Jannah,
teman saya itu, dia mulai sekelas dengan saya ketika kelas empat. Asalnya dari Lombok
dan selama sekelas dengan saya, dia tinggal di sebuah panti asuhan. Sama
seperti saya, Jannah pendiam akut. Kamu tidak bakal menemukan kami berlama-lama
mengobrol dengan teman sekelas yang lainnya. Nilai pelajarannya juga tidak
terlalu menonjol, pun saya.
Saya
lupa bagaimana awalnya, Jannah tiba-tiba duduk sebangku dengan saya hingga
kelas enam. Kami bisa saling mengobrol dengan durasi sangat panjang dan
bertukar tawa. Barangkali semua terjadi karena kami sama-sama bukan orang yang
terlalu penting di kelas. Bukan favorit teman-teman yang populer ketika memilih
kelompok kerja; kami dianggap lamban, bukan juga unggulan para guru karena
nilai ulangan yang mengangumkan; bagi para guru, barangkali nilai tinggi
dianggap sebagai keberhasilannya mengajar, meski pada kenyataannya banyak
teman-teman saya waktu itu mendapat nilai tinggi karena memiliki dasar kecerdasan
yang baik, dengan atau tanpa guru.
Beberapa
guru masih memerhatikan keberadaan kami, almarhumah bu Nurul salah satunya.
Satu waktu, beliau bilang pada mama bahwa saya duduk bersama Jannah, seorang
siswi yang sama pendiam akutnya dengan saya. Bu Nurul tidak paham bagaimana
saya berkomunikasi ataukah saya dan Jannah pernah berkomunikasi. Beliau cuma
melihat bahwa saya duduk sebangku dengan Jannah dan selalu rukun.
Awal
semester di kelas enam. Jannah tidak pernah kembali lagi ke bangku kami. Saya
sedih. Teman-teman berceloteh, saling sahut bahwa Jannah kabarnya kembali ke
Lombok, ada juga yang mengatakan bahwa keluarganya terlalu rumit dan bermasalah
sehingga Jannah tidak lagi bisa tinggal di panti, celoteh lain mengatakan bahwa
Jannah hidup bersama ibunya entah di bagian bumi sebelah mana. Kabar-kabar ini
seperti menyumpal pertanyaan saya soal kemana Jannah, namun hanya sementara.
Saya
rindu Jannah dan persahabatannya yang tanpa tendensi. Rindu saya juga untuk
cubitan Jannah di pipi saya setiap hari. Dia sangat suka pipi saya yang
gembung,”Pipimu lucu.” Ucapnya tiap mencubiti pipi saya.
Kami
sama-sama bukan orang yang terlalu berguna saat itu. Pertemanan kami diawali
karena mau saling mendengarkan dan bercerita. Jannah menghormati saya bukan
karena tulisan saya dalam ujian Psikologi Sosial di puji pak Guntur, dosen sekaligus
penyunting yang sudah pensiun beberapa tahun lalu itu. Dia juga mau
mendengarkan saya, bukan karena Karya Tulis Ilmiah (KTI) saya sama sekali tidak
mendapat revisi hingga disambut tepuk tangan heboh dari seluruh kelas.
Pengertian Jannah terhadap saya, juga bukan karena kebisaan saya membuat sebuah
pertunjukan atau karena tulisan saya yang dimuat di media massa. Jannah
berteman dengan saya sebelum saya diketahui memiliki guna, pun saya pada
Jannah.
Mimpi
saya, satu waktu saya punya akses untuk menyentuh semua yang memiliki otoritas.
Saya sendiri tidak minat memiliki otoritas itu sendiri di hari depan, kapasitas
saya tidak tepat. Dengan begitu, menemukan Jannah tidak bakal jadi susah.
Saat
ini, Poppy yang kehilangan Jannah bukan satu hal yang menarik bagi mereka yang
punya otoritas. Tidak punya nilai jual di layar kaca, barangkali. Kadar
kemenarikannya jauh dan jauh lebih kecil ketimbang Julia Perez (JuPe) yang
menangisi bapaknya yang pengguna narkoba itu atau Andrea Hirata dengan ungkapan
cintanya pada bu Mus atau Raffi Ahmad yang meratapi papanya yang tidak bisa
menggendong Rhafatar.
Saya
kangen Jannah dan kami pasti bakal terus saling ingat.
...jadi rindu sahabat kecilku yang sekarang entah dimana
ReplyDelete