Tuesday, November 16, 2021

Si Culun dan Pergaulan Bebas

 

Sumber: Instagram Kalis Mardiasih

Mbak Kalis Mardiasih menulis Bagaimana Anak-anak Bisa Menjadi Pelaku Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Instagramnya 14 November 2021. Pada slide ke tujuh, saya ingat bagaimana terlalu bangganya keluarga besar terhadap saya yang disebut tante sebagai ‘awet culun’.

“Biarkan pengalaman tentang tubuh dan seksualitas anak berjalan normal, namun sambil terus menemani pengalaman itu.

Misal, ketika anak mulai naksir seseorang. Terima kondisi itu sebagai pengalaman yang normal. Jelaskan kepada anak bahwa saat naksir seseorang, beragam hormon dalam tubuh bekerja secara biologis sehingga menghasilkan rasa ingin menggandeng lawan jenis, jantung deg-degan, susah makan, dan lain-lain. Pengalaman tiap orang beragam, tapi semua pengalaman tubuh itu BISA DIKENDALIKAN sehingga tidak merugikan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri.”

Menstruasi pertama di usia dua belas tahun, akhir sekolah SD karena lahir saya Juni dan selalu tambah usia di pergantian tahun ajaran baru, membuat mama nampak kecewa. Mama bilang, dirinya baru menstruasi waktu SMP, itu pun masuk SD usia 7 tahun, sedang saya 6 tahun.

Mama yang kelahiran 60an akhir selalu meyakini, anak perempuan yang mens lebih awal pasti karena pola pikirnya sudah terlalu ‘dewasa’, sudah tahu memikirkan lelaki. Salah seorang teman sekelas pun terlihat tersenyum puas waktu mendapati saya mens di akhir kelas 6. Dia yang pernah bikin heboh dan disidang para guru setelah ketahuan berduaan dengan teman lelaki yang disebut pacar dalam kamar mandi berkata,”Cepat juga ya kamu mens...”

Sampai akhir SD, memang si teman ini belum mens juga. Dari wajahnya ia terlihat mengamini, mens lebih awal adalah salah.

Tapi ternyata, saya sibuk naksir Shingo Aoinya Captain Tsubasa dan jatuh cinta pada Gaaranya Naruto, menulis novel, belajar menggambar, mimpi pergi ke Jepang hingga beberapa tahun berikutnya. Seorang teman lama malah bercerita, dia pacaran sejak kelas 7 dan baru mens ketika kelas 9.

Sedang saya baru benar-benar tertarik berkomunikasi lebih dekat dengan laki-laki dan berinteraksi di dunia nyata ketika 18 tahun, mahasiswa baru. Beragam kisah cinta pun baru dimulai hari itu.

Apakah untuk perempuan yang lahir di tahun 90an saya tergolong telat puber? Entah juga. Toh, barangkali di luar sana banyak yang mengalami hal serupa hanya saja kami tidak saling bertemu.

Seorang teman yang dokter psikiatri mengatakan, tidak terlalu tertariknya saya bicara seks hingga hubungan dengan komitmen lebih lanjut seperti pernikahan, itu normal, hanya belum waktunya saja bagi saya. Seorang teman yang kuliah di jurusan Bimbingan Konseling menolak asumsi bahwa saya seorang aseksual dan mengatakan,”Kupikir karena sibuk dengan dunia samean sendiri aja, Mbak...”

Meski telat puber ini ternyata membingungkan hingga hari ini. Karena di masa mulai naksir cowok pun, saya tidak terpikir memegang tangan atau kontak fisik lain. Pikir saya, berbagi emosi saja sudah cukup sehingga ketika ada yang curi-curi kontak fisik, meski tidak berniat melecehkan, saya bahkan baru ngeh sekarang-sekarang ini kalau itu namanya curi kesempatan.

Misalnya seorang teman laki-laki yang menuntun saya sehabis kecelakaan karena kaki waktu itu pincang. Sodoran tangan dan getaran dari sana tidak saya pahami waktu itu sebagai reaksi biologis setelah kontak fisik dengan orang yang dia suka. Dia hanya mengungkap rasa sukanya dengan membantu saya berjalan, tapi bonusnya rasa senang dan getaran itu dia rasakan. Saya hanya terheran-heran waktu itu semacam, anak ini waktu nuntun aku kok ada yang beda itu apa ya?

