Kak Azis Franklin memainkan alat musik (kiri). Sumber: Dokumentasi pribadi. |
Bertemu kak Azis, artinya mendapat kuliah umum gratis. Meski saya tidak yakin, beliau ingat nama saya dari sekian banyak orang yang ditemuinya. Namun beliau ternyata selalu ingat jika saya sebut kata kunci acara Pelangi Sastra Malang dan anak yang pernah ditembak prediksi-prediksi beliau suatu hari, di pojok luar Kafe Pustaka.
Suasana pojok Kafe Pustaka kala itu jadi penuh tawa. Seorang super introvert yang kedoknya dikuliti memang selalu menarik, bahkan bagi diri saya sendiri. Maka pulalah saya terbahak-bahak melihat wajah teman-teman lain yang kelihatan senang sekali ketika kak Azis membaca banyak hal dalam diri saya dan saya akui itu semua benar. Belum lagi ketika saya bilang takut dengan zombie dan sekali lagi menjadi tertawaan semua teman semeja kala itu. Bagaimana saya justru tidak memilih takut pada hantu lokal saja? Hantu lokal, yang kata kak Azis justru sungguhan ada, beda dengan zombie. Impor sekali rasa takut saya itu memang.
Dan akhirnya, saya kembali bisa mengobrol dengan kak Azis ketika beliau beristirahat di pinggir panggung Haul Gus Dur yang ke 10 di Klenteng Eng An Kiong Malang. Melihat kak Azis yang sedang tidak berinteraksi dengan siapapun, saya pun menyalaminya dan sambil tertawa-tawa berkata,”Saya ini apa ndak diramal lagi?”
Ya, saya memilih kata ‘ramalan’. Sesuatu yang lebih terasa akrab dan gembira ketimbang ‘minta wejangan’. Apalagi jika mengenang kejadian di pojok Kafe Pustaka yang menyenangkan teman-teman semeja kala itu. Dan setelah melempar kata ‘meramal' itu, dengan ramah kak Azis memersilahkan saya duduk di sampingnya.
Dari sekian wejangan kak Azis, sebuah analogi tentang persaingan menarik perhatian saya. Sebut saja A dan B yang menjalani bidang serupa. A memandang B luar biasa sekali dalam bidangnya dan ia menyadari pasar mereka berbeda. Pergaulan A, tentu sangat jauh keluasannya jika dibanding B. Sedang B, malah menyadari gayanya menggarap bidang tersebut hanya mampu menembak pasar tertentu. A justru dilihatnya mampu masuk dalam berbagai pasar dengan caranya menggarap bidang.
“A ini sadar potensi orang lain, tapi dia ndak sadar potensi dirinya sendiri.” Ujar kak Azis.
Kak Azis lantas mengibaratkan lembaran uang seratus ribu. Nilai seratus ribu yang lusuh, sama dengan nilai seratus ribu yang licin dan baru keluar dari bank. Mereka sama-sama bisa dibelanjakan. Hanya saja bedanya, soal tampilan. A menurut kak Azis masih melihat seseorang serupa analogi lembaran uang tadi.
“Lha iya, B anaknya buku banget.” Lanjutnya.
Jika A dan B menulis nilai soal kehidupan sekalipun, masih menurut kak Azis. Hasilnya akan berbeda. Bukannya A punya gaya bahasa yang luwes? Bukannya B punya gaya bahasa berdasar buku-buku? Oh, jadi ini penjelasan analogi persamaan nilai seratus ribu itu. B barangkali lebih keren di mata A dengan buku-buku yang diusungnya namun menurut B yang sudah kenyang dengan buku, A justru menyamai apa yang disampaikannya.
“A ini tahu dia mau pergi ke mana, tapi dia ndak ngerti harus naik apa menuju sana. Sedang B ini merasa jalannya paling benar. Dia ndak mau belajar kemungkinan lain.”
Maka pikir saya, A meskipun menyadari setiap orang memiliki pasar masing-masing, mestinya ia mengubah cara pandangnya terhadap orang lain agar tidak serupa analogi uang seratus ribu lusuh vs licin. Silau adalah kekonyolan yang ia lakukan. Sedang B, yang sudah menyadari uang seratus ribu lusuh vs licin nilainya ternyata sama, mestinya juga menyadari ia pun memiliki pasar sendiri. Kalut adalah kekonyolan yang ia lakukan.
Dipikir berapa kali pun, A dan B sama-sama menggelikan juga ternyata. Ehe.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!