Oleh: Poppy Trisnayanti Puspitasari
Wara
menarik kemudian menghembus napasnya cepat-cepat. Hentakan napasnya yang kasar,
seperti sebuah tanda, perasaan gadis delapan belas tahun itu sedang tidak cukup
senang.
“Dewi,
tolong ambilkan toples akrilik putih. Ada di belakang punggungmu.” Ucap bapak
dengan telunjuk yang menuding ke belakang punggung Wara. Wara menggeser duduk,
kemudian tangannya meraih toples yang dimaksud bapaknya itu dengan malas.
Bapak
memang selalu setia memanggilnya Dewi, pun ibunya. Namun dia lebih senang
dipanggil Wara, nama belakang yang menurutnya lebih maskulin dan mewakili
lukisan-lukisannya yang di dominasi warna hitam, putih dan merah, seperti sebuah
kegelapan dan kedukaan yang berani digagas. Nama Dewi menurutnya kelewat manis,
kalem dan keperempuan-perempuanan, ketika dipakai buat mewakili lukisan-lukisannya
itu. Persis seperti harapan bapak dan ibunya ketika memberinya nama depan,
Dewi.
“Pak,
bisakah Bapak berhenti mengirim lukisan ke Sukawati?” Wara membuka percakapan
setelah bapaknya mulai memulas akrilik putih di atas kanvas.
Bapak
menghentikan pulasan kuasnya beberapa detik. Sekilas dia meneliti wajah
Dewinya. Ada rasa marah yang betul-betul luber dari bola mata Dewinya itu.
“Kamu
sudah mengucap itu berkali-kali pada bapak.” Bapak berucap sambil tangannya
kembali memulas akrilik putih ke atas kanvas.
“Dan
bapak tidak pernah menjawabnya.” Wara menyahut ketus.
Bapak
tersenyum tipis tanpa memandangi Wara. Dua menit kemudian, Wara disibukkan oleh
tiga pengunjung remaja di lapak lukisan milik bapaknya. Tiga pengunjung itu
memakai gelang sewarna yang dikaitkan di pergelangan tangan kiri mereka
masing-masing. Agaknya, hal itu dilakukan buat menegaskan bahwa mereka adalah
satu kelompok yang solid.
Salah
seorang remaja mengulurkan selembar foto pada Wara. Foto itu berisi gambar
mereka bertiga dengan latar belakang Balai Kota Malang. Wara menerima selembar
foto itu dengan antusias. Lembaran foto yang diterima oleh Wara, sekaligus
sebagai tanda bahwa ketiga remaja itu resmi memesan lukisan di lapak milik
bapaknya.
Satu lagi pelanggan…
Wara
terus menampakkan gigi-giginya dalam senyum kelewat lebar, bahkan ketika ketiga
remaja itu sudah menghilang dan berganti menjadi kerumunan orang asing.
***
Lapak lukisan milik bapak tidak
memiliki atap ataupun tiang penyangga. Semua orang dapat jelas-jelas melihat,
lapak milik bapak hanya memanfaatkan lahan sisa yang dipakai pedagang bakso
Malang. Untuk lahan yang sedemikian kecil, bapak hanya membayar seperempat dari
keseluruhan biaya retribusi.
Bapak bersama para pedagang lainnya
hanya berdagang di tempat itu semingu sekali. Tempat itu akrab disebut sebagai
Pasar Minggu. Namun, pelajar dan mahasiswa yang sering lalu lalang di depan
lapak bapak, lebih sering menyebut tempat itu sebagai CFD, singkatan dari Car
Free Day. Car Free Day memang jadi nama resmi keluaran pemerintah kota. Sebutan
itu dipergunakan untuk menyebut kisaran jalan Ijen dan Semeru yang setiap minggu
dibuat steril dari kendaraan bermotor.
Bapak sudah membuka lapak di pasar
Minggu sejak Wara usianya tujuh tahun. Semenjak itu pula, Wara mulai
dikenalkannya dengan kanvas, kuas, cat dan palet. Mata Wara selalu berbinar melihat alat-alat lukis milik
bapak. Dia sudah merekam tiap gerakan melukis bapaknya, sejak kali pertama dia
berkenalan dengan alat-alat lukis.
Dalam kesehariannya, bapak menggarap
belasan lukisan tiap bulan buat dijual pada Cak Icus. Lukisan-lukisan itu
dijual bapak tanpa membubuhkan nama apalagi tanda tangannya. Cak Icus pun
selalu menyamaratakan harga lukisan bapak. Tidak peduli sehalus atau serumit
apapun lukisan yang bapak kerjakan, bapak akan selalu mendapat upah yang sama.