Sedang di keluarga besar, tante menjuluki saya ‘si awet culun’. Merujuk perilaku yang dianggap awet anak-anak karena tidak menunjukkan tertarik berkomunikasi dengan lawan jenis di dunia nyata hingga usia akhir belasan. Ada rasa bangga terlihat dari ucapan tante. Mama pun sama, ia selalu terlihat lega mendapati saya yang tampaknya telat puber.

Hal ini beda jauh dengan sepupu perempuan saya, anak dari pakpo. Ya, mama memang tiga bersaudara. Sepupu saya ini sering jadi bahasan utama di keluarga karena pacaran sejak SD.

Bahkan baru-baru ini, ia mengaku dulu sering disidang keluarga karena perilakunya dianggap berbahaya. Keluarga agaknya takut ia terlibat pergaulan bebas. Setiap selesai menceritakan kekhawatirannya soal si sepupu ini di rumah, mama selalu melihat saya dan ada rona syukur melihat anaknya masih sibuk dengan dunia Narutonya. Wajah mama seolah berkata,”Anakku awet polos, pasti selamat dari pergaulan bebas.”

Meski ketika dewasa, saya baru memahami cara ‘menyelamatkan’ sepupu saya itu, ternyata seperti menumpukan segala kesalahan padanya. Bahwa dianggap terlalu cepat puber, seolah adalah salah sepupu saya sendiri. Tapi bagaimana bisa anak SD paham dari mana ia cepat puber? Dan mengapa yang dikhawatirkan hanya persoalan terlibat atau tidak dengan yang disebut pergaulan bebas?

“Aku dulu sampai takut mau cerita apa-apa ke samean, Mbak. Aku takut dicap nakal. Aku ngira samean dulu juga ngecap aku nakal.” Ucap sepupu saya.

Hingga tulisan ini dirilis, dalam keluarga, saya hanya pernah mengaku menjadi penyintas pelecehan, bahkan percobaan soft rape pada dua sepupu. Sepupu perempuan yang dianggap terlalu cepat puber tadi dan seorang sepupu laki-laki yang suka kebelet baku hantam ketika dengar keluarganya disenggol. Bagaimana hubungan kami saling dukung tanpa ada kata tabu ala pendidikan di masa lalu, antara kami saja yang paham. Meski beberapa waktu lalu, saya akhirnya mengaku pada mama dengan tetap tidak mau memberi detail kejadian.

Benar, si culun yang dibanggakan keluarga, dianggap bakal selamat dari yang disebut pergaulan bebas itu ternyata malah jadi korban pelecehan, hampir masuk dalam percobaan perkosaan halus dan tidak paham pula begitu itu dulu dinamakan kejadian apa. Seperti banyak orang yang lahir 90an, saya tidak diberi edukasi soal seks. Seks adalah tabu dan satu-satunya sumber selamat ya... pokoknya tidak terlibat pergaulan bebas.

Sampai ketika saya dimanipulasi secara psikis, juga digrepe-grepe ketika kuliah pun, rasanya ya... hanya paham hal itu tidak benar dan melukai. Tapi betul deh, kalau itu yang dinamakan manipulasi, pelecehan dan harusnya berhak melawan (menolak, teriak, memukul sebagai misal), saya tidak ngeh. Saya tidak tahu, hak itu ada di sebelah mana ketika kejadian.

Ketika orang-orang di keluarga, hanya memberi batas selamat dan tidak selamat, hanya perkara tidak berhubungan seks sebelum menikah, tidak tukar pasangan, apalagi hamil sebelum itu. Mereka tidak ngeh bahwa banyak kejahatan lebih besar dari standar-standar moral tadi mengintai anak-anak mereka. Kejahatan dan tantangan tiap jaman pun makin canggih dan terus berubah. Pelecehan dan kekerasan seksual menjadi salah satunya...

Bahwa seharusnya, si terlalu cepat puber dirangkul dan ditanya dari mana ia tahu sistem berpacaran di usia SD misalnya, juga si telat puber, mesti diberi tahu batasan mana yang boleh dan tidak boleh dari tubuhnya disentuh orang lain terlepas reaksi biologis dalam tubuhnya ternyata matang lebih lamban.

Dan ya, bahkan untuk berbagi hal semacam ini pun, saya lebih nyaman dengan para sepupu. Para sepupu, yang dulu oleh para orang dewasa selalu dikhawatirkan jadi anak nakal...


!!Bonus!!


Bersama kado nikahan untuk seorang sahabat. Jepreted by: salah seorang sepupu.

Sebab Kita Semua Gila Seks bisa dijadikan referensi kado manten. Jepreted by: salah seorang sepupu.




