Saya
dan Nai memutuskan datang tanpa tiket
menuju Graha Cakrawala, lokasi UM Mengaji bareng Emha Ainun Nadjib alias Cak
Nun. Ya… saya mahasiswi UM, namun justru tidak kebagian tiket.
Mas
Viki Maulana teman Gubuk Tulis dan Gusdurian yang baby sitter-able, justru gedabyahan[1]
via telepon, mencarikan saya dan Nai dua lembar tiket. Akhirnya dapat.
Lucunya, saya justru kebagian tiket dari mas Billy Kobra yang bernama asli M.
Dihlyz Yasir, mahasiswa UIN yang hobi nyepik[2],
sembari baca puisi dan mengaku sebagai penikmat kopi.
Sampai
di depan gerbang Graha Cakrawala. Saya langsung merasa asing. Teriakan soal
peserta tidak bisa masuk tanpa tiket, terus bersusulan dari panitia yang
berjaga di depan pintu. Soal ini, saya maklum. Acara memang diutamakan bagi
mahasiswa baru. Bahkan tiket untuk umum baru dibuka Sabtu, 26 November 2016.
Namun, Senin, 28 November 2016, tiket untuk umum justru sudah dinyatakan habis.
Tiket sendiri bisa diambil di kantor UKM ASC (Unit Kegiatan Mahasiswa Al-Qur’an
Study Club), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan BDM Al-Hikmah (Badan Dakwah
Mahasiswa Al-Hikmah).
Banner resmi dari BDM dan BEM UM |
Soal
tiket, semua pasti bisa maklum. Graha Cakrawala adalah gedung yang meski punya
ruang yang besar, juga memiliki kerterbatasan kapasitas. Tiket pasti
dimaksudkan untuk memberi keteraturan selama di dalam gedung, jangan sampai over capacity [3]
mungkin begitu. Bisa banyak peserta yang pingsan, jika sirkulasi di dalam
gedung tidak ditata sedemikian baik. Memang akan berbeda dengan acara serupa
yang biasa diadakan di lapangan lepas, tanpa tiket dan semua orang bebas masuk karena
tidak dibatasi kapasitas.
Sedihnya juga, salah seorang oknum BEM yang saya datangi, hanya mengatakan jika tiket habis. Dia tidak menginformasikan soal keberadaan layar tancap di parkiran luar Graha Cakrawala yang ternyata bisa diisi manusia yang tidak kebagian tiket. Dia juga sekadar mengatakan bahwa tidak bisa dan tidak bisa, saya tiba-tiba datang tanpa tiket. Semoga saja si oknum BEM tersebut tidak menginformasikan karena lupa, sedang banyak pikiran atau sungguh tidak tahu. Bayangkan betapa anu hati seorang yang berniat maiyahan live dan begitu percaya soal aturan tiket namun tidak mendapat informasi yang cukup. Apa niatnya itu tidak berakhir di layar Youtube pada akhirnya?
Tidak seperti acara serupa yang biasa dilaksanakan bareng Cak Nun. BEM dan BDM mengusung tajuk ‘Mengaji’, bukan ‘Dialog’ atau ‘Ngopi Bareng’. Dari sini, sudah mulai rasa asing terasa. Namun, lagi-lagi bisa dimaklumi karena BDM tentu membawa misi keislaman dan setiap tahun memiliki ragam program yang diwajibkan bagi mahasiswa baru. Meski tajuk ‘Mengaji’ seperti garis batas yang tegas bahwa acara tersebut hanya diperuntukkan bagi muslim.
Padahal,
pernah acara serupa diadakan di kampus Sebut Saja Anu di kota Malang. Kebetulan
saya absen. Seorang teman menanyakan keberadaan saya hari itu. Dia menceritakan
bagaimana dia duduk di bagian belakang bersama pria-pria berambut gondrong dan
bertato. Bahkan dirinya juga datang bersama kawannya yang bukan seorang muslim.
Tajuk yang diangkat di kampus Anu itu tentu saja ‘Ngopi’, seperti tajuk yang
biasa dipakai dalam acara serupa.
Sebelum
saya dan Nai diantar masuk barisan oleh mas Viki, Nai mengobrolkan soal banner acara yang bertulis ‘Wajib Bagi
Muslim’. Maiyahan[4]
hari itu, makin terasa asing.
“C*uk nggilani, ora toleran blas.[5]”
Umpat mas Viki menanggapi informasi dari Nai.
Susana dalam Graha Cakrawala. Sumber: Nai |
Cak
Nun barangkali sudah mengetahui soal konsep Maiyahan ala BEM dan BDM UM ini.
Saya yakin, beliau menghormati betul tata cara yang dianggap menuju kebaikan di
lokasi tempatnya diundang ini.
Namun, konsep yang demikian tentu membikin
teman-teman yang baru kali pertama Maiyahan, mengira ini memang konsep yang
biasa diusung ketika Maiyahan. Saya sendiri memang baru datang langsung
Maiyahan tahun lalu. Sebelumnya, saya cuma membaca karya Cak Nun lewat buku.
Bahkan dengan polos, saya bertanya pada mas Denny Mizhar, teman Pelangi Sastra
Malang, apa saya harus berjilbab ketika datang Maiyahan? Mas Denny mengatakan,
bebas.
Tema-tema
yang diangkat Cak Nun pun bukan soal bagaimana kamu mesti sholat dan di mana
letak surga dan neraka. Tema-tema yang diangkat justru dekat dengan masyarakat,
keseharian, negara dan intelektualitas.
Lepas
siapapun kamu, bertato atau tidak lenganmu, berjilbab atau belum kepalamu, di
mana pun rumah ibadahmu, Maiyahan adalah kamu…
[1]
Wara-wiri tingkat akut.
[2]
Menggombali
[3]
Melebihi kapasitas
[4]
Maiyah, sebutan bagi orang-orang yang mengikuti Ngopi bareng Cak Nun. Orang
Jawa senang menambahkan tambahan ‘an’ untuk memertegas istilah.
[5]
“(Umpatan) menjijikkan, tidak toleran sama sekali.” Umpat Mas Viki menanggapi
informasi dari Naila.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!