Wednesday, March 15, 2017

Bodoh dan Malas, Pangkal Nilai Akademis Rendah?

Sumber: Gugel

Belajar tanpa beban ambisi orang tua.

Ngobrol dengan senior saya, mbak Puput di FB perkara sekolah hari ini, bikin saya ingat bagaimana awalnya saya berangkat dari rumah bukan dalam keadaan benci matematika. Dan bagaimana ketika pulang, saya kok ya jadi alergi segala macam rumus dan hitung menghitung, kecuali hitungan uang hutangnya kamu.
Ini sungguhan. Mama rajin melatih saya baca dan hitung di rumah. Tidak ada paksaan atau ambisi. Saya melakukan semuanya dengan santai bahkan saya berangkat dari rumah tanpa paham takaran nilai prestasi. Saya masuk TK langsung nol besar memang ceritanya. Barangkali, diterima karena baca dan hitung memang sudah bisa, tidak jadi beban guru. Mama yang sebenarnya agak berat membayar uang sekolah pada masa itu, sebenarnya cuma mencari ijazah buat saya.
Selama TK, mama tidak pernah menanggapi berlebihan jika saya baik dalam akademis. Saya kebetulan suka menulis dan membaca, kalau dipikir-pikir sekarang, TK saya dulu berat juga cara belajarnya. Kami yang anak TK diberi PR dan ada ulangan matematika. Saya selalu bisa menulis dengan baik di papan tulis kelas, mama membantu saya mengerjakan PR dan nilai ulangan matematika saya 100. Tanpa tahu batas-batas angka prestasi itu mesti segini dan segitu, saya ternyata jadi menikmati belajar dan mengerjakan tugas-tugas memang.
Saya ingat bagaimana ulangan matematika yang dapat nilai 100 itu, dibagikan saat makan bersama hari Jumat. Teman-teman banyak yang mendapat nilai di bawah 65. Kertas ulangan saya yang ketahuan dapat seratus, akhirnya jadi pusat perhatian teman-teman. Lucunya, saya tidak paham, mengapa saya jadi pusat perhatian? Dan ketika pulang, mama juga tidak mengatakan apa-apa. Mama baru menanggapi dengan semangat, ketika saya cerita soal teman yang bolo-boloan alias suka berkelompok dan mengucilkan yang lain, atau kenyataan soal guru di kelas saya yang suka menggebrak pintu saat mengajar. Selain relasi-relasi macam ini, lagi-lagi saya bilang, mama saya tidak pernah menanggapi berlebihan, apalagi soal akademis.
Pada semester pertama di kelas satu, nilai saya didominasi angka 8 dan 9, termasuk matematika. Itupun, saya ada di peringkat tiga, masih kalah dengan teman baik saya Alwan Tafsiri Al-Izza, si jenius yang baru lulus jurusan filsafat tahun ini.
Waktu itu, mama mengambil rapor saya dengan gembira. Seperti biasa, tidak berlebihan juga gembiranya. Kemudian, saya diajaknya naik becak untuk pergi kerumah nenek saya yang tidak jauh dari SD.
Mama mengabarkan bahwa saya dapat peringkat 3 pada nenek. Nenek saya senang, matanya berbinar. Dan hingga saat itu, saya masih tidak paham mengapa semua orang senang. Mama tidak pernah mengartikan angka-angka itu pada saya, apalagi nenek yang lebih senang mengajak saya membaca surat-surat pendek atau nama-nama presiden, hingga saya hapal dengan sendirinya. Jaman itu, saya belum kenal gugel. Saya begitu menganggap pengetahuan nenek itu luar biasa mengagumkan.

Sumber: Gugel

Trauma dengan sempoa.

