Sampul depan. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Untuk Hidupmu yang Baru (selanjutnya disebut UHB), menyambut saya dengan kutipan di lembar kedua. Sedikit Berbagi Untuk Pengingat Diri, demikian isinya. Oke, satu kutipan sebelum isi buku tentu saja manis. Buku-buku sejenis banyak pula membawa formula demikian. Lembar berikutnya pun disambung dengan pengantar dan sayangnya, lagi-lagi ada kutipan. Serupa kutipan di lembar kedua, kutipan-kutipan ini dicetak di tengah halaman. Total ada enam kutipan dalam tiga lembar, beruntun! Baru setelahnya daftar isi menyambut.
Sayang sekali kutipannya ditumpuk di awal buku ya? Benar. Padahal kutipan-kutipan ini bisa diletakkan berselang-seling ketika pergantian bab di awal dan akhir. Ada tiga bab dan jumlahnya pas jika disebar enam kutipan. Dengan demikian proporsi buku menjadi lebih seimbang dan manis.
Barangkali penulis meletakkan kutipan-kutipan tadi menumpuk di depan karena tidak nyambung dengan isi tulisan per bab? Tidak juga. Karena ternyata sub bab dalam tiga bab yang disajikan pun tidak terlalu memiliki keterkaitan. Jadi sub bab-sub bab ini sekalipun ditukar posisinya dalam bab lain, tidak ada perbedaannya juga. Bab I misalnya, terdiri dari sub bab yang berjumlah sembilan. Isinya antara lain; 1) Menggapai Rida Allah, 2) Menjadi Pribadi Berkarakter, 3) Bertahan dalam Kerasnya Pergaulan, 4) Bukan Pacaran, 5) Bersaing dalam Kebaikan, 6) Mudah Menyelesaikan Masalah, 7) Tidak Mudah Tertempel Dampak Negatif Masa Kini, 8) Tetap Bermanfaat, dan 9) Menebar Kasih Sayang.
Namun ternyata, bab II juga memiliki sub bab mengenai karakter dan pacaran antara lain; Karakter, Karakter dalam Al-Qur’an, Untuk yang Pacaran, Cara berhenti Pacaran, termasuk soal perokok, pecandu dan hal-hal yang dalam praktik menyalahi penjelasan bagaimana menjadi pribadi berkarakter. Jadi sub bab 2) Menjadi Pribadi Berkarakter dan 4) Bukan Pacaran dalam bab I, sebenarnya ada sub bab lain yang lebih terkait di bab yang lain pula. Juga bab II yang membahas orang tua dan pola asuh, dalam bab III ada sub bab sejenis dengan bahasan berbeda. Agaknya, penulis dalam buku berikutnya harus betul-betul memiliki penggolongan bab dan sub bab yang runut. Jika tidak, sekalian saja penggolongan bab dihilangkan karena ya… tidak fungsi-fungsi amat.
Bagaimana dengan isi buku? Bab I diawali penyebutan berbagai sosial media. Ada Instagram, Facebook, dan Twitter disebutkan bersama peminat yang menurut penulis paling banyak dimiliki Instagram dan paling sedikit dimiliki Twitter. Padahal ya, Twitter tiga tahun belakangan ini kembali ramai hingga tercipta olokan anak Twitter lama vs anak Twitter baru. Dilansir dari Detik, 2019 bahkan disebut tahunnya Twitter di Indonesia. Tapi tidak tahu juga jika penulis menggarap buku ini jauh sebelum Twitter kembali naik.
Isi buku. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Twitter apa kabar? Wah, sepertinya sudah tidak banyak berseliweran (kelihatan) apalagi Path yang kini sudah di-close karena dampak para remaja yang sudah tidak eksis di akunnya… (hal 2).
Agaknya, pendapat mengenai Instagram lebih unggul, memang sengaja dijadikan penulis sebagai landasan perumpamaan dalam sub bab Menggapai Rida Allah. Jadilah narasi Instagram sebagai media sosial paling populer berusaha betul direka-reka penulis. Penulis lantas memberikan perumpamaan follow, DM hingga followback dalam hubungan manusia dengan Tuhannya.
Jika dipikir-pikir, di-folback sama Bias saja senang, bagaimana di-folback sama Allah? (hal2).