Friday, November 12, 2021

Surat ke 16.1

Jepreted by: #AnomaliKreate

"Kamu jadi selibat kan?"

"Kelak selibat betulan kan?"

Dan pertanyaan sejenis yang tidak tahu berapa kali kamu ulang dan saya jawab iya. Kadang, saya merasa selibat adalah pembebasan, salah satu pencapaian spiritual, lepas dari ikatan. Sedang ikatan adalah sumber masalah paling besar di muka bumi ini. Ikatan pada hubungan darah, ikatan pada harta benda, bahkan sampai ikatan pada agama, juga ideologi. Tapi betulkah kita sudah lepas dari ikatan-ikatan tadi hanya dengan merasa tidak cemas menikah atau tidak, tidak cemas punya anak atau tidak?

Perasaan manunggaling itu...

Radha tidak menikah sampai akhir hayatnya (tapi versi serial, dia menikah). Sedang Krisna menikah dengan ribuan perempuan yang ternyata semuanya wujud dewi Radha. Sampai akhir mereka saling mencintai sebagai sahabat.

Tujuan pernikahan Radha versi serial pun, untuk dakwah ternyata. Mengembalikan Ayan, suaminya pada pengetahuan soal kuasa dewa. Pun Krisna yang membiarkan istri-istrinya belajar dari sifat memiliki ala manusia menuju sifat yang membebaskan. Dalam versi serial, Krisna menekankan cinta persahabatan di atas segalanya, bahkan di atas cinta eksklusif pernikahan. Dan persahabatan harusnya juga melandasi pernikahan, katanya. Juga bahwa antara dua orang yang melebur, bukan berarti kehilangan jati diri.

Jadi apa yang sebetulnya kita cari? Selibat itu sendiri sebagai pencapaian spiritual kah? Tapi bagaimana ketika Tuhan ternyata punya jalan selain itu? Akankah kita bertahan, mencukupkan pencapain spiritual pada kondisi selibat atau kita justru menerima takdir Tuhan selain selibat? Yang mana sesungguhnya disebut lepas dari ikatan?

Hari ini, kita ingin jadi teman hidup. Bersahabat, bersama di dunia, berdua selibat. Kemudian bertemu di sana jadi teman hidup lagi, saling mengingat sebagai saudara.

Tapi bagaimana jika ternyata kamu punya pertalian dengan perempuan lain? Ditakdirkan menikah lalu hidup sesuai norma, sedang saya tidak?

Tapi bagaimana jika saya punya pertalian dengan laki-laki lain? Ditakdirkan  menikah lalu hidup sesuai norma, sedang kamu tidak?

Tapi bagaimana jika kita berdua punya pertalian dengan orang lain? Sama-sama ditakdirkan menikah lalu hidup sesuai norma?

Tapi bagaimana jika kita berdua punya pertalian satu sama lain dan...

...apa yang sesungguhnya sedang kita cari dalam proses ini? Betulkah selibat adalah pencapaian spiritual tertinggi? Ataukah pencapaian sesungguhnya adalah menerima apapun takdir Tuhan sekalipun tidak sesuai inginnya kita, kesadaran awal kita?

Atau jangan-jangan, keinginan kita bersama seterusnya dengan kebetulan sama ingin selibat adalah bentuk ego yang lain? Boleh jadi itu justru ego soal memiliki tingkat spiritual tertentu lantas merasa paling dicintai Tuhan atau justru ego memiliki satu sama lain?

Dari,

Sahabat baikmu

Monday, July 5, 2021

Ruang

 

Sumber: Google


Sharma merabai tengkuknya. Bulu-bulu halus berdiri seluruhnya di sana dan matanya sudah bengkak sepenuhnya. Bekas jahitan yang masih terlihat basah di pelipis sesekali pula ia raba, ia rasai perih yang masih tersisa.

Ia ingat betul, lima belas menit lalu masih berada di kafe X bersama seorang teman yang pikirnya bakal membantu. Namun dalam kondisinya yang masih sesak, menyesal karena tidak melawan, juga merasa tidak berharga, temannya itu malah mengatakan Sharma tidak tegas, ia pula dikatakan menikmati berada dalam lingkaran kekerasan.

Rokok pun dihisap Sharma dalam-dalam. Teman-temannya di kantor mengatakan, rokok bisa meredam stress dan biasanya memang bekerja serupa itu. Sayangnya, kali ini dada Sharma justru makin pengap saja ketika dijejali asap rokok. Rokok tidak membantu, demikian kesimpulannya hingga gadis berkulit gelap itu membuang rokoknya ke lantai dan menginjak nyalanya sekenanya.