Hingga saat kelas 2. Sempoa jadi sesuatu yang hits. Hampir semua sekolah merasa prestise dengan mewajibkan siswanya belajar sempoa, dengan biaya tambahan tentunya. Kecuali teman-teman saya yang dari panti, semua anak mengikuti sempoa, saya termasuk. Sayangnya, mulai pada level mental aritmatika, saya mulai kesusahan. Pada level ini, siswa tidak lagi boleh memegang alat hitung mereka. Alat hitung hanya boleh dalam bayangan siswa, dengan tangan yang bergerak-gerak seolah seperti alat itu ada di sana.
Sebelum merasa kesusahan, saya mulai memahami bahwa patokan baik buruk adalah angka. Buku-buku latihan sempoa yang membuat saya berpikir begitu. Tanda silang dan total skor di buku itu, masih terekam dalam ingatan saya. Belum lagi, pujian dari para guru untuk Dita, adik kelas saya yang masih kelas 1 tapi jenius sempoa, hingga ketika kelas sempoa, Dita disatukan dengan anak kelas 2.
Alat sempoa yang berwarna oranye, juga bukunya yang dilengkapi gambar, lama-lama jadi menakutkan bagi saya. Ditambah, saya pernah sebangku dengan Dita saat kelas sempoa dan nilai saya jauh di bawah Dita. Bukan salah Dita jika dia memandang saya remeh. Pujian orang dewasa  pada Dita, membuatnya punya patokan sendiri bagaimana hebat itu dinilai.
Makin menakutkan, ketika guru yang saya tidak tahu siapa, menurunkan saya di kelas 1 khusus untuk kelas sempoa. Saya merasa malu. Dita si jenius sempoa, naik di kelas 2 sedang saya malah mesti turun kelas. Pada awal kelas, saya terus berusaha mengikuti kelas dengan baik. Hingga kembali pada level mental aritmatika, saya hanya bertahan beberapa kali pertemuan sebelum kembali lagi keteteran.
Saya kemudian tidak ingat, bagaimana orang tua saya tahu bahwa saya tertekan dengan sempoa. Kemudian, saya diberitahu mama bahwa saya tidak perlu mengikuti sempoa lagi. Sepertinya ayah dan mama saya mengajak bicara para guru, agar mengijinkan saya tidak mengikuti sempoa yang kalau tidak salah, waktu itu sifatnya semi wajib. Saya merasa lega… gadis kecil bertubuh sangat pendek yang gambar karyanya direkomendasikan bu Nurul, untuk jadi contoh anak kelas 5 ini, tidak perlu lagi ikut sempoa yang menakutkan itu.
Hingga naik kelas 3, nilai matematika saya masih pada kisaran angka 8. Mulai kelas 4, nilai saya merosot di kisaran angka 4 dan terus merosot. Saya bahkan lulus UN hanya dengan nilai 5 untuk pelajaran matematika saat SD. Dan UN SMP, saya lulus degan nilai 4 dan kembali 5 ketika SMK.

Sumber: Gugel

Masalah cara belajar, atau memang kurang cerdas dan pemalas?

Jika dipikir-pikir kembali, sempoa bukan satu-satunya sebab. Sebab lain otak saya kemudian bebal untuk matematika adalah, ketika mama saya berhenti mengajari matematika saat kami pindah ke rumah yang lebih jauh dari sekolah dan tempat kerjanya. Mama agaknya merasa lelah dengan jarak yang rumah yang baru. 
Saya sendiri, tidak mengerti bagaimana cara mengatakan padanya, bahwa saya lebih senang belajar di rumah. Dan bagaimana nilai-nilai cemerlang saya yang dulu, bukan hanya matematika juga merosot berbarengan dengan mama yang tidak lagi seintens dulu membacakan buku pelajaran buat saya. Betul, saya memang lebih cepat menyerap pelajaran dengan mendengar, saya juga punya interpretasi lebih dengan bagan dan gambar. Mama sendiri punya cara khusus untuk merangkum buku pelajaran jadi mudah dimengerti. Saya mendengarkannya seperti mendengar dongengya setiap malam saat TK, soal kancil yang malam ini mencuri timun dan malam besok mencuri sate donat. Bahkan, Mr. A pernah memuji saya yang bisa menulis ulang buku pelajaran agama dengan begitu lancar. Hai, Mr... ini bukan karena anda. Ini karena mama saya membacakan buku itu di rumah dan merangkumnya sehingga mudah dimengerti.
Ternyata, seorang anak pun punya cara belajar yang berbeda-beda. Memang susah bagi guru untuk menyesuaikan cara belajar anak satu per satu. Saya sendiri merasakan, bagaimana terbantu dan lebih menikmatinya saya ketika belajar dengan cara mama di rumah. Dan tidak semua anak, mampu menemukan cara belajarnya sendiri sejak awal. Saya kembali mendapat nilai 8 dan 9 ketika kelas 10, dengan cara belajar yang mulai bisa saya temukan sendiri. Ternyata, tidak semua nilai akademis yang rendah dari seorang anak, adalah akibat dirinya yang punya kecerdasan kurang atau malas bukan? 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!