Sumber: magdalene.co |
Dimuat di magdalene.co 13 September 2018
Beberapa bulan lalu, usai aksi Women’s March, akun instagram Indonesia Feminis seolah-olah sedang melakukan “peperangan” dengan akun Indonesia Bertauhid. Serangkaian foto berisi poster-poster para peserta Womens March diunggah ulang oleh Indonesia Bertauhid dengan keterangan foto yang kontra terhadap aksi tersebut dan feminisme.
Salah seorang peserta aksi yang posternya diunggah adalah mbak V. Mbak V kala itu menulis, ”Selangkanganmu, selangkanganmu. Selangkanganku, selangkanganku.” Selain foto, akun Indonesia Bertauhid juga mencantumkan akun instagram mbak V. Alhasil, unggahan tersebut menuai ribuan komentar dari para pengguna, mbak V pun juga mendapat berbagai pesan pribadi melalui akun instagramnya. Melalui insta-story, mbak V mengatakan mendapat ancaman kekerasan bahkan pemerkosaan setelah fotonya diunggah, meskipun baru-baru ini mbak V juga menyatakan bahwa foto tersebut sudah dihapus oleh akun bersangkutan.
Jika mempergunakan bahasa lugas, mbak V ini memiliki apa yang disebut-sebut kulit “eksotis”, wajah manis, dengan tubuh dan penampilan seksi sesuai norma kecantikan umum. Hal ini oleh sejumlah orang dipakai sebagai bahan untuk menyerang mbak V. Banyak dari kita lupa bahwa apa yang disuarakan mbak V adalah buah pemikiran, pun dengan akun pengunggah fotonya yang juga menyuarakan buah pemikiran. Sayangnya, banyak dari kita juga ogah melawan pemikiran dengan pemikiran pula. Kemudian terjadi serangan-serangan berdasarkan informasi pribadi, bahkan senjatanya adalah tubuh perempuan, karena memang semua ini yang paling mudah dilakukan bagi kita yang malas berpikir.
Dari kasus mbak V, media sosial kemudian ramai dengan kasus Devi Eka, seorang penulis yang kabarnya melakukan plagiarisme terhadap sejumlah cerpen dan novel. Ketika menelusuri berita mengenai Devi Eka di salah satu forum diskusi, saya mendapati sebagian orang mengomentari tulisan yang sesungguhnya berisi pemikiran itu dengan meme Afi Nihaya Faradisa, yang sempat terkena dugaan kasus plagiarisme. Menyedihkan ketika meme tersebut isinya adalah tangkapan layar dari video “How Can You Do That” milik Afi, yang kemudian ditambahkan angka 10 sentimeter, 15 sentimeter dan lain sebagainya. Angka-angka ini berbau pelecehan seksual yang tentu tidak ada kaitannya dengan kasus Afi.
Ketika kasus plagiarisme Afi mencuat, banyak komentar-komentar justru bukan berfokus pada kesalahannya, melainkan mengomentari fisik Afi, yang dianggap tidak sesuai standar industri. Banyak dari kita agaknya lupa bahwa kesalahan yang dilakukan Afi sesungguhnya berbentuk pemikiran dan pemikiran pula yang layak untuk melawannya.
Lepas dari mbak V dan Afi, ada lagi politikus muda Tsamara Amany dan Cania Citta Irlanie. Cania adalah juga pembawa acara bincang-bincang Geolive, dan pada salah satu sesi, ia dikomentari soal pemakaian lipstik yang membuat wajahnya konon terlihat pucat. Memang Cania saat itu sedang tidak memakai lipstik yang biasanya dia pakai dan itu tentu haknya. Tema bincang-bincang itu sendiri layak dijadikan bahan diskusi, lantas seberapa gawat persoalan lipstik?
Kemudian soal Tsamara, politikus dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ia mendapat komentar soal perceraian yang dialaminya di salah satu forum diskusi. Forum diskusi tersebut dikenal tidak memiliki fasilitas menghapus tulisan atau komentar. Oknum yang mengomentari Tsamara tersebut menulis, ”Ngurus rumah tangga saja enggak becus, mau ngurus politik!”
Pertanyaan selanjutnya, seberapa tahu kita, para komentator ini, soal hidupnya Tsamara? Bagaimana predikat cerai dan janda menjadikan Tsamara dianggap gagal, tidak layak menyelesaikan apa pun? Jangan-jangan, banyak dari kita yang menganggap lebih baik babak belur dalam pernikahan, ketimbang mendapat predikat cerai dan janda.
“Alah… dunia siber aja kok. Jangan serius lah!”
Kita semua tentu tahu berbagai kericuhan yang terjadi akhir-akhir ini menyoal politik. Sumbernya? Media sosial. Jadi antara dunia nyata dan maya, sesungguhnya tidak lagi ada batas. Komentar-komentar terhadap mbak V hingga Cania, sesungguhnya bisa mengganggu psikis dan sebuah bentuk perisakan.
Baik Tsamara maupun Cania, terlepas seberapa jauh kita menyetujui ide-ide mereka, sesungguhnya mereka berdua telah menyajikan pemikiran yang layak dipelajari dan juga layak dibalas pula dengan ide. Jika belum sanggup mempelajari apalagi membalas ide, belajar diam agaknya juga bukan perkara mudah bagi kita.
Jadi rumusnya begini, jika kita para perempuan ingin melakukan “yang dianggap kesalahan” atau yang memantik perdebatan, tanpa perisakan soal tubuh, pastikan dulu tampilan kita tinggi, putih, kurus, mancung dan dengan gaya busana yang dianggap “anggun”. Eh, lha… tapi Cania dan Tsamara yang kondisi fisiknya sesuai standar industri juga terkena perisakan ya? Makanya, jangan pucat apalagi janda! Mati kita ditikam status hubungan
Agaknya memang hal semacam ini mesti disuarakan, media sosial terlalu berlebihan dalam segala hal, bukankah apapun yang terlalu berlebihan itu tidak baik?
ReplyDelete