Saya jemput kamu ya, Sayang. Kita harus ngobrol. Sungguh saya minta maaf.

Tulis pacar Sharma bertepatan ketika ia masih bertemu dengan temannya itu. Hingga lewat pukul dua belas malam, warung kopi kian ramai, Sharma tidak juga membalas pesan itu dan ia hanya mengetuki meja yang semestinya diisi empat orang.

Saya ada di kafe Z.

Demikian pesan balasan Sharma pada pacarnya itu. Selanjutnya ia memejamkan mata sambil merasai dadanya yang berdebar makin cepat. Kopi susu yang sudah dingin sama sekali tidak disentuhnya.

“Nunggu lama, Sayang?” Tanya suara yang begitu Sharma kenal selama dua tahun ini.

Entah bagaimana, Sharma menoleh dan mengeluarkan air mata yang sejak tadi tertahan. Ia terisak, ada rasa lega juga di sana...

Sadarlah! Kamu terkungkung patriaki. Kenapa masih denial sih?

Sharma terenyak di tengah pelukan erat dengan pacarnya. Seperti ada yang merangsek paksa ruang dalam dirinya. Ucapan dari temannya yang dikenal sebagai aktivis beken itu mendadak menusuk dada, membuyarkan rasa damai.

***

Dua tahun lalu, Sharma bertemu pacarnya tepat selepas wisuda. Sharma yang bermimpi jadi penulis novel misteri dengan kondisi sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan nasional. Sharma pula, yang jenuh setengah mati dan merasa tidak punya waktu untuk membaca buku lagi.

Pacarnya itu berkepala plontos, bermata bulat dan berkulit putih dengan kaus tanpa lengan. Penampilannya mencolok. Secara umum, orang-orang menyebut pacarnya itu tampan. Ya... secara fisik, lelaki itu memang memenuhi standar pada umumnya buat disebut tampan.

“Suka triller, Mbak?”

Sharma tergagap, ada sembur merah di kedua pipinya. Belum ada seseorang yang memerhatikan buku bacaannya sedemikian rupa. Yang demikian justru membuat debar di dadanya berkejaran kemudian, lebih dari pujian cantik yang tidak pernah ia dapat kecuali dari mendiang neneknya hanya karena dirinya berkulit gelap.

“Mau jadi penulis novel misteri, Mas. Apa daya malah kerja di perusahaan Indom*e sekarang.” Gelak Sharma sambil menutup buku John Steinbeck di pangkuannya.

“Oh, suka sastra-sastraan gitu ya?” tanya lelaki itu sambil berlalu ke meja kasir.

Melihat lelaki itu tidak jadi duduk semeja dengannya, Sharma menghembus napas cukup keras, merasa kecewa. Lelaki itu terlihat membayar kopi untuk mejanya sendiri sambil sesekali menunjuk Sharma dan bercakap-cakap dengan si kasir dengan begitu akrab.

Pikir Sharma, lelaki itu pasti mulanya tertarik soal apa buku bacaan dan mimpinya namun kecewa ketika mendapati kulitnya yang gelap. Sekali lagi gadis itu menghembus napas cukup keras.

“Besok ke acara ini bareng yuk...” ucap lelaki itu tiba-tiba. Ia kini sudah menarik kursi di hadapan Sharma sambil menunjukkan sebuah poster dari ponselnya.

Sebuah acara bedah buku, penulis lokal. Demikian yang Sharma simpulkan sekilas dari poster yang ia baca. Sharma mengangguk tipis sambil mengangsurkan ponselnya. Sudah terbuka menu kontak baru di sana.

“Saya minta kontakmu...” pinta Sharma yang disambut senyum tipis lelaki itu.

Selanjutnya, mereka keluar dari warung kopi bersama dan upaya Sharma membayar kopinya sendiri ditolak si kasir. Sudah dibayar mas Dao Ming Si, demikian nama julukan lelaki yang dua bulan kemudian menjadi pacarnya Sharma itu.

Dao Ming Si, merujuk tokoh serial Meteor Garden yang menurut orang-orang di warung sangat mirip dengan lelaki itu. Ya... meski satu asli Taiwan dan satu lagi asli Pacitan. Setidaknya itu yang Sharma tahu beberapa waktu setelah mereka resmi berpacaran dan dirinya yang mulai akrab dengan orang-orang di warung.

