Sejak
Ismail pindah ke sekolah, kalau tidak salah saat kelas 3, saya tidak pernah
mengobrol dengannya. Ismail tidak pernah mengganggu saya, sebaliknya saya juga
tidak pernah tahu bagaimana nyambung
mengobrol dengan dia. Berkat obrolan saya dengan Desi dan Putri, adik perempun
Desi di rumah mereka semalam, ada satu nama yang saya ingat selain Ismail, yaitu
bu Irma.
Saat
SD, saya ingat bagaimana saya menceritakan Ismail dan bu Irma dengan gaya
paling semangat saat di rumah. Saya tidak ingat bagaimana tanggapan ibu saya,
namun saya terus menceritakannya.
Ismail
terkenal senang membuat perkara sejak awal kedatangannya. Cap nakal menyebar
luas dari semua orang di sekolah, hingga wali murid. Mr. A menghabisi karakter
Ismail tiap saat. Saya saja, yang tidak pernah bermasalah di sekolah dan hanya
mengalami masalah belajar yang tidak bisa saya selesaikan sebagai anak-anak
pun, oleh Mr. A juga dihabisi secara karakter, apalagi yang seperti Ismail.
Saya
ingat bu Nurul pernah betul-betul marah pada Ismail sekali, saat dirinya
kelewatan menggoda Icha, teman sekelas kami yang memang lebih istimewa. Icha
saat itu sampai kalap dan tangannya terkena cutter.
Itu kasus terbesar Ismail di sekolah. Dengan keadaan Icha yang istimewa, tentu
gangguan dari orang lain bisa jadi masalah besar. Entah bagaimana ceritanya,
sekolah sepakat tidak menaikkan Ismail satu tahun. Jadilah Ismail lulus satu
tingkat di bawah saya.
Setelah
Ismail tidak naik kelas, saya justru melihatnya berlatih puisi dengan bu Irma
di sekolah. Bu Irma merupakan koreografer tim bendera drum band sekolah. Beliau juga pembina teater, selain juga sebagai
guru bahasa Indonesia di sekolah.
Ismail
memiliki suara lantang dan rasa percaya diri yang luar biasa. Tenaganya juga
seperti tidak kunjung habis. Entah bagaimana, Ismail yang katanya nakal itu,
kelihatan selalu mendengarkan arahan dari bu Irma. Selanjutnya, saya mengetahui
Ismail berulangkali dikirim lomba membaca puisi mewakili sekolah. Saya tidak
begitu merekam apa dia berhasil membawa kemenangan. Namun, bagaimana bu Irma
mengarahkan tenaga Ismail yang sangat besar itu, selalu terekam dalam ingatan
saya.
Hingga
bu Irma akhirnya tidak lagi mengajar di sekolah kami, Ismail terus mengikuti berbagai
acara puisi mewakili sekolah. Dirinya semakin percaya diri. Cap Ismail yang
nakal tetap ada, namun saat itu juga berbarengan dengan cap dirinya, sebagai
pembaca puisi ulung. Hukuman hingga dirinya tidak naik kelas, atas kesalahannya
dan pengakuan dari bu Irma, agaknya membuat Ismail jadi lebih seimbang.
Semenjak
saat itu, saya makin memahami jadi guru pasti sangat berat. Saya belum tentu
bisa jadi seperti bu Irma, apalagi lebih baik ketimbang beliau. Pengakuan diri
Ismail dari bu Irma, semoga terekam selamanya pada diri Ismail. Hal ini
mengingatkan saya dengan Tetsuko Kuroyanagi, dalam bukunya yang berjudul Totto
Chan Gadis Cilik Di Jendela. Baginya, Mr. Kobayashi yang selalu meyakinkannya
sebagai anak baik dan memercainya, menjadikannya gagal menjadi penjahat.
Sayangnya,
untuk mencari kontak bu Irma di sosial media, saya betul-betul lupa siapa nama
lengkap beliau. Semoga pada waktu yang tepat, tulisan ini sampai pada njenengan, Bu…
Semofa ketemu.. :)
ReplyDelete