Gadis
itu jauh lebih muda dari saya. Kami beberapa kali bekerjasama dalam sebuah
pertunjukan teater. Saya pemeran utama yang selalu ditunggu penonton, sedang
gadis itu penjual tiket yang luar biasa gesit dan tekun. Namanya Andana.
Meski
tidak terlalu cantik, Andana punya mata bulat yang menarik dan kulit coklat
yang manis. Cara pandangnya jujur, sering mirip dengan sinis. Dan cara pandang
itu yang agaknya menarik Wijaya, pacar saya pada gadis itu.
Wijaya
punya cara pandang serupa Andana, beda betul dengan saya yang terkesan takut
berpandangan jujur. Semua hal saya tutupi, dengan menyarankan semua orang
berpikir positif. Pada bagian ini, saya dan Wijaya berseberangan, namun saling
melengkapi.
Saya
kagum pada Andana yang optimis dan seperti tidak menyimpan kesedihan. Kami
gemar bercakap-cakap sambil minum teh. Semua orang tahu itu, saya senang
mengobrol dengan gadis yang tingginya sebahu saya itu. Kami bahkan lebih sering
terlihat bersama dan dekat, ketimbang kebersamaan dan kedekatan saya dengan
Wijaya di depan umum. Saya dan Wijaya sudah bersama selama delapan tahun, namun
kami berusaha betul menyembunyikan hubungan kami.
Wijaya
adalah sutradara teater yang jenius. Tubuhnya tinggi, tegap dengan kulit coklat
dan wajah yang manis. Banyak perempuan mengaku naksir berat padanya. Namun,
agaknya dari semua perempuan itu, Andana yang paling beruntung. Andana berhasil
mendapat perhatian dari Wijaya. Saat saya tampil di panggung, saya selalu lihat
bagaimana Wijaya menghampiri Andana terlebih dahulu di meja tiket. Dada saya
terasa panas… cuma itu.
Dalam
tim teater, Andana adalah tim penjualan andalan kami. Tenaganya seperti tidak
habis-habis. Dia gadis baik, yang terbuka sekaligus berhati-hati dengan banyak
lelaki. Dengan mata secantik itu, Andana pasti bisa menarik banyak lelaki buat
berciuman dengannya. Namun, dia memilih tidak. Dia bilang pada saya,”Saya nggak
mau sembarangan, Mas Gilang. Ada hati pada bibir perempuan. Sekalipun ciumannya
main-main, hati itu pasti akan jatuh juga tanpa diduga.”
Maka
pada suatu sore, saya beli sebuah kartu perdana. Saya aktifkan kartu itu dan
mulai saya ketik sebuah pesan pada Andana, tanpa nama.
Andana… Wijaya dan Gilang, sebenarnya sudah delapan tahun berpacaran. Berita ini sudah rahasia umum. Tapi, saya nggak tahu apa kamu sudah tahu lebih dulu?
Tidak
ada pesan balik dari Andana. Saya berulang mengecek nomornya, barangkali ada
digit yang tertinggal. Tapi tidak, nomor Andana memang betul. Tiga hari
kemudian, baru Andana membalas pesan singkat saya. Saya harap dia nerocos
panjang memertanyakan isi pesan singkat itu atau menyatakan rasa tidak
percayanya. Yang demikian ini, agaknya sejurus dengan binar mata Andana saat
mendapat perhatian dari Wijaya selama ini.
Di
luar dugaan, Andana hanya membalas…
Ini siapa ya?
Sudah
pasti Andana tahu, pertanyaan demikian tidak bakal saya balas. Saya hanya
melongo menatap layar ponsel. Santai sekali dia? Dan apa yang sebenarnya sudah
saya lakukan? Apa saya mengirim pesan itu buat melindungi Andana, si gadis baik
yang saya kagumi dari Wijaya? Atau saya hanya ingin mereka berdua saling
menjauh, karena dada saya yang terasa panas?