Pendekatan penulis membahas hubungan dengan Tuhan melalui analogi penggunaan Instagram, memang cukup apik jika segmen pembaca menyasar milenial. Meski argumen mengenai popularitas media sosial satu dengan lainnya, jadi dibuat unggul dan rendah atas pendapat penulis sendiri demi mencapai analogi tadi.
Usaha penulis mendekat dengan bahasan milenial terjadi juga dalam kalimat berikut ‘terkadang aku berdoa di kala ingin sesuatu atau lagi ada masalah saja, pantas aku melakukan sesuatu tidak selalu tenang’ coba bandingkan dengan ‘kita sebagai manusia semestinya senantiasa istiqamah’. Dengan nilai setara, lebih membumi mana? Kalimat pertama atau kedua? Benar, kalimat pertama. Penulis telah mengonversi istilah istiqamah menjadi lebih mudah dimengerti.
Cara-cara mendekatkan diri kepada Tuhan, yang disajikan penulis dalam sub bab pertama ini juga cukup aplikatif. Beberapa di antaranya;
Direct message Allah dengan cara berdoa (hal 4).
Kebahagiaanmu pun perlu diDM ke Allah, salah satunya cara mudahnya ikut membahagiakan Allah dengan cara berzikir dan bertilawah menyuarakan kalam-Nya (hal 4).
Pergantian antar sub bab memang cukup singkat. Tiap sub bab paling banyak memuat tiga lembar dan di dalamnya ada beberapa kalimat sengaja dibuat menyerupai font seukuran kutipan di halaman depan.
Hampir setiap bab menyelipkan hadist. Meski hadis-hadist yang dikutip sepertinya akan familiar bagi teman-teman dengan pengetahuan agama level menengah atau pembaca yang sudah melahap buku Felix Siauw hingga Quraish Shihab, apalagi lulusan madrasah dan pondok. Hadist-hadist itu di antaranya ‘permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seseorang penjual minyak wangi akan memberimu minyak wangi…' yang dalam UHB jadi bagian dari pembahasan memilih pergaulan.
Jadi jika ditanya apa UHB membawa kebaruan? Relatif. Jika segmentasinya betul teman-teman yang masih mula-mula mendalami ilmu agama dan minimal jarang membaca konten dari akun hijrah, buku ini bisa jadi membawa kebaruan. Semestinya saya menyebut lugas akun hijrah mana yang saya maksud sebagai pembanding, namun karena butuh waktu untuk kembali menemukan konten-konten yang saya maksud, jadilah saya hanya mampu bercerita semacam ini.
Jika ditanya lagi, mana bab atau sub bab yang pembahasannya cukup apik, jawabannya ada di bab II sub bab Jika Kehilangan Kasih Sayang Orang Tua. Penulis di sini menunjukkan peran ibu dan ayah yang semestinya saling bekerja sama. Pembahasan lain yang berpotensi digarap lebih apik pada berikutnya adalah cerita penulis soal dirinya yang dulunya fangirl dan cerita temannya yang narapidana narkoba. Menceritakan diri sendiri dan teman bisa membuat sebuah tulisan menyentuh pembaca dengan lebih personal. Meski sayangnya, penulis di sini masih membuat persoalan fangirling menjadi hitam putih.
Saya buta k-pop, namun ketika membaca sub bab satu ini, saya jadi merasa dunia fangirling kotor sekali dan tidak ada sisi positifnya. Padahal saya yang non k-popers sekalipun, memahami kerja keras Lalisa Manoban misalnya, apik juga dijadikan inspirasi. Beribadah jalan terus, meniru kerja keras bias juga harus. Penceritaan soal teman narapidana penulis pun hanya sampai pada; dia pernah melakukan apa hingga masuk penjara, sesatnya kehidupan penjara, lalu sekeluarnya dari sana ia sholat lima waktu dan menjauhi zina. Tidak ada penjelasan transisi perubahan teman penulis yang lebih personal, entah karena keterbatasan halaman atau di waktu lain penulis bakal membahasnya lebih detail.
Isi buku. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Ada beberapa buku sejenis yang semestinya pula saya jadikan pembanding di sini. Sayangnya, saya hanya pernah membaca ulasan orang lain atau mencuri baca ketika berada di toko buku. Jadi jika pengamatan saya ada kurang tepatnya silakan ditegur ya, Rek. Buku-buku tersebut antara lain Hijrah Jangan Jauh-jauh Nanti Nyasar! (Kalis Mardiasih, 2018), Wanita yang Merindukan Surga (Esty Dyah Imaniar, 2019), Udah, Putusin Aja! (Felix Siauw, 2013), Santri Nikah Jomblo Punah (Anifah Hambali, 2019).
