Tuesday, January 1, 2019

Lemah Tanjung; Menyoal Perselingkuhan, Feminisme Hingga Putri Negeri Dongeng

Sumber: Instagram @fitratisna. Lokasi: Griya Buku Pelangi


Yeay! Akhirnya saya ikutan juga Lemah Tanjung bareng Pelangi Sastra Malang. Ya… meski pas saya ikut, bahasannya sudah sampai di pertengahan bab 7 dan lanjut ke bab 8 sih. Nah, novel karya Ratna Indraswari Ibrahim ini sudah sekian-sekian kali pertemuan dibahas di Pelangi Sastra. Saya pribadi, awal mula tahu nama Ratna Indraswari Ibrahim ini, dari ayah saya yang rajin baca koran, itu sekitar tahun 2010, semasa saya SMK. Ya… Mbak Ratna memang bukan cuma dua atau tiga kali masuk koran lokal maupun nasional.


Banyak dari kita tentu mengetahui, bahwa mbak Ratna ini kema-mana pakai kursi roda, karena radang tulang dan Lemah Tanjung adalah salah satu karya fenomenalnya. Dan ternyata, guru mengaji saya semasa SD, Mbak Zizi Hefni, dulunya berproses di pergerakan sastra Malang seangkatan dengan mas Denny dan dirinya juga bukan dua atau tiga jadi asistennya Mbak Ratna. Sayangnya, garis pertemuan saya dengan sastra di Malang dan juga mbak Ratna itu sendiri baru ketika saya mulai kuliah dan Mbak Ratna sudah wafat. Ya… setidaknya, karya beliau memang masih bisa jadi benang merah antar generasi teman-teman yang bergerak di dunia sastra.


Hari itu (15/09/2018), pembacaan dihadiri 6 orang. Orang terakhir yang saya lupa namanya, teman baru di Pelangi Sastra Malang. Ya… maklum, saya lama juga nggak hadir acara. Jadinya ya, banyak belum kenal teman-teman yang baru masuk. Jadi waktu itu ada saya, Mas Denny (koordinator abadinya Pelangi Sastra), Mbak Fitrahayunitisna (Dosen Brawijaya), Mbak Istifari Hasan (penulis kumpulan cerpen Parodia) dan Firdausya Lana (aktif juga di Lingkar Studi Filsafat Discourse alias LSFD).


Sebelum acara mulai, dibagi foto kopian Lemah Tanjung bab 7 dan 8 oleh Mas Denny dan tentu saya cepat-cepat nyolong baca sebelum acaranya mulai hehe. Jadi, dalam bab tersebut Gita jadi penutur utama. Ia tetap pada masalah pelik menghadapi suaminya, si Paul itu yang berselingkuh dan ketercengannya pada Bonet, putrinya sendiri yang masih Sekolah Dasar dan dirasanya jauh lebih dewasa ketimbang umurnya. 


Gita sendiri bersahabat dengan mbak Syarifah, temannya sesama aktivis yang berkebutuhan khusus dan memutuskan untuk tidak menikah. Latar tempat dalam bab tersebut adalah kota Malang di era 90an, dimana kegelisahan soal ninja pembunuh yang bertebaran di dalam kota dan juga heboh pembunuhan massal di Banyuwangi merebak panas.


Di era itu, tentu saja saya masih balita dan tidak merekam kegentingan di masa itu. baru ketika saya mulai sekolah, ayah saya kerap menceritakan kegentingan di masa itu, apalagi ayah bekerja dua shift di sebuah apotek di kotamadya, sedang rumah kami ada di kabupaten Malang. Jadi di masa itu, ayah setiap malam di perjalanan pulang kerjanya, melihat bagaimana orang-orang berjaga di tiap kampung.


Benar-benar deh… latar tempat dan waktu dalam novel satu ini terasa sekali. Betul-betul tengang-tegangnya politik di masa itu dan lagi, Mbak Fitra juga cerita, beberapa tokoh dalam novel itu ada di dunia nyata. Mbak Fitra sendiri pernah terlibat demonstrasi perkara Lemah Tanjung, di tahun 2000an dan itu semasa dirinya masih mahasiswa baru.


Di forum ini, peserta yang hadir semuanya diberikan kesempatan membaca dengan keras isi novel. Baru setelahnya ada pembahasan. Disini saya mau rangkum bahasan dari Mbak Fitra. Kalau Mbak Fitra bilang Mbak Ratna ini ternyata feminis banget, ya memang.


Pembahasan soal perselingkungan menghadirkan tokoh Gita yang kebingungan menghadapi suaminya yang berselingkuh. Tokoh perempuan sekitarnya pun ada pula yang mengalami hal serupa, akan tetapi tokoh tersebut memilih menerima dan menuntut Gita melakukan penerimaan serupa dengan berbagai dalih. Namun, pada bab yang kami bahas hari itu, muncul juga tokoh Heriah. Heriah ini akrab juga dengan Mbak Syarifah dan suaminya berselingkuh serupa suaminya Gita. Bedanya, Heriah membalas perselingkuhan itu juga dengan perselingkuhan.


Menjadikan tulisan Mbak Ratna berbeda dengan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, menurut Mbak Fitra, adalah bingkai moral yang diusung di dalamnya. Perselingkuhan yang menjadi pembalasan tokoh perempuan atas luka perselingkuhan serupa, tidak begitu saja dihalalkan dalam tulisan Mbak Ratna. Bahkan Mbak Ratna ternyata pernah juga mengritik Ayu Utami, kata Mas Denny. 


Selanjutnya, Mbak Fitra juga mengritisi keberadaan cerita para princess yang baginya, mendidik para perempuan sejak dini agar menanti pangeran berkuda putih yang menyelamatkan hidup mereka tanpa perjuangan hidup. Padahal bagi Mbak Fitra, lelaki dan perempuan sama saja, tentu bisa lemah juga. Bagaimana bisa lelaki dituntut terus menerus kuat? Kemudian saya ingat Aurora yang diselamatkan ciuman pangeran tidak dikenal, hingga Cinderella yang juga diselamatkan pangeran dari kehidupan keluarganya yang buruk. Ah, saya tapinya semenjak kecil lebih suka Mulan. Saya kenal Mulan pun, gara-gara punya tetangga baik hati yang senang menyewakan saya CD film animasi. Mulan pada akhirnya memang berpasangan juga, tapi proses ia bertemu pasangannya itu karena berjuang bersama dalam kondisi perang kerajaan, bukan ‘hadiah’ yang tiba-tiba.


Eh, ini sungguhan ya, Rek. Kamu yang sedang baca tulisan saya ini kalau mau gabung acaranya Pelangi Sastra Malang hayuk mari. Gratis semuanya dan jangan ragu mampir, pasti dapat teman baru.

Sumber: Instagram @pelangisastra

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!