Sharma merabai tengkuknya. Bulu-bulu halus berdiri
seluruhnya di sana dan matanya sudah bengkak sepenuhnya. Bekas jahitan yang
masih terlihat basah di pelipis sesekali pula ia raba, ia rasai perih yang
masih tersisa.
Ia ingat betul, lima belas menit lalu masih berada di
kafe X bersama seorang teman yang pikirnya bakal membantu. Namun dalam
kondisinya yang masih sesak, menyesal karena tidak melawan, juga merasa tidak
berharga, temannya itu malah mengatakan Sharma tidak tegas, ia pula dikatakan
menikmati berada dalam lingkaran kekerasan.
Rokok pun dihisap Sharma dalam-dalam. Teman-temannya
di kantor mengatakan, rokok bisa meredam stress dan biasanya memang bekerja
serupa itu. Sayangnya, kali ini dada Sharma justru makin pengap saja ketika
dijejali asap rokok. Rokok tidak membantu, demikian kesimpulannya hingga gadis
berkulit gelap itu membuang rokoknya ke lantai dan menginjak nyalanya
sekenanya.
Saya jemput kamu ya, Sayang. Kita harus ngobrol.
Sungguh saya minta maaf.
Tulis pacar Sharma bertepatan ketika ia masih bertemu
dengan temannya itu. Hingga lewat pukul dua belas malam, warung kopi kian
ramai, Sharma tidak juga membalas pesan itu dan ia hanya mengetuki meja yang
semestinya diisi empat orang.
Saya ada di kafe Z.
Demikian pesan balasan Sharma pada pacarnya itu.
Selanjutnya ia memejamkan mata sambil merasai dadanya yang berdebar makin
cepat. Kopi susu yang sudah dingin sama sekali tidak disentuhnya.
“Nunggu lama, Sayang?” Tanya suara yang begitu Sharma
kenal selama dua tahun ini.
Entah bagaimana, Sharma menoleh dan mengeluarkan air
mata yang sejak tadi tertahan. Ia terisak, ada rasa lega juga di sana...
Sadarlah! Kamu terkungkung patriaki. Kenapa masih
denial sih?
Sharma terenyak di tengah pelukan erat dengan pacarnya.
Seperti ada yang merangsek paksa ruang dalam dirinya. Ucapan dari temannya yang
dikenal sebagai aktivis beken itu mendadak menusuk dada, membuyarkan rasa
damai.
***
Dua tahun lalu, Sharma bertemu pacarnya tepat selepas
wisuda. Sharma yang bermimpi jadi penulis novel misteri dengan kondisi sudah
diterima bekerja di sebuah perusahaan nasional. Sharma pula, yang jenuh
setengah mati dan merasa tidak punya waktu untuk membaca buku lagi.
Pacarnya itu berkepala plontos, bermata bulat dan
berkulit putih dengan kaus tanpa lengan. Penampilannya mencolok. Secara umum,
orang-orang menyebut pacarnya itu tampan. Ya... secara fisik, lelaki itu memang
memenuhi standar pada umumnya buat disebut tampan.
“Suka triller, Mbak?”
Sharma tergagap, ada sembur merah di kedua pipinya.
Belum ada seseorang yang memerhatikan buku bacaannya sedemikian rupa. Yang
demikian justru membuat debar di dadanya berkejaran kemudian, lebih dari pujian
cantik yang tidak pernah ia dapat kecuali dari mendiang neneknya hanya karena
dirinya berkulit gelap.
“Mau jadi penulis novel misteri, Mas. Apa daya malah
kerja di perusahaan Indom*e sekarang.” Gelak Sharma sambil menutup buku John
Steinbeck di pangkuannya.
“Oh, suka sastra-sastraan gitu ya?” tanya lelaki itu
sambil berlalu ke meja kasir.
Melihat lelaki itu tidak jadi duduk semeja dengannya,
Sharma menghembus napas cukup keras, merasa kecewa. Lelaki itu terlihat
membayar kopi untuk mejanya sendiri sambil sesekali menunjuk Sharma dan
bercakap-cakap dengan si kasir dengan begitu akrab.
Pikir Sharma, lelaki itu pasti mulanya tertarik soal
apa buku bacaan dan mimpinya namun kecewa ketika mendapati kulitnya yang gelap.
Sekali lagi gadis itu menghembus napas cukup keras.
“Besok ke acara ini bareng yuk...” ucap lelaki itu
tiba-tiba. Ia kini sudah menarik kursi di hadapan Sharma sambil menunjukkan
sebuah poster dari ponselnya.
Sebuah acara bedah buku, penulis lokal. Demikian yang
Sharma simpulkan sekilas dari poster yang ia baca. Sharma mengangguk tipis
sambil mengangsurkan ponselnya. Sudah terbuka menu kontak baru di sana.
