Wednesday, February 17, 2021

Patah Hati di Hadapan Seorang Nihilis

Sumber: Gugel


Saya selalu benci ketika dulu, ibu kerap membuat negasi ketika saya nampak sedih dan luka. Kata ibu, banyak di luar sana yang masalahnya lebih parah dan mestinya dan mestinya saya bersyukur.

Jadilah saya terbentuk tidak gemar bercerita pada ibu. Apapun saya cerna, atasi dan simpan sendiri. Butuh waktu lama hingga saya betulan bisa berkata pada ibu kalau ucapan demikian hanya menambah luka dan kalau orang yang ada di hadapan sedang depresi, dia bisa langsung berangkat bunuh diri.

Tapi toh ibu jelas bukan satu-satunya orang yang gemar melakukan negasi demikian. Bab ibu ini saya pungkasi dengan; orang-orang jenis ini tidak paham rentang waktu. Bahwa tidak ada masalah lebih berat atau lebih ringan bagi seseorang. Yang beda hanya soal waktu. Ketika si A mendapat beban luka 10 kg di usia 13 tahun, bisa jadi si B mendapat beban luka 23 kg di usia yang sama. Tapi lain waktu, bisa jadi beban yang 23 kg itu dialami juga oleh A kelak di usia 30 tahun.

Memahami ini bakal membuat kita tidak bakal terlalu percaya diri bicara,”Oh, kalau aku sudah ngalamin sih masalah kayak gitu jaman SMA...”

Lain ibu, lain pula abangnya seorang teman. Waktu si teman ini patah hati, abangnya itu berkata,”Maaf bilang gini ya. Berdasar dari pengalamanmu, kamu tuh nggak spesial. Bahkan orang lain di dunia ini bisa jadi masalahnya lebih buruk.”

Bau-bau nihilis...

Ya, dia emang

Aku dulu iya

Aku pikir dia nihilis, tapi percaya Tuhan

Meski hampir mengeluarkan kalimat nyaris serupa, ibu saya memang mengeluarkan kalimat itu karena sekali lagi, tidak memahami rentang waktu, sedang kakak si teman itu memang seorang nihilis yang semacam yawis manusia emang ya gitu-gitu aja. Kedua orang ini juga punya latar belakang perjalanan hidup yang berbeda meski mengeluarkan kalimat hampir serupa.

Meski saya dulunya sempat jadi nihilis dan hanya kesampaian berpikir manusia hidup atau tidak ya begitu saja, saya jadi membayangkan ucapan ibu saya dan abangnya si teman diterapkan pada penyintas kekerasan...

Oh, kamu kena sampai petting doang. Aku nih sampai fingering.

Ealah, kamu kena sama dijebak doang. Dia tuh sampai nggak bisa kabur.

Merinding.

Yang jelas, justru ketika berkali hampir mati saya malah melihat dengan terang... Kita, manusia berhak merasa punya rasa sakit yang paling berat pada satu waktu. Perasaan demikian tentu saja valid dan memang harus diakui. Namun pada waktu-waktu yang yang lain, setelah kita berhasil mengatasi rasa sakitnya... Bahkan dalam hati pun kita tidak berhak merasa lebih berjuang ketimbang orang lain. Hingga sebagai orang yang tidak paham rentang waktu, tidak akan ada ucapan macam ibu saya dan sebagai nihilis macam kakaknya si teman itu... Ya, tapi kalau nihilis memang gitu lah ya wqwq.

Bagian ini klise tapi percayalah, ceritamu berharga. Tidak ada pengalaman personal manusia yang sama persis satu sama lain...

Dah yes, yang berusaha sok berbeda dan rebel, dengan menegasikan pengalaman orang lain, melipir dulu setelah baca paragraf barusan. Karena kita yang menuduh orang lain membahas hal seragam, lebih jauh tanpa beda dengan yang lain, sesungguhnya akeh pisan kok tunggalanmu.


No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!