Bagi yang terbiasa membaca tulisan-tulisan Kalis Mardiasih dan Esti Dyah Imaniar yang tersebar di berbagai media, pasti mengetahui formula keduanya yang sekali atau dua kali mengutip teori hingga hadist lantas menyatukannya dengan keadaan terkini. Keadaan terkini tersebut bisa berupa isu nasional maupun kejadian yang dialami penulis sendiri maupun orang sekitar mereka. Demikian membuat orang-orang yang familiar atau bahkan bahkan lebih ahli mengenai teori hingga hadist yang disebutkan, tetap mendapat kebaruan.
Bagaimana dengan Felix Siauw dan Anifah Hambali? Felix Siauw membawa satu pesan saja yaitu jangan pacaran. Satu buku mengupas satu tema dengan gaya bahasa sehari-hari, warna, bagan, dan gambar yang atraktif. Pembahasan jangan pacaran kala itu betul-betul bisa dibilang baru jika menilik cara pembahasan Felix Siauw. Sedang Anifah Hambali, dalam bukunya lebih banyak menulis kegiatan positif yang bisa dilakukan sebelum bertemu jodoh. Felix maupun Anifah berani berfokus pada satu bahasan, sesuatu yang belum saya temukan dalam UHB.
UHB sendiri masih lebih mirip catatan acak dari kegelisahan penulis yang kalimat-kalimatnya terkadang seolah menganggap pembaca serba tidak tahu. Kalimat semacam ‘remaja jaman sekarang’ dan ‘jika Anda sebagai orang tua merasa terlalu menekan anak’ membuat penulis seolah bukan bagian dari seseorang yang pernah remaja atau calon orang tua. Dengan kalimat demikian, penulis seolah pula telah menjadi sosok tanpa celah semenjak lahir.
Meski terkadang menggunakan kalimat yang membuat pembaca seolah serba tidak tahu, sesungguhnya penulis juga telah berusaha menggunakan bahasa prokem alias bahasa gaul dalam keseluruhan UHB. Sayangnya, penggunaan bahasa prokem ini masih terlihat canggung. Kalimat berikut misalnya,’barusan adalah secuil karakter yang bertempat di era digital’ coba bandingkan apabila dikonversi menjadi ‘sub bab sebelumnya menjelaskan gimana karakter yang blablabla di era digital sehingga…’. Apakah penulis terbiasa menulis Karya Tulis Ilmiah alias KTI sehingga penggunaan bahasa prokemnya menjadi canggung? Bisa jadi. Salah satunya ditunjukkan dalam paragraf berikut,’Menurut KBBI, karakter sendiri memiliki arti sifat-sifat kejiwaan… dst’ KTI sekali bukan? Tapi bisakah tetap menyertakan kutipan demikian namun memergunakan bahasa prokem? Bisa. Coba bandingkan dengan,’Karakter sendiri memiliki arti sifat-sifat kejiwaan… dst, nah yang ini menurut KBBI guys’.
Sampul belakang. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Tentu saja, kurang mapannya penulis ketika memergunakan bahasa prokem dalam UHB bukannya mutlak buruk. UHB sendiri cukup nyaman dibaca dan usaha mengonversi persoalan gaya bahasa ini masih punya banyak ruang untuk penulis menyempurnakannya pada buku atau tulisan-tulisannya berikutnya. Bahasa prokem ini pula yang seperti satu paket dengan usaha penulis memakai anologi Instagram dalam hubungan ketuhanan, sesuatu yang memang dekat dengan milenial. Dengan demikian, agama bisa terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari dan pembaca serasa sedang bicara dengan rekan sebaya, bukannya digurui. Ah, satu lagi. Buku ini hanya menyertakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dalam mengutip hadist, jadi untuk siapapun yang bacaan Al-Qur’annya masih berproses, tidak perlu merasa insecure.
Ya… semoga saja UHB bukan finalnya kegelisahan penulis. Sehingga pada berikutnya, muncul adik-adik dari UHB dengan inovasi anyar dalam bahasan maupun gaya bahasa.
Judul buku : Untuk Hidupmu yang Baru
Penulis : Rully Nur Rahim
Tahun terbit : 2019
Penerbit : Raditeens
ISBN : 978-623-7456+40-7
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!