Soal
keberadaanmu, saya mengeluh. Kita kenal lama, tapi kamu tidak pernah tahu
bagaimana saya menyukai gunung, pantai dan hutan; yang dari kesemuanya saya
paling menyukai hutan.
Sewaktu-waktu
kamu menceritakan dirimu sendiri pada saya; kuliah, keuangan, mantan
perempuanmu dan perempuan incaranmu. Lucunya, kamu merasa kita sedemikian
dekat. Padahal, saya tidak pernah menceritakan hal serupa pada kamu. Menurut
saya, kamu tidak bakal mengerti, pemahamanmu tidak bakal pernah sampai, saya
terlalu rumit dan istimewa buat kamu pahami. Saya selalu merasa demikian…
Kamu
terus menerus bercerita, dan saya terus mendengar, dan saya terus mengeluhkan
keberadaanmu.
Tidak
seperti mereka yang saya puja, kamu tidak bisa saya ajak ngobrol soal isme-isme. Kamu jengah berpikir soal itu. Obrolan soal
bagaimana mencari makan tanpa nyolong lebih
menarik minatmu. Selalu…
Kamu
sedemikian telaten menemani saya nonton teater, padahal jarak di mana panggung
digelar, makan banyak tenagamu. Kamu tidak pernah suka teater, tapi kamu
pura-pura menyukai dan sok mengerti perkara menikmati dunia panggung. Saya
sinis, saya ngerti bahwa kamu cuma
pura-pura tahu.
Dalam
kepala, saya pikir bahwa kesediaanmu nonton teater cuma imbalan kecil setelah
sekian tahun saya mendengarkanmu. Padahal, barangkali itu caramu memerpanjang
waktu buat bersama saya. Kamu sedang terus berusaha mengenali saya. Teater jadi
bagian kecil kesenangan saya yang barangkali kamu catat.
Bagaimana
kamu terus menerus bercerita, barangkali bukan soal kamu tidak pernah bisa
mendengar saya. Kamu sedang membuka dirimu selebarnya, dengan menceritakan
dirimu dan berlaku begitu percaya pada saya. Barangkali kamu juga berharap satu
hal yang sama dari saya.
Pada
kamu, saya tetap sinis. Dalam kepala, saya pikir bahwa kamu hanya sedang ingin
tahu soal hal yang kamu belum tahu, barangkali itu keseruan tersendiri. Kamu
sama seperti kebanyakan orang. Dungu.
Kamu
mendatangi waktu saya sakit dan menawarkan kue mana yang saya sukai dan bakal
kamu bawa. Susu katamu lupa dibubuhkan pada kue yang kamu bawa. Soal susu,
dokter memang melarang meski saya kelewat suka. Barangkali, kamu sengaja
berpura-pura lupa. Tidak seperti mereka yang bisa saya ajak bicara soal
isme-isme…
Dungu
betul, setelah sekian tahun kita saling kenal. Saya baru ingat, betapa saya
punya mekanisme bertahan yang sedemikian rumit jalinannya. Soal itu, tidak ada
yang istimewa. Setiap orang punya mekanisme bertahan, dan saya cuma salah satu
dari sekian. Dalam waktu yang sekian, saya tidak pernah membiarkan kamu
mengenali diri saya. Ini bukan soal kamu tidak pernah bisa mendengar saya,
namun ini soal kesediaan saya membuka diri pada kamu.
Jadi,
selamat datang dan biar saya kenalkan diri pada kamu…
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!