Sumber: Gugel |
Hai, Ujian Nasional a.k.a UN kabar saya baik, seperti kamu tebak. Nama saya Kenangan, saya lahir di era 90an dan menemuimu kali pertama saat kelas sembilan.
Kala itu orang-orang dewasa di sekitar saya selalu pias saat mendengar namamu, UN. Televisi menyiarkan belasan anak kesurupan sedang ratusan lainnya menangis histeris sambil mengucap nama Tuhan, tiap kamu makin dekat.
Mama seorang tetangga saya yang kelas dua belas, datang ke rumah dengan wajah tegang dan hampir menangis. Ia menceritakan, putrinya meraih nilai delapan dan sembilan pada tiga mata pelajaran dan nilai dua pada satu mata pelajaran yang membikinnya itu tidak lulus.
Orang-orang dewasa di sekeliling saya, tidak ada yang mengatakan bahwa tanpamu, saya tetap bisa ikut paket B atau tetap bisa masuk sekolah lanjutan negeri. Mungkin mereka sengaja tidak memberitahukannya, agar saya berusaha keras buatmu. Ya… biar saya terbiasa dengan usaha keras sebelum dewasa, barangkali. Atau mereka memang tidak tahu, yang tidak terlalu memuakkan ketimbang pura-pura tidak tahu. Selain soal program kesetaraan belum bisa menyamai gengsi sekolah formal sih.
Akhirnya, dengan segenap kekuatan super yang saya punya, les privat sana-sini maksudnya. Tiga mata pelajaran saya raih dengan nilai delapan dan satu mata pelajaran dengan nilai empat. Empat adalah batas nilai terendah yang jika ditotal dengan tiga mata pelajaran lain, berarti saya masih lulus meski cuma dengan rata-rata tidak sampai delapan.
Tidak ada maknanya nilai rapor, ujian sekolah atau gambar-gambar karya saya yang saat itu hampir selalu jadi percontohan oleh guru kesenian. Hanya kamu yang kala itu punya arti.
Beda lagi, saat saya kembali bertemu denganmu di kelas dua belas. Nilai ujian sekolah ada artinya saat itu, meski secara ajaib nilai matematika saya yang hanya lima berubah jadi delapan di ijazah.
Tiga tahun berikutnya, kamu berubah lagi. Nilai rapor dan ujian sekolah setara maknanya denganmu saat itu. Meski begitu, televisi tetap menayangkan belasan anak kesurupan sedang lainnya menjerit histeris sambil menyebut nama Tuhan. Motivator makin laris. Mereka membikin anak-anak sekolahan sesaat menjeritkan nama ibu mereka, sambil memutar musik-musik sedih yang biasa jadi latar berita tragedi di televisi.
Sekarang, saya sudah mengerti, mestinya mama tetangga saya tidak perlu tegang hingga hampir menangis. Putrinya bisa masuk jurusan di perguruan tinggi, yang tidak berkaitan dengan mata pelajaran yang membikinnya tidak lulus. Bahkan tes masuk perguruan tinggi tidak ada kaitannya dengan kamu juga kan ternyata.
UN… nanti tolong inbok alamat terbaru kamu di FB saya, ya. Saya sekarang sudah agak pintar ketimbang dulu buat berdialog denganmu. Lha… waktu saya sudah agak pintar dan pengin ajak kamu berdialog, kok ya kamunya menghilang toh…
Duh… UN…
Salam,
Kenangan
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!