***

Sharma datang ke kota ini sendirian. Mengisi segala formulir untuk kuliah dengan bibi dan pamannya sebagai wali. Sebuah lembaga amal memberinya beasiswa untuk tiga setengah tahun ke depan meski Sharma ternyata harus lulus empat tahun dan cukup terangah-engah memenuhi biaya tambahan satu semester.

Gadis itu tidak sempat mengikuti unit kegiatan apapun di kampus. Fokusnya hanya satu; lulus tepat waktu. Ia pula hanya punya hiburan membaca novel-novel triller di sela kegiatan akademisnya. Diam-diam ia bermimpi jadi penulis novel misteri, tanpa tahu bagaimana cara membina mimpinya itu.

Teman-teman seangkatan mengomentari Sharma sebagai pemudi oportunis, tidak punya visi dan jauh dari idealis. Dalam kepalanya hanya ada ambisi lulus tepat waktu, juga kerja mapan. Ikut demo? Membuat story di Instagram saja ia tidak pernah sempat.

“Mau kemana, Shar?” sapa tiga orang teman sekelas Sharma basa-basi.

“Mau balik kos.” Jawab Sharma cekak dengan langkah tergesa dan tanpa memandang ketiga temannya itu.

Ketiga temannya itu saling sikut dan berbisik soal betapa sombongnya gadis itu. Jam kuliah baru usai, teman-teman sekelasnya pun masih makan bersama di kantin namun Sharma justru buru-buru kembali ke kos tanpa berniat menyapa siapapun.

Teman-temannya itu tidak pernah tahu, sebuah pesan diterima Sharma sekeluarnya dari kelas. Seperti biasa, bibinya meminjam uang dan dari mana bisa Sharma mendapat sejumlah uang? Jika bukan upayanya menyisihkan biaya hidup dari beasiswa.

Bibinya itu memiliki dua anak yang masih sekolah menengah. Suaminya bekerja serabutan dan sepuluh tahun lalu pun, mereka menerima Sharma dengan berat hati. Toh hidup mereka sendiri sudah sesak.

Sebentar lagi Sharma lulus dan kerja. Uang bulanan buat dek Ila dan dek Nanda bisa ditransfer ke nomor rekening yang tadi.

Tidak ada ucapan terima kasih setelah gadis itu mentransfer sejumlah uang. Pertanyaan kapan gadis itu makan dan ucapan semangat karena seminar proposal lebih awal juga tidak pernah ada.

Suami bibinya itu pula, yang enggan menekuni usaha servis televisinya. Berkali masuk perusahaan pun kerap keluar karena pertengkaran dengan sesama teman. Saban hari, Sharma melihat bibinya bangun pagi sekali, menyiapkan segala kebutuhan kedua putri, suami, baru kemudian berangkat ke pabrik.

“Ini namanya berbakti...” ucap bibinya itu ketika Sharma memandanginya terburu sekali menyetrika pakaian pamannya sambil menggoreng nasi untuk sarapan mereka semua.

Sharma mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan serupa setelah dua bulan tinggal di rumah itu. Setiap pulang sekolah, ia buru-buru berlari pulang hingga tidak sempat menerima ajakan teman-temannya bermain. Sebutan wis ireng, sombong alias sudah (berkulit) hitam, sombong pula, melekat padanya hingga menahun kemudian.

Jika bukan karena tawaran RT di tempatnya tinggal bersama lembaga pengelola amal itu, Sharma barangkali sudah memutuskan bekerja di pabrik saja selepas Aliyah. Semua dengan melepas nilai-nilai di sekolah yang membuat para guru sekadar menyayangkan keputusannya tidak kuliah. Ya, hanya menyayangkan, tidak ada saran bagaimana Sharma semestinya...

***

Si Dao Ming Si, ah... Pacar Sharma itu mengelus rambut hitamnya yang lurus sebahu berkali-kali. Mata Sharma terpejam dengan kisahnya semasa hidup bersama sang bibi kembali diceritakan ulang di hadapan pacarnya.

Tidak ada tinju yang membuat pelipis gadis itu berdarah dari si Dao Ming Si malam ini. Yang ada hanya ciuman-ciuman lembut di bibir Sharma yang membuatnya tertidur pada berikutnya.

Namun pintu kos terdengar diketuk cukup kasar kemudian. Pelan-pelan pacar Sharma meletakkan kepala gadis itu di atas bantal dan beranjak membuka pintu.

“Ayolah, Mas! Sudah dua bulan ini. Saya juga cari makan dari kosan ini...” bentak seseorang yang agaknya pemilik kos setelah pacar Sharma membuka pintu.