“Saya minta kontakmu...” pinta Sharma yang disambut
senyum tipis lelaki itu.
Selanjutnya, mereka keluar dari warung kopi bersama
dan upaya Sharma membayar kopinya sendiri ditolak si kasir. Sudah dibayar
mas Dao Ming Si, demikian nama julukan lelaki yang dua bulan kemudian
menjadi pacarnya Sharma itu.
Dao Ming Si, merujuk tokoh serial Meteor Garden yang
menurut orang-orang di warung sangat mirip dengan lelaki itu. Ya... meski satu
asli Taiwan dan satu lagi asli Pacitan. Setidaknya itu yang Sharma tahu
beberapa waktu setelah mereka resmi berpacaran dan dirinya yang mulai akrab
dengan orang-orang di warung.
***
Sharma datang ke kota ini sendirian. Mengisi segala
formulir untuk kuliah dengan bibi dan pamannya sebagai wali. Sebuah lembaga amal
memberinya beasiswa untuk tiga setengah tahun ke depan meski Sharma ternyata
harus lulus empat tahun dan cukup terangah-engah memenuhi biaya tambahan satu
semester.
Gadis itu tidak sempat mengikuti unit kegiatan apapun
di kampus. Fokusnya hanya satu; lulus tepat waktu. Ia pula hanya punya hiburan
membaca novel-novel triller di sela kegiatan akademisnya. Diam-diam ia bermimpi
jadi penulis novel misteri, tanpa tahu bagaimana cara membina mimpinya itu.
Teman-teman seangkatan mengomentari Sharma sebagai pemudi
oportunis, tidak punya visi dan jauh dari idealis. Dalam kepalanya hanya ada
ambisi lulus tepat waktu, juga kerja mapan. Ikut demo? Membuat story di
Instagram saja ia tidak pernah sempat.
“Mau kemana, Shar?” sapa tiga orang teman sekelas
Sharma basa-basi.
“Mau balik kos.” Jawab Sharma cekak dengan langkah
tergesa dan tanpa memandang ketiga temannya itu.
Ketiga temannya itu saling sikut dan berbisik soal
betapa sombongnya gadis itu. Jam kuliah baru usai, teman-teman sekelasnya pun
masih makan bersama di kantin namun Sharma justru buru-buru kembali ke kos
tanpa berniat menyapa siapapun.
Teman-temannya itu tidak pernah tahu, sebuah pesan
diterima Sharma sekeluarnya dari kelas. Seperti biasa, bibinya meminjam uang
dan dari mana bisa Sharma mendapat sejumlah uang? Jika bukan upayanya
menyisihkan biaya hidup dari beasiswa.
Bibinya itu memiliki dua anak yang masih sekolah
menengah. Suaminya bekerja serabutan dan sepuluh tahun lalu pun, mereka
menerima Sharma dengan berat hati. Toh hidup mereka sendiri sudah sesak.
Sebentar lagi Sharma lulus dan kerja. Uang bulanan
buat dek Ila dan dek Nanda bisa ditransfer ke nomor rekening yang tadi.
Tidak ada ucapan terima kasih setelah gadis itu
mentransfer sejumlah uang. Pertanyaan kapan gadis itu makan dan ucapan semangat
karena seminar proposal lebih awal juga tidak pernah ada.
Suami bibinya itu pula, yang enggan menekuni usaha
servis televisinya. Berkali masuk perusahaan pun kerap keluar karena
pertengkaran dengan sesama teman. Saban hari, Sharma melihat bibinya bangun pagi
sekali, menyiapkan segala kebutuhan kedua putri, suami, baru kemudian berangkat
ke pabrik.
“Ini namanya berbakti...” ucap bibinya itu ketika
Sharma memandanginya terburu sekali menyetrika pakaian pamannya sambil
menggoreng nasi untuk sarapan mereka semua.
Sharma mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan serupa
setelah dua bulan tinggal di rumah itu. Setiap pulang sekolah, ia buru-buru
berlari pulang hingga tidak sempat menerima ajakan teman-temannya bermain.
Sebutan wis ireng, sombong alias sudah (berkulit) hitam, sombong pula,
melekat padanya hingga menahun kemudian.
Jika bukan karena tawaran RT di tempatnya tinggal
bersama lembaga pengelola amal itu, Sharma barangkali sudah memutuskan bekerja
di pabrik saja selepas Aliyah. Semua dengan melepas nilai-nilai di sekolah yang
membuat para guru sekadar menyayangkan keputusannya tidak kuliah. Ya, hanya
menyayangkan, tidak ada saran bagaimana Sharma semestinya...
