Thursday, December 1, 2016

Maiyahan Rasa Asing Ala ASC feat BDM Al-Hikmah UM


Saya dan Nai memutuskan datang tanpa tiket menuju Graha Cakrawala, lokasi UM Mengaji bareng Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. Ya… saya mahasiswi UM, namun justru tidak kebagian tiket.
Mas Viki Maulana teman Gubuk Tulis dan Gusdurian yang baby sitter-able, justru gedabyahan[1] via telepon, mencarikan saya dan Nai dua lembar tiket. Akhirnya dapat. Lucunya, saya justru kebagian tiket dari mas Billy Kobra yang bernama asli M. Dihlyz Yasir, mahasiswa UIN yang hobi nyepik[2], sembari baca puisi dan mengaku sebagai penikmat kopi.
Sampai di depan gerbang Graha Cakrawala. Saya langsung merasa asing. Teriakan soal peserta tidak bisa masuk tanpa tiket, terus bersusulan dari panitia yang berjaga di depan pintu. Soal ini, saya maklum. Acara memang diutamakan bagi mahasiswa baru. Bahkan tiket untuk umum baru dibuka Sabtu, 26 November 2016. Namun, Senin, 28 November 2016, tiket untuk umum justru sudah dinyatakan habis. Tiket sendiri bisa diambil di kantor UKM ASC (Unit Kegiatan Mahasiswa Al-Qur’an Study Club), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan BDM Al-Hikmah (Badan Dakwah Mahasiswa Al-Hikmah).
Banner resmi dari BDM dan BEM UM
Saya jadi bertanya-tanya, apa pada hari minggu, antara tanggal 26 hingga 28, pos-pos di mana tiket bisa diambil ini buka? Atau ada sistem titip menitip antar kenalan? Belum lagi simpang siur soal tiket yang jelas di pamflet bertulis ‘Gratis’, namun ada oknum yang mengatakan tiket tersebut berbayar. Maiyahan sendiri selalu gratis di mana pun lokasi pengadaannya.
Soal tiket, semua pasti bisa maklum. Graha Cakrawala adalah gedung yang meski punya ruang yang besar, juga memiliki kerterbatasan kapasitas. Tiket pasti dimaksudkan untuk memberi keteraturan selama di dalam gedung, jangan sampai over capacity [3] mungkin begitu. Bisa banyak peserta yang pingsan, jika sirkulasi di dalam gedung tidak ditata sedemikian baik. Memang akan berbeda dengan acara serupa yang biasa diadakan di lapangan lepas, tanpa tiket dan semua orang bebas masuk karena tidak dibatasi kapasitas.
Sedihnya juga, salah seorang oknum BEM yang saya datangi, hanya mengatakan jika tiket habis. Dia tidak menginformasikan soal keberadaan layar tancap di parkiran luar Graha Cakrawala yang ternyata bisa diisi manusia yang tidak kebagian tiket. Dia juga sekadar mengatakan bahwa tidak bisa dan tidak bisa, saya tiba-tiba datang tanpa tiket. Semoga saja si oknum BEM tersebut tidak menginformasikan karena lupa, sedang banyak pikiran atau sungguh tidak tahu. Bayangkan betapa anu hati seorang yang berniat maiyahan live dan begitu percaya soal aturan tiket namun tidak mendapat informasi yang cukup. Apa niatnya itu tidak berakhir di layar Youtube pada akhirnya? 
Tidak seperti acara serupa yang biasa dilaksanakan bareng Cak Nun. BEM dan BDM mengusung tajuk ‘Mengaji’, bukan ‘Dialog’ atau ‘Ngopi Bareng’. Dari sini, sudah mulai rasa asing terasa. Namun, lagi-lagi bisa dimaklumi karena BDM tentu membawa misi keislaman dan setiap tahun memiliki ragam program yang diwajibkan bagi mahasiswa baru. Meski tajuk ‘Mengaji’ seperti garis batas yang tegas bahwa acara tersebut hanya diperuntukkan bagi muslim.
Padahal, pernah acara serupa diadakan di kampus Sebut Saja Anu di kota Malang. Kebetulan saya absen. Seorang teman menanyakan keberadaan saya hari itu. Dia menceritakan bagaimana dia duduk di bagian belakang bersama pria-pria berambut gondrong dan bertato. Bahkan dirinya juga datang bersama kawannya yang bukan seorang muslim. Tajuk yang diangkat di kampus Anu itu tentu saja ‘Ngopi’, seperti tajuk yang biasa dipakai dalam acara serupa.
Sebelum saya dan Nai diantar masuk barisan oleh mas Viki, Nai mengobrolkan soal banner acara yang bertulis ‘Wajib Bagi Muslim’. Maiyahan[4] hari itu, makin terasa asing.
C*uk nggilani, ora toleran blas.[5]” Umpat mas Viki menanggapi informasi dari Nai.
Susana dalam Graha Cakrawala. Sumber: Nai
Saat kami masuk barisan pun, barisan dibagi atas dua lajur. Laki-laki dan perempuan. Ini berbeda jauh dari acara serupa yang membebaskan lelaki dan perempuan berbaur. Laki-laki di jalur kiri, sedang perempuan di jalur kanan, begitu pula saat di dalam dalam gedung selama berjalannya acara. Ya… meski mas Billy tidak mau ambil soal. Dia tetap duduk di samping teman perempuannya di dalam gedung.
Cak Nun barangkali sudah mengetahui soal konsep Maiyahan ala BEM dan BDM UM ini. Saya yakin, beliau menghormati betul tata cara yang dianggap menuju kebaikan di lokasi tempatnya diundang ini.
Namun,  konsep yang demikian tentu membikin teman-teman yang baru kali pertama Maiyahan, mengira ini memang konsep yang biasa diusung ketika Maiyahan. Saya sendiri memang baru datang langsung Maiyahan tahun lalu. Sebelumnya, saya cuma membaca karya Cak Nun lewat buku. Bahkan dengan polos, saya bertanya pada mas Denny Mizhar, teman Pelangi Sastra Malang, apa saya harus berjilbab ketika datang Maiyahan? Mas Denny mengatakan, bebas.
Tema-tema yang diangkat Cak Nun pun bukan soal bagaimana kamu mesti sholat dan di mana letak surga dan neraka. Tema-tema yang diangkat justru dekat dengan masyarakat, keseharian, negara dan intelektualitas.
Lepas siapapun kamu, bertato atau tidak lenganmu, berjilbab atau belum kepalamu, di mana pun rumah ibadahmu, Maiyahan adalah kamu…




[1] Wara-wiri tingkat akut.
[2] Menggombali
[3] Melebihi kapasitas
[4] Maiyah, sebutan bagi orang-orang yang mengikuti Ngopi bareng Cak Nun. Orang Jawa senang menambahkan tambahan ‘an’ untuk memertegas istilah.
[5] “(Umpatan) menjijikkan, tidak toleran sama sekali.” Umpat Mas Viki menanggapi informasi dari Naila.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!