Dengan tergesa, si Dao Ming Si menarik pemilik kos agak jauh dari kamarnya. Bola matanya sesekali terlihat cemas, entah takut Sharma terbangun atau takut gadis itu memergoki ketidakberdayaannya.

Namun gadis itu terlanjur menggeliat dan mendengar perdebatan pacarnya dengan pemilik kos dari kejauhan. Maka sekembalinya lelaki itu dari pertemuan dengan pemilik kos, sudah ada uang sejumlah tujuh ratus ribu di meja kecil dekat kasur.

“Pakai aja. Kalau kurang bilang.” Ucap Sharma dengan badannya yang menghadap dinding dan mata terpejam.

Lelaki itu pun buru-buru menutup pintu kamar, memeluk Sharma dari belakang dan memuji pengertian gadis itu. Yang Sharma tahu, jika sudah begitu pacarnya akan berlaku sangat manis hingga beberapa minggu ke depan. Mengantar dan menjemputnya kemana saja, menanyakan berapa kali ia makan dalam sehari, juga semua hal yang membuat dada gadis bertubuh kurus itu menghangat. Hari-harinya di kantor pun terasa lebih bersemangat.

Teman-temannya berdehem soal wajah pacarnya yang mirip Dao Ming Si di hadapan Sharma, sedang di belakangnya, mereka saling berbisik soal bagaimana gadis berpenampilan biasa saja sepertinya bisa mendapat pacar begitu rupawan.

Jahitan di pelipisnya sudah mulai mengering...

***

Lelaki itu mengatakan mau bergerak di dunia literasi. Kelak pula, ingin punya toko buku indie dengan kafe sederhana melengkapi. Mimpi-mimpi yang kerap dibaginya pada Sharma itulah, membuat si gadis makin terpikat. Papa pacarnya itu kepala sekolah dan mamanya guru di sebuah sekolah negeri, namun demikian justru membuatnya keluar dari kampus tempatnya mengambil jurusan keguruan. Ia pilih mengambil jalan hidupnya sendiri, katanya.

Sharma merasa pilihan hidupnya serba terbatas. Ibu dan bapaknya entah menikah lagi dengan siapa dan memiliki berapa orang putra. Paman dan bibi yang hanya mengirim pesan ketika hari gajian...

Jadi bagi gadis itu, si Dao Ming Si menawarkan kebebasan yang tidak pernah bisa dirinya pilih. Selain ya... Ia suka bagaimana lelaki itu menciumnya. Ada hangat di dada yang semestinya mula-mula ia dapat dari pelukan kedua orang tuanya.

“Nanti, ada rak khusus buku triller rekomendasi kamu di toko itu, Sayang.”

“Jangan lupa ada menu kopi susu bagi yang nggak suka kopi hitam...”

“Sampul buku gratis dan acara baca puisi tiap sabtu.”

“Diskon buku untuk pasangan kekasih juga...”

Demikian Sharma dan pacarnya saling menimpali, membahas mimpi yang membuat gadis itu sesaat lupa teman kantornya cemburu akibat rencana promosi yang ia terima, juga yang membuat pacarnya itu sesaat lupa orang tuanya masih saja marah karena uang kuliah selama tiga tahun justru dipergunakannya sendiri.

Semuanya selalu diakhiri ciuman yang sangat dalam sekaligus ucapan selamat tidur yang manis. Bekas jahitan di pelipis Sharma mulai terlihat samar.

***

Sharma memeluk pacarnya itu dari belakang, dibisikkannya sebuah berita baik. Ia resmi mendapat promosi...

Namun mata lelaki yang justru terlihat membulat dan merah. Laptop yang menampilkan sebuah email penolakan naskah dari penerbit terhampar di hadapannya.

Melihat Sharma yang datang dengan ceria, membawa berita promosi jabatannya pula, mendadak membuat dada lelaki itu panas. Ia gagal... Ia gagal dan gadis itu sama sekali tidak mau mengerti. Gadis itu mengejeknya.

Sharma tahu, membawa berita baik untuk dirinya saja selalu berakhir...

“Cewek anjing!” si Dao Ming Si meninju tepat di bekas jahitan pelipis Sharma yang sudah nyaris menghilang.

Tidak... Berita sejenis itu bukan hanya baik bagi Sharma, namun juga untuk masa depan hubungan mereka. Karena kelak mereka bakal menikah, mendirikan toko buku indie, ada rak khusus buku triller rekomendasi gadis itu, menu kopi susu, sampul buku gratis, acara baca puisi setiap hari sabtu dan...

