“Kenangan selalu hapal jalan
pulang.”
Djoko
Saryono
Saya
sekolah di TK Perwira, satu-satunya Taman Kanak-Kanak yang ada di daerah saya
pada 1999. Kursi warna warni jadi tempat duduk kami semua setiap hari. Namun,
kursi merah anehnya jadi sakral bagi hampir kami semua. Saya menganggapnya
ganjil, tentu saja.
Setiap
hari, anak-anak berebut mengambil kursi merah bagi diri mereka sendiri. Jumlah
kursi merah tentu tidak banyak. Ingat saya, bahkan tidak sampai lima. Saya
bahkan sering terusir jika kebetulan sedang duduk di kursi merah. Saat itu,
kursi berwarna apa saja saya anggap sama.
Foto rapor saya saat TK. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Bahkan,
seorang teman perempuan yang setiap hari menempel pada saya untuk bermain
bersama, juga berkali-kali mengusir saya dari kursi merah yang hanya kebetulan
saya dapat. Saya selalu memersilahkannya. Dia duduk di bangku belakang meja
saya. Sering juga dia memamerkan betapa kursi merah itu lebih lembut dari
kursi-kursi lainnya. Tapi saya hanya membalasnya dengan tatapan kosong. Bagi
saya, semua kursi itu sama dan ucapannya sangat tidak masuk akal.
Teman
perempuan saya itu, juga memiliki perasaan lebih pada seorang anak laki-laki
bertubuh kurus yang selalu duduk di sampingnya, Eki. Tentu, pada masa itu saya
belum memahaminya. Saya hanya merasa ada sesuatu yang ganjil dari sikap teman
perempuan saya itu. Setiap hari, dia mendahulukan kursi merah yang dia dapat
untuk Eki. Setelahnya, dia baru memburu kursi merah untuk dirinya sendiri,
merebutnya dari siapa saja.
Ada
juga seorang anak laki-laki yang juga rela bertengkar dengan siapa saja demi
kursi merah. Namanya Romadhon. Saya waktu itu hanya setinggi kupingnya. Warna
kulitnya seperti saya dan rambut ikalnya selalu nampak berantakan jika sedikit
saja lebih panjang.
Romadhon
tidak sembarang merebut kursi merah. Dia merebut kursi merah dari teman-teman
yang mengusir saya dari kursi istimewa yang kebetulan saya dapat itu. Saya
ingat, anak laki-laki itu begitu kuat. Dia selalu memenangkan semua
pertengkaran, tanpa menangis atau mengadu pada guru. Saya hanya diam dan
memandangnya. Setelah kursi merah didapat, dia menyuruh saya minggir. Dia ambil
kursi sembarang warna saya duduki sebelumnya dan dia ganti dengan kursi warna
merah. Saya sendiri, sering mendapatinya duduk di kursi sembarang warna. Dia
sepertinya juga tidak sebegitu peduli dengan kursi merah yang bagi sebagian
besar dari kami begitu sakral.
Saya (tengah) dan teman sekelas waktu TK. Kami melakukan perjalanan naik delman dari TK sampai PPPTK Karangploso. Sumber: Dokumentasi pribadi. |
Romadhon
tidak pernah benar-benar mengobrol dengan saya. Tapi saya senang memandanginya
yang berlarian, aktif dan punya banyak teman. Saya ingin seperti dia, namun
saya tidak pernah bisa benar-benar lebih banyak bicara. Saya bahkan ingat betul
bagaimana namanya disebut, bukan Ramadhan tapi Romadhon.
Sampai
di akhir kelulusan TK, saya dan Romadhon tidak pernah benar-benar bicara atau
duduk bersama. Saya sebenarnya selalu mengingat nama dan wajahnya dan begitu
ingin bicara dengan dia, namun saya tidak pernah tahu mesti mulai dari mana.
Saya juga sering berpikir, jangan-jangan dengan sikap saya yang kesusahan
mengungkap perasaan dan berekspresi itu, Romadhon pikir saya tidak mau berteman
dengannya. Dan itu kedengarannya menakutkan.
Namun,
hingga hari-hari terakhir kami di TK, Romadhon tetap si ahli bertengkar yang
kuat. Dia membentak siapa saja yang merebut kursi merah yang kebetulan saya
dapat. Dia melakukannya, meski saya tidak pernah mengucap terimakasih.
Apa
kita bisa bertemu lagi? Saya hanya ingin bilang terimakasih, Kesatria Kursi
Merah.
“Karena kenangan, punya kecerdasan
spasial yang tinggi.”
Poppy
Trisnayanti Puspitasari