Sumber: dokumentasi pribadi |
Saya menulis ini sambil menangis, bukan menangisi diri saya tentu saja. Namun saya menangis karena saya tahu, saya telah purna melukaimu...
Tanpa kamu bilang sekalipun, saya tahu bagian mana dari diri saya yang nggak srek buatmu. Saya tahu saya mendominasi pembicaraan dan selalu, maka itu sempat saya minta emailmu. Saya harap bisa mengalihkan obrolan yang biasanya saya luapkan padamu lewat sana saja, agar saya bisa belajar fokus mendengarkanmu.
Saya tahu kita sama super introvert. Saya tahu kita saling percaya sejak lama dan sudah teruji. Saya tahu kamu butuh tempat cerita dan barangkali sempat terpikir olehmu saya bisa. Sayangnya, saya nggak pernah cerita kalau sejak usia 9 tahun saya mengalami depresi terselubung, setidaknya saya menandai tahun itu sebagai awal kesadaran soal apa yang saya alami, keinginan bunuh diri yang paling pertama. Saya nggak pernah cerita padamu kalau orang-orang dengan jenis mental illness ini setidaknya masih tidak terlalu menderita karena apa yang dialaminya tidak meningkat menjadi bipolar, skizo, delusi atau mental illness lainnya yang sifatnya jauh lebih berat, bahkan perlu dibantu obat.
Saya tahu saya melukaimu. Saya ingin mendengarkanmu. Saya ingin bisa diandalkan. Saya ingin belajar. Tapi seperti kamu tahu, orang-orang jenis saya sangat cengeng dan lemah. Hal-hal remeh memenuhi pikiran kami hingga meluber kemana-mana. Saya nggak berharap kamu memahami, karena saya tahu itu hanya bakal melukaimu dan keterbukaan saya mengenai ini pun melukaimu. Orang-orang seperti saya sangat mendominasi percakapan dan tidak pernah bisa diharap fokus. Itu adalah bagian sejati diri kami. Kami memiliki beban yang sangat penuh dalam kepala dan hati, mendominasi percakapan adalah usaha kami mengurangi muatan beban itu. Mekanisme pertahanan diri. Setiap mental illness memiliki pemantik dan yang ada dalam diri saya ini mulai terpantik kembali tiga tahun belakangan. Di tahun pertama dari tiga tahun itu, saya insomnia parah. Saya sempat juga sakit kepala berkepanjangan karena ini dan mesti minum obat supaya toleran dengan rasa sakitnya.
Sebelum twit yang saya tahu kamu tujukan pada saya secara tidak langsung itu, saya sudah meniatkan belajar, tidak lagi memaksamu kenal paksa dengan yang namanya mental illness. Maka saya meminta emailmu. Saya mengalihkan penuhnya pikiran dan hati saya di sana. Saya bukan hanya ingin membuka diri lebih jauh siapa diri saya sebenarnya, tapi saya juga tidak ingin bolak-balik membuat hapemu berbunyi atas hal-hal yang sangat acak, penuh dan membuatmu tidak punya kesempatan bicara. Di lain sisi, saya ingin email-email itu kamu baca sewaktu-waktunya kamu sempat dan harapan saya mereka ini punya manfaat agar kamu mengenal bidang lain yang selain bidangmu.
Tapi setelah saya baca twitmu itu, saya tahu saya melukaimu dan belajarnya saya sangat terlambat. Saya menangis waktu membaca twitmu itu karena sadar saya telah begitu melukaimu. Saya nggak sesuai harapanmu. Saya nggak bisa diandalkan. Maka saya mengetik satu email lagi yang isinya email terakhir dari saya.
Padamu, saya telah salah membebankan semuanya. Saya yang sesungguhnya bukan seseorang yang puk-puk teman sekampusnya yang bawa perasaan karena motornya dirantai satpam. Saya yang sesungguhnya bukan seseorang yang mendampingi teman perempuannya ketika depresi kehilangan keperawanan. Saya yang sesungguhnya bukan seseorang yang menemani temannya ketika temannya itu berusaha menata hati soal pacarnya yang melakukan kekerasan dan layak ditinggalkan. Saya bukan orang itu, yang mengatasi banyak hal di luar sana. Saya bukan orang supel yang penuh rasa gembira dan gampang memiliki teman. Wajah asli saya nggak begitu dan kesalahan besar membebankannya padamu. Kesalahan besar membuka siapa diri saya sebenarnya tanpa penjelasan, yang justru ternyata membuatmu luka.
Terimakasih telah memberi pembelajaran dan saya yakinkan padamu, saya tidak akan lagi melukaimu lagi hari ini dan seterusnya. Saya tahu dalam kebuntuan saya yang segala macam rupanya, kamu selalu peduli dan doamu menyertai saya.
Maka biar doa antara kita saja yang saling tertaut. Namun adalah hakmu untuk menilai saya selanjutnya layak atau tidak jika terus ada dalam doa-doamu.
Doa yang selalu saya tautkan untukmu adalah, jangan sampai kamu maupun siapapun di sekitarmu mengalami mental illness. Jenis apapun jangan. Jangan sampai waktu-waktumu habis hanya untuk menghadapi orang tidak waras, tidak dewasa dan mendominasi percakapan. Syukuri kenormalanmu.
Keberadaan saya di sekelilingmu hanya melukai. Seterusnya saya nggak bakal kembali. Keberadaan orang seperti saya hanya akan merepotkan sekali. Selamat melanjutan hidupmu, seterusnya tanpa saya.
Kepergian ini mematahkan hati saya. Namun yang lebih penting adalah, ini semua nggak akan berpengaruh denganmu dan justru membebaskanmu. Usaha membuat semua normal, justru menyadarkan saya semestinya saya nggak lagi mengedar di sekitarmu. Apapun yang membikinmu bahagia, saya turut.
Saya hanya bisa melukai...