Teman saya Nova bercerita, ada gadis yang satu pondok dengannya gemar mengonfirmasi kecantikan. Gadis itu 24 tahun dan hampir setiap hari berkata,”Aku gemukan.” Atau “Kok kulitku kelihatan kerutannya ya?” dan sebagian teman sekitar mereka berlaku sangat baik dengan menanggapi begini,”Mbak nggak gemukan kok.” Atau “Nggak kerut kok.”
Nova melanjutkan cerita, kabarnya temannya itu pernah ditinggal menikah oleh sang mantan. Terlalu naif untuk menyimpulkan sebabnya sibuk mencari konfirmasi kecantikan adalah lukanya yang satu ini. Tapi yang jelas, konfirmasi demikian sesungguhnya tidak sehat dan pelakunya butuh disembuhkan.
Kasus teman Nova, barangkali hampir serupa dengan gadis yang satu ini. Kalem, manis, cerdas dan ambisius. Kata terakhir mungkin tidak akan disetujui banyak orang yang mengenal Sruti, soalnya kata ini memang kontradiktif dengan kalem yang ada di awal kalimat. Tapi ambisius, sesungguhnya tidak sebegitu negatif juga. Sruti ambisius dalam arti berkeinginan kuat.
Saya mengenal Sruti ketika awal bergabung dengan sebuah komunitas lintas iman. Saya 23 akhir, dia 19. Dari caranya menanggapi argumen hingga berkenalan dengan orang lain, terlihat sifatnya yang tegas pula. Pikir saya, Sruti hebat. Ketika 19, saya masih berkutat di dalam kampus dan jauh dari mengenal komunitas luar. Tapi semua berubah ketika saya mendapati gadis baik itu melirik sangat benci ketika saya memoles lipstik. Saya tidak menoleh pada dia sama sekali pada mulanya, tapi tatapan yang betul-betul dilakukan sepenuh hati akan membuat siapapun yang ditatap itu merasa, begitu pula Sruti kepada saya.
Dalam pikiran saya waktu itu, Sruti merasa lebih baik karena cantik tanpa polesan. Semenjak saat itu, saya putuskan merentang jarak saja ketimbang saling luka. Saya memberinya cap sindrom ratu lebah hingga lupa, saya pernah 19 dan juga pernah merasa lebih baik dari mereka yang produk perawatannya lebih detail.
Saya awal 23 waktu Raisa, teman beda fakultas mengunggah beberapa produk pembersih wajahnya di story Instagram. Bagi saya, produk tersebut rumit dan muncul perasaan lebih baik karena untuk membersihkan wajah, saya hanya butuh satu produk. Saya belum memahami kebutuhan kulit tiap orang berbeda. Pemahaman saya hanya sampai pada; saya simpel dan kamu rumit.
Namun semakin saya berkumpul dengan Raisa, Yasmin dan banyak teman-teman yang lain. Saya jadi memahami, kebutuhan setiap orang berbeda dan apa yang orang senangi pun berbeda. Kedua teman saya ini sudah pada taraf jago make up, ketika saya baru bisa meratakan blush on. Keduanya juga aktif di komunitas Resister Indonesia, sama-sama pembaca buku berat dan produktif menulis juga membantu orang lain. Jadi, jika ada yang bilang hobi make up menghabiskan waktu, saya pastikan itu sama sekali salah. Yasmin dan Raisa sama produktif dengan mereka yang tidak hobi make up dan barangkali malah lebih.
Dari Yasmin dan Raisa yang hobi make up saya tahu, mereka justru jago mengatur waktu. Raisa misalnya, ketika kami keluar bersama akan bertanya pukul berapa saya menjemput. Dia nyaman memakai baju yang stylish dan make up yang apik, tapi dia juga tidak mau orang lain menunggu. Jadi sebelum jam penjemputan, dia akan memilih baju dan bermake up.