Darah merembes dari pelipis Sharma. Gadis itu terhuyung, nyaris pingsan namun berhasil berlari keluar kos dengan beberapa penghuni lain memandang bingung padanya.

...dan diskon buku untuk pasangan kekasih.

***

Temannya yang disebut aktivis itu dikenal Sharma ketika sama-sama menghadiri Haul Gus Dur yang bertempat di Klenteng Eng An Kiong. Sharma datang dengan si Dao Ming Si dan temannya itu bersama pacarnya yang wirausahawan, bertutur lembut, juga menunggangi mobil model paling anyar. Di sana, pacar Sharma membaca puisi, sedang si aktivis itu membaca orasi.

Sejak kecil pula, teman Sharma itu mengaku diberikan buku-buku bacaan dengan berbagai isu oleh orang tuanya. Masih orang tuanya juga yang memintanya kuliah setidaknya hingga S2 dengan biaya penuh dari mereka.

“Papiku jago masak, Shar. Keduanya kerja kantoran emang, tapi papiku tuh nggak patriarkis, mamiku nggak menerima beban ganda.”

Patriarkis? Beban ganda? Istilah-istilah itu betul-betul asing buat Sharma. Membaca buku triller saja ia harus mencuri waktu, apalagi buku-buku dengan istilah yang disebut temannya itu.

Habis-habisan Sharma berusaha menyamakan obrolan dengan gadis yang menurutnya menarik itu. Namun batin Sharma tetap saja kebingungan. Bagaimana bakti bisa disebut patriarkis dan beban ganda? Hingga baginya, gadis itu membawa sesuatu yang tidak wajar.

“Kamu diracuni jadi feminis juga ya, Sayang? Nanti deh, di kos saya bacakan buku-buku yang dia maksud. Saya punya semua kok.” Ucap si Dao Ming Si disusul tawa teman Sharma itu beserta pacarnya.

Hari itu, Sharma betul-betul merasa kecil. Sungguh-sungguh kecil hingga pujian dari bosnya bahwa ia akuntan andalan perusahaan hanya sekadar lewat saja dalam kepala.

Lagi-lagi, gadis itu merasa pacarnya membawa kemerdekaan yang tidak bisa ia raih, pula teman-temannya...

***

Jahitan kali ini lebih panjang dan lebar. Di kamar kosnya yang baru, Sharma memegang ponsel dan nyaris saja mengirim pesan pada bibinya. Ada sesak yang meluap di dada gadis itu tanpa terpikir siapa orang yang layak ia bagi.

Akhirnya, gadis itu justru membatalkan pesan pada bibinya dan justru ditekannya nomor si Dao Ming Si...

“Kita putus. Jangan cari saya lagi.”

Buru-buru sambungan telepon diputus Sharma bagaimanapun lelaki itu memohon maaf dan meminta mereka mesti bertemu.

Pada hari-hari berikutnya, Sharma kerap ditanya teman-teman sekantornya dari mana luka itu berasal. Namun gadis itu tahu, mengumpulkan uang untuk sesi bersama profesional dan menceritakan segalanya akan lebih baik.

Hingga hari itu, Sharma mendapati lingkaran ungu kehitaman melingkar di lengan teman satu kantornya. Gadis itu kemarin mengetahui bagaimana temannya bertengkar hingga saling tarik di depan kantor dengan pacarnya. Kejadian itu sampai ditonton banyak orang kantor dan mesti dilerai dua orang satpam.

“Kalau kamu nggak mau cerita juga nggak mengapa. Kamu butuh ruang dan saya nggak akan mengolok kamu lemah.”

Ada haru yang memenuhi wajah teman sekantor Sharma itu dan ia pun mulai menangis. Tidak ada cerita, hanya tangis. Satu yang Sharma pahami meski tidak pernah sempat membaca buku serupa si aktivis itu, ia tidak berhak mendikte kapan tangis temannya mesti berhenti.

Tuesday, June 22, 2021

Afirmasi

 

Tulis mimpimu dapat nobel sastra di dinding rumah tetangga, papan reklame dekat lampu lalu lintas, hingga batang pohon beringin di alun-alun kota...
...maka ketika kamu dapatkan memimpimu itu, orang-orang bakal berkata,"Dia memang berani bermimpi sedari dulu dan kini ia mendapat apa yang ia perjuangkan."


Tulis mimpimu dapat nobel sastra di dinding rumah tetangga, papan reklame dekat lampu lalu lintas, hingga batang pohon beringin di alun-alun kota...
...maka ketika kamu gagal dapatkan mimpimu itu, orang-orang bakal berkata,"Dia memang sedari dulu tidak tahu malu."

