Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Aku
dan Agni sudah tujuh tahun bersama-sama. Bukan sebagai sepasang suami istri,
namun sebagai sepasang kekasih yang sekalipun belum pernah bersetubuh. Para
kolega dan kerabat kami begitu mengagumi komitmen kami yang suci. Pikir mereka,
kami memanglah sepasang kekasih yang penuh dengan prinsip dan saling menjaga
satu sama lain.
Jika
kamu berpikir serupa para kolega dan kerabat kami itu, maka kamu tidak benar-benar
mengenal siapa kami. Selama tiga tahun bersama, kami sering berusaha
bersetubuh, namun selalu gagal tiap wajah kami telah berhadapan.
“Ada
yang memanggilku…” ucap Agni sambil menahan wajahku, satu waktu saat kami
hampir bersetubuh.
“Siapa?”
tanyaku.
“Kopi
dan cangkirnya. Mereka minta aku bersetubuh sekarang juga.” Pungkas Agni yang
kemudian beranjak dari kasur.
Jika
kemudian kamu pikir Agni betul-betul bersetubuh dengan cangkir dan kopi,
berarti kamu sama lebay seperti isi
kepala Agni. Atau bisa jadi, kamu mengaku sama-sama penyair edan juga, seperti
gadis berambut cepak itu.
Pada
nyatanya, Agni hanya mengaduk kopi di dapur. Kemudian dia menyeruput kopi itu
sedikit demi sedikit sambil mengetik sesuatu bernama puisi di laptopnya.
Kegiatan yang seperti itu, yang dia bilang bersetubuh dengan kopi dan
cangkirnya. Edan!
Di
lain waktu, saat lagi-lagi kami hampir bersetubuh, Agni lagi-lagi menahan
wajahku.
“Ada
yang memanggilku…” ucap Agni.
“Siapa?
Cangkir dan kopi lagi?” tanyaku.
“Bukan.
Hujan yang memanggilku. Dia meminta aku bersetubuh dengannya sekarang juga.”
Pungkas Agni sambil beranjak dari ranjang dan buru-buru menjinjing laptopnya.
Dan.
Kamu benar kali ini. Agni memang mengetik sesuatu yang bernama puisi di depan
jendela yang basah terkena leleran air hujan.
Semenjak
saat itu, aku makin mengenali wajah cangkir, kopi dan hujan. Mereka adalah
sebab lebay Agni buat menulis puisi. Mereka
juga yang selalu merebut saat-saat yang mestinya aku pergunakan buat
menyetubuhi Agni.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!