya tahu bahwa kamu memesan saya beserta bilik ini,
saya tahu kamu orang yang berbeda. Kamu akan membawa sinar yang berbeda. Kamu
orang yang memiliki empati yang juga beda kadar kedalamannya.” Ucap perempuan
pesanan Arthur itu di akhir percakapan.
“Kamu
berusaha memikat lelaki selalu dengan cara yang begini? Murahan…” Arthur
terkekeh mengingat semua cerita yang disuguhkan perempuan itu sama persis
dengan apa yang Seno ceritakan.
Mata
perempuan itu kelihatan terluka. Dia pandang Arthur yang berdiri di depan
pintu. Pandangannya kelewat lekat sampai membuat tulang Arthur seperti mumur.
Perempuan
itu kembali berucap,”Saya diperintahkan berlaku demikian oleh atasan saya, Mas.
Jika tidak, saya bakal dapat siksaan hebat. Semua hanya untuk memertahakan
pelanggan. Soal yang ini, saya hanya ceritakan pada kamu. Saya percaya pada
kamu, Mas.”
Arthur
jatuh terduduk. Dia gemetaran. Empatinya benar-benar dirogoh oleh ucapan
terakhir perempuan itu. Arthur percaya, dia berhasil melakukan pendekatan pada
perempuan itu hingga dia mendapat informasi yang tidak didapat Seno. Rasa
bangganya terkembang. Dia diam saja ketika perempuan itu mulai menciumi dan
menuntunnya ke atas kasur.
***
Arthur
tergelak bangga menceritakan pengalamannya bersama WTS yang dia sewa. Dia
bercerita pada adik-adik tingkatnya di kampus, pun pada Seno. Binar kagum
mereka mulai berbalik dari Seno menuju Arthur. Seno merasa cemburu. Bukan soal
WTS yang mereka sewa itu. Tapi soal kehebatannya yang mulai dibuat mumur oleh
Arthur.
Teman-teman
Arthur mulai menulis skripsi masing-masing. Dosen pembimbingnya belum juga
setuju dengan judul yang dia ajukan.
Diam-diam
Seno menyiapkan sebuah belati di balik kemejanya. Dia atur pertemuan dengan
Arthur di dalam kampus. Sebelum adik-adik tingkat memenuhi pelataran kampus
yang dijanjikan sebagai tempat diskusi oleh Seno dan Arthur, belati sudah diayun
Seno menuju leher Arthur. Napas Arthur berhenti.
Diskusi
hari itu dibatalkan.
WTS
yang disewa oleh Seno dan Arthur tidak bakal ingat, bahwa satu pelanggannya
sudah berkurang.
***
“Kak,
saya ingin mengikuti jejak kakak. Saya ingin meneliti soal WTS. Kakak telah
menginspirasi semua untuk melakukan pembaharuan dalam dunia skripsi. Sesuatu
yang mencerahnya dan berbeda. Setelah Kak Arthur tidak ada, hanya kakak jujukan saya untuk berbagi terkait semua
ini.” Ucap salah seorang adik tingkat Seno yang namanya Bobby.
WTS
yang disewa oleh Seno dan Arthur tidak bakal ingat, bahwa setelah ini satu
pelanggan akan bertambah dalam biliknya…