Melalui Cak Icus, lukisan bapak akan diberi cap khusus sebelum dibiarkan
bercampur jadi satu dalam peti kemas bersama ratusan lukisan lain hasil buruan
Cak Icus, tentunya dari pelukis-pelukis yang nasibnya sekelas dengan bapak.
Selanjutnya, lukisan-lukisan itu dikirim ke Pasar Seni Sukawati di Gianyar
Bali.
Wara pernah sekali menemukan lukisan
bapaknya terpajang di ruang tamu guru di sekolahnya dahulu. Tentu saja, Wara
hafal betul dengan polesan tangan bapaknya di atas kanvas. Cap atas nama produk
Cak Icus juga jadi bukti pendukung bahwa lukisan itu memang bikinan bapaknya.
Lucunya, dengan bangga guru Wara itu mengatakan bahwa lukisan yang dibelinya,
merupakan hasil berburu di Pasar Seni Sukawati, asli produk Bali katanya, juga
oleh-oleh yang tidak bisa didapat di tanah Jawa, di Kota Malang apalagi. Kalau
sudah begitu, Wara cuma mengangguk, pura-pura mengiyakan sambil terkekeh dalam
batin.
Hati Wara sering gatal ketika
melihat bapaknya yang begitu pasrah menyerahkan lukisan-lukisannya pada Cak
Icus, tanpa bubuhan nama atau tanda tangan buat menunjukkan bahwa itu memang karyanya.
Sudah berkali-kali, dirinya protes pada bapak soal cara menjual lukisan yang
bodoh menurutnya.
“Itu namanya tidak menghargai hak
cipta, Pak.” Ucap Wara ketus satu waktu.
“Kata ‘cipta’ itu miliknya Tuhan, Nduk. Bapak ini cuma buruh, seorang pembuat…”
bapak menanggapi ucapan ketus Wara dengan begitu adem.
“Kenapa bapak ndak coba jual sendiri saja lukisan-lukisan itu ke Sukawati?”
Bapak cuma tersenyum sambil
tangannya makin sibuk memasukkan toples-toples kecil cat ke dalam kotak kayu
yang ukurannya jauh lebih besar.
Jepreted by: Mas Ardi Omah Komunitas dan Pelangi Sastra Malang |
Bukannya bapak belum pernah mencoba.
Dia pernah seusia dengan Wara. Usia di mana seseorang memang kelihatan terlalu
meledak dan kelewat idealis. Pada masa itu, bapak mencoba membawa dua lukisannya
menyeberang ke Bali. Sampai di Gianyar, bapak tentu saja langsung menuju Pasar
Seni Sukawati. Dengan semangat yang kelewat-lewat, bapak menjajakan sendiri
lukisannya di Sukawati. Tentu saja, harga yang ditawarkan bapak jauh lebih
mahal ketimbang lukisan lainnya yang terpajang di dalam pasar. Sebelum
menentukan harga, bapak sudah menjumlahkan biaya agar dia dapat sampai di
Gianyar. Beberapa kali turis domestik yang tertarik, mencoba menawar lukisan
bapak dengan harga yang jauh dari standar yang dia berikan. Bapak terus
menggelengkan kepalanya hingga di sore hari yang cukup terik, dia menyerahkan
lukisan itu, pada seorang pemilik lapak yang cukup berbaik hati buat membeli
lukisannya seharga tiket bus dan kapal untuknya kembali ke Malang.
Itu lukisan terakhir yang dibuat
bapak dengan membubuhkan nama dan tanda tangannya, tentu dengan rasa angkuh dan
kebanggan penuh yang juga dia sematkan terakhir kali.
***
“Apa
tahun ini, kamu akan kembali mendaftar ke Perguruan Tinggi, Dewi?” ibu
memandangi Wara yang duduk tegang di kursi rotan dekat pintu.
“Tentu
saja, Bu.” Jawab Wara cepat-cepat.
“Kamu mau ambil Seni Rupa lagi?”
Wara mengangguk pelan. Mungkin
nyaris tidak terlihat oleh ibu.
“Dewi, ibu mohon bersikaplah
realistis. Dua tahun berturut-turut, kamu sudah tidak diterima di jurusan itu. Kamu
baiknya ambil keguruan saja, peminat keguruan tidak terlalu banyak. Di kemudian
hari, jadilah pendidik seperti ibu.”
“Ibu berharap aku dapat gaji rutin
sebagai guru swasta di sebuah yayasan? Oh, sayangnya itu tidak bakal menjadi
kepuasan batinku seperti ketika aku melukis, Bu.”
“Lihat bapakmu yang pelukis itu.