Saya sendiri tumbuh sebagai remaja yang jauh dari rasa percaya diri. Inginnya dibilang cantik tapi saya merasa jauh dari itu. Kulit saya yang standar industri baru saya sadari di usia 20 tahun. Dan berapa banyak orang yang sampai mengorbankan kenyamannya demi kulit jenis ini? Sedang saya justru secara genetik mendapat kulit jenis ini, yang mudah sembuh ketika luka dan untuk terlihat segar hanya perlu satu produk sabun wajah. Dulunya, saya hanya berfokus pada rambut yang kata orang berantakan dan tidak cantik. Ibu saya tidak pernah memuji dan lebih sering marah-marah saja ketika saya merasa minder atau terlihat memiliki rambut yang tidak rapi. Tidak pernah ada solusi saya mesti mengenakan apa dan menata rambut bagaimana. Ibu juga sering membandingkan saya dengan remaja sebaya yang sudah mengerti harus bagaimana dalam berpenampilan. Maka saya makin merasa buruk. Padahal saya betul-betul belum memiliki ketertarikan menata penampilan di masa itu, apalagi harus memutuskan sepantasnya bagaimana. Perkembangan tiap orang bukannya memang berbeda?
Menelusuri luka saya sendiri, membuat saya juga meyakini Sruti mestinya punya luka serupa. Bagaimana ia memilih hanya mengenakan bedak tabur dan tidak memoles apapun di bibir adalah pilihannya. Bagaimana saya memilih tidak memakai bedak dan menggemari lipstik adalah pilihan saya. Meski memutuskan menjaga jarak, ternyata saya masih juga penasaran dengan gadis yang sehari-hari tinggal di pondok ini. Apalagi menurut seorang teman yang lain lagi, selain kuliah dan pondok mulanya tidak ada kegiatan lain yang diikuti Sruti. Keikutsertaannya di komunitas lintas iman ternyata berkat ajakan seorang temannya yang pernah satu pondok juga. Pikir saya, jangan-jangan lirikan bencinya ketika kami kali pertama kenal itu perasaan saya sendiri, termasuk kerapuhannya soal kecantikan. Ada rasa penasaran tentang bagaimana jadi temannya tanpa saling luka. Maka saya coba mengajaknya pergi bersama di suatu acara tahun lalu. Namun di sana, saya justru makin mendapat konfirmasi bahwa Sruti memang gadis yang luka.
Di dalam mini bus yang kami naiki bersama peserta lainnya, Sruti yang duduk di kanan saya berucap bahwa dia tidak telaten menggunakan kosmetik atau perawatan yang macam-macam. Kalau tidak salah, itu di tengah obrolan antara saya dan teman perempuan yang duduk di kiri dekat jendela tentang cat rambut dan lain sebagainya. Sruti mengulang kata ‘tidak telatennya' berkali-kali namun tidak saya gubris. Saya sayang Sruti dan mengonfirmasi kecantikan hanya akan menghancurkannya lebih jauh. Baru setelah teman yang ada di dekat jendela berkata,”Sampeyan wis ayu teko kono e. Nggak perlu perawatan macem-macem.” Gadis yang berat badannya kira-kira 10 kilo di bawah rata-rata itu berhenti mencari konfirmasi.
Namun di kamar tempat kami menginap, gadis baik ini mengulangi lagi hobinya mencari konfirmasi. Ada empat orang gadis di dalam kamar yang tengah berbincang dan Sruti berkata sambil menepuk perhelangan tangannya,”Aku sak mene iki lemu...” dan kalimat tersebut diulangnya beberapa kali meski seorang gadis yang duduk di kanan saya memasang wajah tidak berminat. Perempuan berkulit kuning langsat yang gaya kerudungnya selalu sederhana itu saya kira berhenti, ketika gadis di sebelah kirinya menyahut,”Lek sampeyan lemu, aku opo?” dan gadis itu lebih tambun dari saya. Namun ternyata, Sruti masih mengulang kalimat bahwa ia gemuk sampai saya berkata,”Arek iki satir ya lek ngomong.” Disusul gelak tawa gadis yang duduk di kanan saya. Sruti menoleh dengan mata luka dan kaget pada saya sambil berkata,”Body shaming a...” meski tidak jelas ia sedang bertanya atau menyatakan sesuatu.
