Saturday, January 30, 2016

Pelacur dan Seorang Teman Lama


“Kamu sangat cemerlang di SMA, kenapa mesti jadi pelacur?” tanyamu sambil menggeser kotak rokok lebih dekat dengan dadamu.
“Aku sangat takut ketika membayangkan ketidakmapanan. Untuk itu, aku menjadi seorang pelacur.” Jawabku sambil menarik kotak rokok lebih dekat dengan dadaku.
“Ah, akan ada banyak jalan soal itu, Agni. Kamu sangat cerdas, pipimu merah jambu dan rambutmu tebal, kenapa tidak cari suami kaya saja?”
“Itu cara tidak terhormat.” Ketusku sambil meraih korek api dari nakas.
“Setidaknya, dengan begitu, kamu tidak melacur…”
“Merampok uang pelan-pelan dari seorang lelaki yang sesungguhnya tidak aku cintai, bukan begitu?” api mulai aku nyalakan dari korek. Setelah api menyala beberapa detik, buru-buru aku meniup api itu sambil menggeser duduk lebih dekat denganmu.
“Status pernikahan menyelamatkan mukamu di masyarakat.” Kamu tetap duduk di tempat, tidak berusaha menjauh atau mendekati tempatku duduk sekarang.
“Itu cara munafik. Jadi pelacur adalah hal yang paling jujur bagi aku sekarang. Setidaknya, meski aku sudah tidak memiliki keperawanan, aku masih memiliki kejujuran.” Aku mengambil satu batang rokok, kemudian menyelipkannya di antara telunjuk dan jari tengahku.
            “Keras kepala...” Kamu menarik rokok yang terselip di antara dua jariku.
“Kamu ingin aku jadi seperti mantan pacarmu itu? Yang anggun memakai penutup kepala sepanjang dada? Yang tiga tahun memacarimu demi tas dan sepatu? Dia sama seperti aku kecuali soal keperawanan!” jeritku sambil menoleh membelakangi bahu kirimu.
“Dia…” ucapanmu belum selesai, namun aku tidak sabar buat buru-buru memotongnya dengan satu lagi jeritan.
“Dia rindu kemapanan, sama seperti aku. Namun, dia mengambil jalan munafik! Berbohong penuh!”
“Kamu boleh mengumbar semua yang menurutmu benar. Tapi, jangan sangkut soal penutup kepalanya yang sepanjang dada itu, aku mohon...”
“Lucu, sekian tahun setelah kita bertemu kembali di ranjang, kamu tetap sama, isi kepalamu tetap seperti drama di televisi…” aku menarik rokok yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahmu.
“Aku tidak pernah cukup cerdas buat menangkap maksudmu, Agni.” Ucapmu datar.
“Televisi selalu menampilkan gadis dengan rambut terurai seperti aku ini, sebagai tokoh jahat dan penyiksa. Sedangkan, gadis berpenutup kepala seperti mantan pacarmu itu, selalu digambarkan sebagai tokoh kalem yang jadi bulan-bulanan penyiksaan. Jika televisi membaliknya, para aktivis yang katanya membela Tuhan itu bakal menyerbu, bukan begitu?”
“Tidak, Agni… aku…” ucapanmu semakin kalem.
“Pelacur dan pacar hanya punya beda soal keperawanan saja. Selebihnya, cuma menyoal kamu dapat menyentuhnya di sana-sini dan dia dapat kemapanan yang dia mau, bukan begitu?”[1]
“Agni…” ucapanmu kali ini bisa dibilang paling lirih.
“Ah, berapa sih? Total uang buat tas dan sepatu yang kamu berikan pada mantan pacarmu itu? Aku yakin jauh lebih banyak ketimbang sekali mengundang aku ke ranjang. Rugi! Hanya menyentuh bagian terluar pakaiannya selama tiga tahun dan mengeluarkan biaya yang lebih banyak ketimbang sekali mengundang seorang pelacur seperti aku.”
Kamu menarik napas sebelum menahannya kemudian menjerit,”Dengan pacar, kamu masih memiliki rasa ketika menyentuhnya! Tidak ketika menyentuh seorang pelacur!”
Bibirku gemetaran. Batang rokok, korek dan kotak, semuanya aku lemparkan ke lantai. Aku menarik selimut hingga batas hidung. Bola mataku berair.
“Pergilah… ingat pertemuan pertama kita di ranjang bertahun-tahun lalu itu sebagai yang paling pertama sekaligus tidak bakal terulang.”
Kamu menggeser duduk hingga berdempetan dengan tubuhku. Kepala kamu sandarkan di bahuku sambil mulai sesenggukan.
“Besok kita mesti menikah, Agni. Maaf… aku datang ketika baru berani menyajikan kemapanan padamu. Maaf… aku lari setelah pertemuan pertama kita di ranjang bertahun-tahun lalu. Maaf, Agni… maaf…”
Mendadak, pipiku basah.



[1] Terinspirasi dari salah satu paragraf cerpen Suami Terbaik, oleh Muhajjah Saratini: Mereka hanya mencari celah untuk menyentuh bagian tubuhku. Ini seperti barter, sih. Mereka memfasilitasi hidupku, dan aku menjadi “selir” mereka. Dipamerkan ke mana-mana. Disentuh di sana-sini. Sial! Kadang aku pikir, beda pacar dan pelacur itu hanya tidak memberi keperawanan. Ya ada juga sih sebagian wanita bodoh yang memberi keperawanan mereka ke pacar dengan sukarela. Ah, wanita.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!