Sunday, October 9, 2016

Mendiang Bu Nurul, Bikin Si Anak Panti Jadi Percaya Diri


Saya baru saja memahami, apa sebab saya menulis selama ini. Saat SD kelas dua, saya begitu menyukai bu Nurul Aula. Guru yang menurut teman-teman lain begitu kaku dan galak. Namun, bagi saya beliau justru tegas dan perhatian. 
Siswa paling pintar bisa diapresiasinya dengan melibatkan seluruh penghuni kelas. Persaingan sehat dibentuk dari sana. Bahkan, masing-masing siswa yang menjadi jagoan bisa memiliki simpatisan. Jika di kelas lain, siswa paling pintar, segala apresiasi dan pujiannya seolah hanya dimiliki sendiri. Beda betul dengan kelas yang dipimpin bu Nurul. Siswa paling pintar seperti dimiliki bersama oleh seluruh penghuni kelas.
Bukan hanya siswa paling pintar. Bu Nurul juga memerhatikan keunikan karakter masing-masing siswanya. Pernah suatu ketika, teman saya yang tinggal di sebuah panti asuhan membawa teri balado sebagai bekal. Bu Nurul tidak sungkan memohon ijin buat memakan sedikit bekal yang dengan antusias dikatakan, sepertinya memiliki rasa yang enak.
Saya sangat ingat, teman saya itu buru-buru memberikan satu sendok teri balado dari kotak bekalnya. Wajahnya kelihatan berbinar dan tersanjung, seolah seorang guru yang mau makan makanan yang sama dengan anak panti sepetinya adalah hal yang luar biasa.
Bu Nurul ternyata hanya menyuap sedikit makanan yang ada di tangannya. Selanjutnya, dia memuji masakan pengurus panti, yang dibawa sebagai bekal oleh teman saya itu betul-betul enak. Seluruh kelas bergemuruh. Sebagian siswa yang biasa bergerak lincah segera mengerubungi bu Nurul, memohon sedikit jatah teri balado untuk mereka makan.
Teman saya si anak panti itu makin menunduk dan tersipu. Bu Nurul kemudian meminta lagi sedikit teri balado dari kotak makan miliknya. Banyak siswa yang kemudian mengerubungi si anak panti itu. Semua saling berbicara, meski sekadar memohon ijin buat meminta sedikit teri balado dari si anak panti.
Selanjutnya, teman saya si anak panti itu, begitu diingat teman-teman sekelas sebagai seorang yang mau berbagi teri balado dengan mereka.
Belakangan, ketika dewasa. Saya baru menyadari, cara bu Nurul meminta teri balado adalah buat melibatkan teman saya, si anak panti itu di dalam kelas. Anak panti itu, baru saja bergabung di sekolah saat kelas dua, yang juga jadi tahun pertamanya menjadi warga panti asuhan.
Saya sering melihat beberapa teman perempuan sengaja menjahilinya hingga mata anak itu berkaca-kaca karena sedih. Saya sendiri hanya bisa diam dan duduk di sudut kelas tanpa berbuat apa-apa. Saat itu, saya memang lemah dan belum mengerti sekuat apa sesungguhnya diri saya jika saja saya lebih berani.
Kamu tahu? Saya sangat ingin mengatakan pada bu Nurul bahwa saya sangat menyukai beliau. Namun, saya tidak pernah mengerti bagaimana carnaya. Saya dulunya tidak seperti siapa yang kamu kenal sekarang. Dulu, saya sangat kesusahan mengungkap apa yang sesungguhnya saya rasa.
Menjelang kelulusan, saya nekat masuk dalam ruang guru. Saat itu, tepat ulang tahun saya yang ke dua belas, tanggal lima juni. Saya menyodorkan selembar kertas berwarna kuning pada bu Nurul.
“Eh? Ini buat apa, Pop.” Tanya bu Nurul saat itu.
Dengan tidak berani menatap mata beliau, saya menjawab,”Itu untuk biodata bu Nurul…”
Oh, Tuhan… saya sungguh tidak percaya saya bisa seberani itu. Saya berhasil mengatakan apa yang saya mau pada orang yang sangat saya suka.
Saya ingat, bu Nurul hanya tersenyum kemudian memersilahkan saya duduk di hadapannya.
“Diisi apa nih, Pop?” goda bu Nurul sambil mengetuk-ketuk bolpoinnya di atas kertas.
“Anu… nama, tanggal lahir…” jelas saya sebisa mungkin tanpa rasa grogi.
Bu Nurul lagi-lagi tersenyum dan menyelesaikan biodata yang saya minta. Setelah biodata selesai ditulis dan disodorkan pada saya, buru-buru saya pamit keluar ruangan. Jika saja bu Nurul tahu, saya sesungguhnya ingin berlama-lama duduk di hadapannya dan mengobrol banyak hal. Kelulusan makin dekat dan saya tahu, mustahil melihat bu Nurul setiap hari di SMP.
Ah… pikir saya saat itu, meski saya tidak berani menyatakan perasaan saya pada bu Nurul apalagi berlama-lama mengobrol dengannya, saya setidaknya masih bisa menyimpan tulisan tangan yang saya dapat dari biodatanya itu. Bukankah tulisan tangan juga punya harga?
Bu Nurul meninggal sekitar tahun 2010. Tentu saja, saya menangis. Tidak ada wajah terakhir beliau yang bisa saya rekam. Terakhir, saya hanya bisa menitipkan sebuah kertas yang asal saya comot dari meja perawat bertulis ‘Bu Nurul, You Are The Best Teacher’.
Saya sudah mulai bisa berekspresi saat itu, menulis jadi awalnya. Sayang, kertas berisi isi hati saya pada bu Nurul yang akhirnya bisa saya ungkapkan itu, hanya bisa saya titipkan pada adiknya yang berjaga di depan ruang ICU yang kemudian juga jadi tempat bu Nurul berpulang.
Jika kamu mengenali saya yang barangkali terlalu ekspresif mengungkap sesuatu saat ini, baik lewat tulisan atau juga sikap. Kamu mesti tahu, saya hanya tidak ingin terlambat kemudian menahun dalam sesal…

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!