Hingga kami kemudian berpindah kamar dan mendapat satu gadis lain lagi sebagai teman. Teman baru kami itu memiliki jerawat di wajahnya dan ketika hendak tidur, dia mengoles semacam obat dalam jangka waktu beberapa saat. Saya mengajaknya mengobrol soal obat yang ia pakai, namun Sruti tiba-tiba menyahut,”Lek aku nggak telaten gawe ngunu iku.” Dan tidak disadari Sruti, mata teman kami itu nampak luka dan kecewa, sedang saya hanya bisa berkata,”Kebutuhan kulit tiap orang beda.”
Di Pelangi Sastra Malang, semua mesti kenal Dewi R Maulidah. Wajahnya sangat mirip Angeeben Rishi, pacarnya Adly Fairuz dan lagi sangat produktif menulis dan suka belajar. Dewi menjadi bulan-bulanan untuk digoda sana dan sini oleh banyak teman laki-laki namun saya tidak merasa kasihan. Mengapa? Gadis yang berat badannya sesuai rata-rata itu, sangat siap dengan semua perhatian yang lebih-lebih ditujukan kepadanya.
Sejak semula saya mengenal gadis berjilbab ini, dia begitu menghargai meski pakaian saya lebih sering asal nyaman. Mbak Vian, teman kami yang lain pun sangat menyukai kepribadian Dewi yang menghargai. Jika saja ia mau, tentu fisiknya yang standar industri sudah mencukupi untuknya populer tanpa susah-susah menulis, membaca dan berkomunitas. Tapi Dewi tidak pernah melakukannya.
Malah kadang, saya melihatnya tidak begitu nyaman ketika menjadi subjek pembicaraan di depan umum karena fisiknya. Pernah juga saya melihatnya lebih sengaja menempel saya dan mbak Vian, meski teman-teman lelaki heboh menggodanya dan tentu memberi tempat sangat luas untuknya ber-ndusel-ria di antara mereka. Lalu bagaimana dengan Sruti? Serupa Dewi, ia pun menjadi pusat perhatian di komunitas tempatnya begiat. Ia bisa dibilang memang memiliki wajah paling manis dan lagi dalam komunitas tersebut jarang beranggotakan perempuan.
Sruti juga menguarkan citra misterius, kalem namun juga pintar dan tegas meski sedang diam. Ditambah penampilan sederhana yang tidak mengurangi wajah ayunya. Banyak yang menilai Sruti bersikap anggun dan biasa saja ketika menjadi pusat perhatian. Yang satu ini saya setuju, karena nampaknya memang begitu. Dia cool dengan limpahan perhatian. Kemudian apa Sruti sama dengan Dewi? Saya pastikan, Dewi tidak pernah melakukan konfirmasi atas tubuhnya pada sesama perempuan, setidaknya di lingkaran kami dia tidak pernah melakukannya.
Yang terbaru tentu saja pertemuan paling anyar saya dan Sruti. Seorang teman laki-laki yang sejak kuliah berteman baik dengan saya mengomentari,”Tumben awakmu nggak menor, Pop?”. Ia merujuk pada penggunaan blush on saya sehari-hari. Menor yang ia ungkap tentu subjektif. Kalau yang seperti saya menor, apa kabar Tasya Farasya? Ini semua letaknya pada kebutuhan dan kenyamanan masing-masing. Selera dan butuhnya saya begini, Tasya beda lagi. Saya suka wajah segar karena blush on, bukan untuk menarik perhatian si teman ini. Kami berteman lama dan ia hanya bercanda, cenderung meroasting malah. Roasting semacam ini memang saya alami dari teman perempuan juga lelaki yang lain ketika awal belajar make up. Posisi kedekatannya juga selevel dengan si teman tadi.
Meski demikian, Sruti yang duduk di kanan saya tiba-tiba menyahut dengan antusias,”Menurut Mas menor itu kayak gimana?” teman saya itu kaget, tidak menyangka kalimat candaanya ditanggapi sebegitu antusias. Mata Sruti saya tatap dan tidak jelas perasaan apa yang tergambar dari sana. Puas? Senang? Saya tidak berani menyimpulkan. Apalagi dia beberapa kali menyatakan bahwa warna mencolok sangat tidak ia suka. Ia sampai mengulang kalimat ini beberapa kali. Meski saya meyakini, dia hanya mengungkap pendapat dan bukannya mengomentari kegemaran saya pada warna mencolok.