Bahkan hasilnya membuka lapak di Pasar Minggu, jika ditambah dengan bayaran
rutinnya dari Cak Icus, tidak bakal cukup menghidupi kita bertiga jika…” ibu
belum selesai berucap, namun Wara buru-buru berdiri dan memotong ucapan ibunya.
“… jika tidak ditambah dengan gaji
bulanan ibu sebagai guru.”
Ibu mendelik dengan napasnya yang
berkejaran. Wara kemudian melenggang menuju kamar buat menyelesaikan lukisannya
yang belum selesai.
***
Ini tahun ketiga buat Wara memiliki
kesempatan masuk perguruan tinggi. Dia sudah ditolak dua kali berturut-turut
ketika masuk jurusan Seni Rupa. Wara tidak mau memasuki jurusan yang selain
Seni Rupa. Meski artinya, dua tahun waktu luangnya hanya diisi aktivitas melukis buat
membantu bapak sehari-hari dan menjaga lapak kecil di Pasar Minggu tiap akhir
pekan. Menurut Wara, itulah kepuasan batin yang dia cari.
Namun, soal lukisan bapaknya yang
dikirim ke Sukawati, Wara masih terus bertanya-tanya…
“Pak,
bisakah Bapak berhenti mengirim lukisan ke Sukawati?”
Bapak
menggeleng pelan. Mungkin nyaris tidak terlihat oleh Wara. Soal melukis, bapak
tidak ingin putrinya itu hilang kepercayaan. Biar cerita Sukawati dan
lukisannya itu dia simpan sendiri. Putrinya mesti hidup dari hal yang dia
senangi, bukan cuma perkara bekerja dan dapat memenuhi kebutuhannya buat makan,
seperti istrinya…
Beda
dengan bapak. Ibu terus-menerus berusaha mendikte Wara buat masuk keguruan saja
di Perguruan Tinggi. Putrinya itu, tidak boleh hidup berdasarkan apa yang dia
senangi. Dia harus memiliki pegangan pasti buat memenuhi keutuhannya makan di
kemudian hari. Gaji rutin sebagai seorang guru, ibu pikir sebagai keputusan terbaik
buat Wara, biar putrinya itu tidak hidup seperti suaminya…
Namun,
pagi itu nyatanya jadi pagi yang benar-benar berbeda di Pasar Minggu. Serangan
stroke yang ibu alami, dikabarkan seorang tetangga melalui ponsel milik bapak.
Muka Wara menegang, pun bapak yang biasanya selalu menanggapi segala hal dengan
adem.
***
Wara
memutar-mutar kursor mouse komputer
di Warung Internet yang mejanya ia sewa. Mukanya tegang persis seperti berita
serangan stroke ibunya pertama kali datang. Tapi kali ini, bukan cuma soal
serangan stroke, bukan juga soal dirinya yang sekarang ikut bekerja pada Cak
Icus buat menutup biaya sehari-hari setelah ibunya berhenti bekerja, semua juga
soal kesempatannya masuk Perguruan Tinggi di tahun ketiganya setelah lulus SMK.
Pendaftaran
sebelum tes tulis, dilakukan secara online.
Wara berulang kali menggeser duduknya dengan rasa gelisah yang makin terisi penuh.
Dia tinggal memilih pilihan jurusan yang diinginkannya tahun ini. Di tahun-tahun sebelumnya, Wara ngeyel hanya memilih Seni Rupa sebagai
pilihan jurusannya. Dia tidak memikirkan pilihan alternatif, yang dia mau hanya
Seni Rupa. Tapi, tahun ini berbeda…
Wara
kali ini menggerakkan kursor dengan mantap. Dia tahu mesti memutuskan apa…
***
Aku juga punya salah seorang guru namanya Pak Takim. Berbeda dengan Wara maupun bapaknya, beliau lebih suka menandai lukisannya dengan tanda tangannya sendiri.
ReplyDeleteKelihatannya tradisi salin Cap antar pelukis memang sudah menjamur ya mbak. pernah Pak Takim menceritakan padaku tentang berjualan lukisan yang hanya tanda tangannya saja yang dibuat, lukisannya beli ke orang lain agar lebih cepat. Biasanya dilakukan oleh seorang pelukis yang telah memiliki nama baik. Namun kebanyakan orang yang berjiwa seniman lebih memilih untuk memberi cap asli karena mereka tidak bertujuan untuk uang.
Sayangnya, semoua orang sangat butuh makan termasuk seniman pun (:
ReplyDeleteIya, itu juga cerita-cerita yang suka beredar di kalangan teman-teman memang. Pelukis besar punya 'buruh' sendiri. Seru dibahas-bahasnya ini xD kamu ketik kek jadi apa gitu, Qin...