Wednesday, January 27, 2016

Kangen Kamu, Pohon


Papa menghadiahi saya sebuah bibit pohon. Begitu saya tanam dan siram, bibit itu meninggi setara dengkul dan berbuah sebuah ponsel. Ponsel itu dilengkapi infra merah, kamera VGA juga pemutar musik. Beda benar dengan ponsel saya terdahulu, cuma dilengkapi radio dan layarnya berwarna kuning. Asalnya pun, dari pohon yang cuma setinggi mata kaki. Meski keduanya sama-sama memiliki tujuh belas tombol.
“Kamu pantas mendapatkan bibit pohon yang lebih baik.” Papa selalu berkata begitu, tiap saya bertanya soal bibit yang baru dia berikan itu.
Memang saya mendapat peringkat delapan selama dua semester berturut-turut. Papa sudah menjanjikan bibit pohon yang lebih baik jika saya masuk sepuluh besar selama tahun pertama masuk SMK.
Satu siang, saya melihat Tata mengelus dan mengelap sebuah pohon yang bahkan tidak sampai setinggi betis di halaman rumahnya. Kami sama-sama kelas sebelas sekarang. Dia seorang tetangga yang rajin bertukar senyum dulunya, sama seperti saya. Tapi tidak setelah pohon kecilnya itu datang. Pohonnya bikin dia sibuk. Belakangan saya tahu, bahwa pohon itu menghasilkan ponsel tanpa tombol dan memiliki kamera belasan mega pixel.
“Saya bisa mengirim gambar, tulisan dan suara dengan ponsel ini. Pohon ini pun tidak seperti pohonmu yang cuma menghasilkan keypad, baterai dan komponen pengganti lain sebelum ponselmu mumur. Pohon ini menghasilkan Instagram, Photogrid, Path dan banyak lainnya. Ah, pokoknya beda benar dengan pohon milikmu itu.” Jawab Tata ketika saya menanyakan fungsi pohon kecilnya. Saya merasa iri. Bayangan-banyangan soal dia dan pohon itu terus berkelebat. Tata pasti bakal bisa mengirim lebih dari seratus pesan sehari, tanpa nyeri di jari-jari.
Pada papa, saya mulai protes. Bagaimana pohon saya yang lebih tinggi menghasilkan ponsel yang tidak lebih baik?
“Oh, tentu. Pohon milik Tata namanya bonsai. Kamu bisa memilikinya jika tahun ini naik peringkat.” Jelas papa menyahut protes saya.
            Saya semangat benar selama setahun di kelas sebelas. Waktu ujian, saya saling tukar jawaban dengan teman-teman melalui ponsel. Peringkat saya naik dua tingkat kemudian. Dan papa, dia membawakan saya sebuah bonsai. Lebih tinggi dari milik Tata. Setidaknya setinggi pohon lama saya.
            “Kamu tidak perlu menyiramnya seperti pohon lamamu. Cukup kamu elus dan lap saja. Nanti dia akan menghasilkan Photogrid, Path, WhatsApp dan banyak lainnya. Persis yang kamu mau. Meskipun mendapat semua itu, kamu jangan pernah berhenti bertukar senyuman” Sela papa saat memergoki saya hampir menyiram bonsai itu dengan air.
            Bonsai milik saya itu, ternyata menghasilkan ponsel yang kedap air, memiliki kamera puluhan mega pixel, juga tidak memiliki tombol. Saya tidak perlu khawatir, jika ponsel itu kecemplung bak mandi. Sekarang, saya bisa mengobrol diam-diam dengan pacar sambil mandi. Kami mudah bertemu, tanpa perlu dia mengetuk pintu rumah saya terlebih dahulu.
            Tata beberapa kali kepergok melirik benci, ketika melihat saya mengelap bonsai di halaman depan. Dia cuma iri. Saya yakin sebabnya cuma menyoal bonsai milik saya yang lebih tinggi. Kami sekarang sama-sama kelas dua belas. Dan sama-sama malas bertukar senyum. Saya puas dengan bonsai yang saya miliki sekarang. Tidak ingin pohon lain. Papa juga tidak menjanjikan pohon lain jika saya mendapat peringkat yang lebih baik di kelas dua belas. Soal peringkat, saya sekarang juga tidak peduli.
            Satu waktu kemudian, saya ketahuan sedang berciuman dengan pacar saya di stasiun kota. Waktu itu masih jam sekolah dan kami memang berjanji bertemu diam-diam lewat ponsel. Kami berdua digiring naik mobil Pamong Praja. Guru menelepon papa buat menjemput saya. Papa datang, kemudian menampari muka dan menjambak rambut saya selama perjalanan menuju rumah.
            Sampai rumah, papa mengurung saya dalam kamar. Dari jendela, tampak papa menyulut api kemudian bonsai terbakar. Ponsel saya mumur.
            Papa hanya membolehkan saya keluar rumah untuk menyirami kaca-kaca di halaman belakang. Kaca-kaca yang saya akui memang bikin udara lebih sejuk dan kata para aktivis rewel itu, bisa menjadi resapan air. Papa juga sangat yakin bahwa menyirami kaca-kaca itu bakal membuat saya kembali mau bertukar senyum.
            Dengan pacar, saya putus komunikasi. Saya kangen ciumannya, juga pesan suaranya melalui WhatsApp. Gara-gara ponsel saya mumur, kami tidak bisa berkomunikasi dan bertemu diam-diam.
            “Kalau dia memang cinta pada kamu, dia bakal mengetuk pintu rumah ini buat bertemu dengan kamu.” Ucap papa berkali-kali, tiap saya mengumpati pohon saya yang terbakar dan ponsel saya yang mumur.
            Saya kangen kamu, pohon…

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!