Teman lelaki saya itu, kemudian bergumam yang saya lupa apa isinya dan Sruti mendesak lagi,”Iya, kalau menurut cowok itu yang namanya menor itu gimana, Mas?” kemudian teman saya itu menjawab,”Ya, ehm... Ya... Lebih berwarna gitu mukanya.” Wajah Sruti kembali saya amati dan lagi-lagi tidak jelas perasaan apa yang tergambar dari sana.
Kecenderungan teman laki-laki menjadikan gadis yang dianggap paling menonjol fisiknya sebagai subjek pembicaraan dan candaan di depan publik, bisa jadi sesungguhnya hanya diniatkan sebagai perekat pertemanan dan penghangat komunikasi dalam komunitas. Dewi yang menghormati pilihan sesama teman perempuannya dalam hal penampilan, kerennya pun tidak pernah habis. Ditambah lagi dia betul-betul tenang ketika menjadi subjek. Sedang Sruti yang masih dua puluhan, prosesnya belajar menerima pilihan sesama perempuan tentu masih panjang dan ada banyak kesempatan.
Konfirmasi kecantikan bagaimanapun tidak akan pernah habis jika dilakukan. Karakter satu ini bisa juga menjadi pemicu penindasan sesama perempuan, ketika ada yang dianggap lebih menarik perhatian dan cantiknya dikonfirmasi sekitar. Si pencari konfirmasi akan luka dengan perhatian yang teralih dan si pembuat perhatian teralih, juga akan luka dengan penindasan. Bisa jadi akan terulang pola melukai serupa dari yang mulanya ditindas tadi.
Jika ada temanmu sesama perempuan yang sibuk sekali mengonfirmasi kecantikannya. Baiknya jangan terlalu digubris. Ia luka dan butuh pertolongan. Cara menolongnya adalah dengan tidak menggubris upayanya itu. Seperti sikap saya pada Sruti. Pernah saya spontan memujinya makin cantik, namun hal demikian justru saya lakukan ketika dia tidak minta konfirmasi.
Kemudian, saya ingin sekali berkata pada Sruti,”Kamu cantik paripurna dan yang layak mengonfirmasinya adalah dirimu sendiri. Ngomong-ngomong, di masa lalu kamu punya luka apa sih?”
Ucapan terimakasih yang istimewa saya hatur kepada:
Raisa Izzhaty
Maryam Jameelah Al-Yasmin
Dewi Rizki Maulidah
Dan tentu saja Sruti yang baik hatinya.
Terimakasih kalian telah mengajari saya banyak hal.
Fyi, saya sudah ngobrol dengan Sruti dan memberikan tulisan ini sebagai hadiah. Hebatnya, ia menerima dengan hati dan justru ingin memelajari tipe kecerdasan dan kepribadiannya sendiri. Ia juga tertarik pergi ke luar forum yang biasanya ia datangi untuk melihat perempuan-perempuan lain dan melatih kepekaan (04/05/2019)
Setelah chat obrolan tanggal 4 bulan 5 tahun 2019, beberapa hari kemudian Sruti bertemu kembali dengan saya di sebuah acara buka bersama. Ia nampak takut dan menghindar, bahkan hampir tidak menyapa jika saja ketika keluar lokasi panti asuhan tempat buka bersama sudah tidak ada lagi orang tersisa berdiri di pintu.
2020 kami bertemu lagi, di haul acara lintas komunitas. Sruti terasa sebal melihat saya meski kami saling sapa. Belakangan saya ingat, pada obrolan yang pertama di 2019 memang tidak ada kata maaf.
Tiga tahun belakangan istilah pick me jadi populer dan ternyata perilaku-perilaku dalam tulisan inilah yang disebut pick me.
Sebetulnya, ada perlakuan Sruti yang jauh dari perspektif korban terhadap trauma penyintas kekerasan juga demi sikap pick me-nya di 2018. Namun ya... Saya belum tahu bagaimana cara memproses yang satu ini (05/04/2024)