***
Si Dao Ming Si, ah... Pacar Sharma itu mengelus rambut
hitamnya yang lurus sebahu berkali-kali. Mata Sharma terpejam dengan kisahnya
semasa hidup bersama sang bibi kembali diceritakan ulang di hadapan pacarnya.
Tidak ada tinju yang membuat pelipis gadis itu
berdarah dari si Dao Ming Si malam ini. Yang ada hanya ciuman-ciuman lembut di
bibir Sharma yang membuatnya tertidur pada berikutnya.
Namun pintu kos terdengar diketuk cukup kasar
kemudian. Pelan-pelan pacar Sharma meletakkan kepala gadis itu di atas bantal
dan beranjak membuka pintu.
“Ayolah, Mas! Sudah dua bulan ini. Saya juga cari
makan dari kosan ini...” bentak seseorang yang agaknya pemilik kos setelah
pacar Sharma membuka pintu.
Dengan tergesa, si Dao Ming Si menarik pemilik kos
agak jauh dari kamarnya. Bola matanya sesekali terlihat cemas, entah takut
Sharma terbangun atau takut gadis itu memergoki ketidakberdayaannya.
Namun gadis itu terlanjur menggeliat dan mendengar
perdebatan pacarnya dengan pemilik kos dari kejauhan. Maka sekembalinya lelaki
itu dari pertemuan dengan pemilik kos, sudah ada uang sejumlah tujuh ratus ribu
di meja kecil dekat kasur.
“Pakai aja. Kalau kurang bilang.” Ucap Sharma dengan
badannya yang menghadap dinding dan mata terpejam.
Lelaki itu pun buru-buru menutup pintu kamar, memeluk
Sharma dari belakang dan memuji pengertian gadis itu. Yang Sharma tahu, jika
sudah begitu pacarnya akan berlaku sangat manis hingga beberapa minggu ke
depan. Mengantar dan menjemputnya kemana saja, menanyakan berapa kali ia makan
dalam sehari, juga semua hal yang membuat dada gadis bertubuh kurus itu
menghangat. Hari-harinya di kantor pun terasa lebih bersemangat.
Teman-temannya berdehem soal wajah pacarnya yang mirip
Dao Ming Si di hadapan Sharma, sedang di belakangnya, mereka saling berbisik
soal bagaimana gadis berpenampilan biasa saja sepertinya bisa mendapat pacar
begitu rupawan.
Jahitan di pelipisnya sudah mulai mengering...
***
Lelaki itu mengatakan mau bergerak di dunia literasi.
Kelak pula, ingin punya toko buku indie dengan kafe sederhana melengkapi.
Mimpi-mimpi yang kerap dibaginya pada Sharma itulah, membuat si gadis makin
terpikat. Papa pacarnya itu kepala sekolah dan mamanya guru di sebuah sekolah
negeri, namun demikian justru membuatnya keluar dari kampus tempatnya mengambil
jurusan keguruan. Ia pilih mengambil jalan hidupnya sendiri, katanya.
Sharma merasa pilihan hidupnya serba terbatas. Ibu dan
bapaknya entah menikah lagi dengan siapa dan memiliki berapa orang putra. Paman
dan bibi yang hanya mengirim pesan ketika hari gajian...
Jadi bagi gadis itu, si Dao Ming Si menawarkan
kebebasan yang tidak pernah bisa dirinya pilih. Selain ya... Ia suka bagaimana
lelaki itu menciumnya. Ada hangat di dada yang semestinya mula-mula ia dapat
dari pelukan kedua orang tuanya.
“Nanti, ada rak khusus buku triller rekomendasi kamu
di toko itu, Sayang.”
“Jangan lupa ada menu kopi susu bagi yang nggak suka
kopi hitam...”
“Sampul buku gratis dan acara baca puisi tiap sabtu.”
“Diskon buku untuk pasangan kekasih juga...”
Demikian Sharma dan pacarnya saling menimpali,
membahas mimpi yang membuat gadis itu sesaat lupa teman kantornya cemburu
akibat rencana promosi yang ia terima, juga yang membuat pacarnya itu sesaat
lupa orang tuanya masih saja marah karena uang kuliah selama tiga tahun justru
dipergunakannya sendiri.
Semuanya selalu diakhiri ciuman yang sangat dalam
sekaligus ucapan selamat tidur yang manis. Bekas jahitan di pelipis Sharma
mulai terlihat samar.
***
Sharma memeluk pacarnya itu dari belakang,
dibisikkannya sebuah berita baik. Ia resmi mendapat promosi...
Namun mata lelaki yang justru terlihat membulat dan
merah. Laptop yang menampilkan sebuah email penolakan naskah dari penerbit
terhampar di hadapannya.
Melihat Sharma yang datang dengan ceria, membawa
berita promosi jabatannya pula, mendadak membuat dada lelaki itu panas. Ia
gagal... Ia gagal dan gadis itu sama sekali tidak mau mengerti. Gadis itu
mengejeknya.
Sharma tahu, membawa berita baik untuk dirinya saja
selalu berakhir...
“Cewek anjing!” si Dao Ming Si meninju tepat di bekas
jahitan pelipis Sharma yang sudah nyaris menghilang.
Tidak... Berita sejenis itu bukan hanya baik bagi
Sharma, namun juga untuk masa depan hubungan mereka. Karena kelak mereka bakal
menikah, mendirikan toko buku indie, ada rak khusus buku triller rekomendasi
gadis itu, menu kopi susu, sampul buku gratis, acara baca puisi setiap hari
sabtu dan...
Darah merembes dari pelipis Sharma. Gadis itu
terhuyung, nyaris pingsan namun berhasil berlari keluar kos dengan beberapa
penghuni lain memandang bingung padanya.
...dan diskon buku untuk pasangan kekasih.
***
Temannya yang disebut aktivis itu dikenal Sharma
ketika sama-sama menghadiri Haul Gus Dur yang bertempat di Klenteng Eng An
Kiong. Sharma datang dengan si Dao Ming Si dan temannya itu bersama pacarnya
yang wirausahawan, bertutur lembut, juga menunggangi mobil model paling anyar.
Di sana, pacar Sharma membaca puisi, sedang si aktivis itu membaca orasi.
Sejak kecil pula, teman Sharma itu mengaku diberikan
buku-buku bacaan dengan berbagai isu oleh orang tuanya. Masih orang tuanya juga
yang memintanya kuliah setidaknya hingga S2 dengan biaya penuh dari mereka.
“Papiku jago masak, Shar. Keduanya kerja kantoran
emang, tapi papiku tuh nggak patriarkis, mamiku nggak menerima beban ganda.”
Patriarkis? Beban ganda? Istilah-istilah itu
betul-betul asing buat Sharma. Membaca buku triller saja ia harus mencuri
waktu, apalagi buku-buku dengan istilah yang disebut temannya itu.
Habis-habisan Sharma berusaha menyamakan obrolan
dengan gadis yang menurutnya menarik itu. Namun batin Sharma tetap saja
kebingungan. Bagaimana bakti bisa disebut patriarkis dan beban ganda? Hingga
baginya, gadis itu membawa sesuatu yang tidak wajar.
“Kamu diracuni jadi feminis juga ya, Sayang? Nanti
deh, di kos saya bacakan buku-buku yang dia maksud. Saya punya semua kok.” Ucap
si Dao Ming Si disusul tawa teman Sharma itu beserta pacarnya.
Hari itu, Sharma betul-betul merasa kecil.
Sungguh-sungguh kecil hingga pujian dari bosnya bahwa ia akuntan andalan
perusahaan hanya sekadar lewat saja dalam kepala.
Lagi-lagi, gadis itu merasa pacarnya membawa
kemerdekaan yang tidak bisa ia raih, pula teman-temannya...
***
Jahitan kali ini lebih panjang dan lebar. Di kamar
kosnya yang baru, Sharma memegang ponsel dan nyaris saja mengirim pesan pada
bibinya. Ada sesak yang meluap di dada gadis itu tanpa terpikir siapa orang
yang layak ia bagi.
Akhirnya, gadis itu justru membatalkan pesan pada
bibinya dan justru ditekannya nomor si Dao Ming Si...
“Kita putus. Jangan cari saya lagi.”
Buru-buru sambungan telepon diputus Sharma
bagaimanapun lelaki itu memohon maaf dan meminta mereka mesti bertemu.
Pada hari-hari berikutnya, Sharma kerap ditanya
teman-teman sekantornya dari mana luka itu berasal. Namun gadis itu tahu,
mengumpulkan uang untuk sesi bersama profesional dan menceritakan segalanya
akan lebih baik.
Hingga hari itu, Sharma mendapati lingkaran ungu
kehitaman melingkar di lengan teman satu kantornya. Gadis itu kemarin
mengetahui bagaimana temannya bertengkar hingga saling tarik di depan kantor
dengan pacarnya. Kejadian itu sampai ditonton banyak orang kantor dan mesti
dilerai dua orang satpam.
“Kalau kamu nggak mau cerita juga nggak mengapa. Kamu
butuh ruang dan saya nggak akan mengolok kamu lemah.”
Ada haru yang memenuhi wajah teman sekantor Sharma itu
dan ia pun mulai menangis. Tidak ada cerita, hanya tangis. Satu yang Sharma
pahami meski tidak pernah sempat membaca buku serupa si aktivis itu, ia tidak
berhak mendikte kapan tangis temannya mesti berhenti.