Tuesday, May 25, 2021

Menyoal Depresi Pasca Melahirkan, Anak-anak dan Pelabelan

Sumber: basabasi.co

Dimuat di basabasi.co 14 Desember 2019

Judul : SILSILAH DUKA
Penulis : Dwi Ratih Ramadhany
Penerbit : Basabasi
Edisi : Pertama, September 2019
Tebal : 134 hal
ISBN : 978-623-7290-21-6

Dibuka dengan adegan mengerikan Ramlah yang bunuh diri disaksikan putri pertamanya, Silsilah Duka seperti menagih untuk terus dibaca tanpa jeda. Meski tetap dengan gaya bahasa Ratih yang khas, novela ini tidak menyajikan tata bahasa yang berbunga-bunga dengan diksi-diksi cukup berat layaknya dalam buku keduanya, Pemilin Kematian (PSM, 2015).

Pemilin Kematian sendiri terdiri dari cerita pendek yang telah dimuat di koran nasional dan memenangkan perlombaan. Memang gaya menulis yang disajikan Ratih di sana bisa dibilang pekat beraroma cerpen koran atau cerpen ala kompetisi. Dan langkah Ratih yang tidak menghilangkan gaya bahasanya, namun memangkas diksi-diksi sukar seperti biasa ia menulis di media nasional, memberi dampak novela ini tetap berbobot namun tidak membuat pembaca terengah-engah.

Novela ini bisa juga dikatakan membawa pemahaman mengenai depresi pasca melahirkan yang tidak tekstual. Tokoh Mbuk Jatim misalnya, menjadi gambaran bahwa masyarakat yang tumbuh dalam tradisi tidak primitif juga. Mbuk Jatim si dukun pijat bayi, mengerti psikologi dalam hal praktik. Ia memahami bagaimana seseorang mengalami depresi dan bagaimana sebab juga akibatnya, hanya saja ia kalah dalam penggunaan istilah sukar. Terlihat dari bagaimana Mbuk Jatim meyakinkan Farid yang sarjana dan pegawai, bahwa istrinya diliputi ketakutan hingga tekanan mental dan bukannya kesurupan apalagi kurang iman.

Lain dari Mbuk Jatim, tokoh Ebo’ yang juga tumbuh dalam tradisi masih dihinggapi mitos bahwa ciri-ciri seseorang yang histeris dan menangis adalah kesurupan dan bukannya gangguan kesehatan mental. Berbagai sebab di masa lalu, membuatnya terobsesi mengatur hidup orang lain, termasuk hidup anak-anak dan menantunya yang sudah masuk usia dewasa. Luka akibat kegagalan menata hidupnya sendiri, membuat Ebo’ tidak kunjung sembuh bahkan hingga memiliki cucu. Meski sebenarnya perempuan yang telah lama kehilangan suaminya itu tengah membuat mekanisme pertahanan hidup dengan berupaya ingin dianggap ada dan mampu menata hal-hal yang seharusnya. Lantas masih ia pula yang lari dari lukanya yang tidak kunjung sembuh, dengan membuat hidup orang lain terasa selalu salah. Jika hidup orang lain selalu salah, maka menjadi benarlah hidupnya. Tokoh mertua Ramlah dan ibu kandung Farid ini terasa sukses membuat pembaca ingin menjambak habis rambutnya tepat pada omelannya yang ketiga kali.

Salah satu omelan Ebo’ ketika memaksa menantunya pijat tradisional meski kesakitan, begini isinya,“Ramlah nggak akan mati karena dipijat begitu. Kamu berani bilang Ebo’ serakah? Lupa kamu keluarnya dari tampuk siapa? Ini lagi menantu suka ngadu. Masih untung Farid nggak saya suruh kawin lagi.” (hal 20)

Farid sebagai seorang suami juga sebenarnya sudah memegang prinsip “hamil berdua”. Istilah ini belakangan populer untuk menyebut suami yang turut andil ketika istrinya hamil hingga merawat anak. Berasal dari masyarakat yang penuh tradisi, tidak membuat Farid membedakan “pekerjaan lelaki” dan “pekerjaan perempuan”. Hal ini seperti menggugat anggapan sebagian orang bahwa pria lokal tidak berpikiran terbuka sehingga enggan melakukan pekerjaan rumah juga punya andil mengurus dan mendidik anak-anak. Masih Farid pula, yang melakukan prinsip “hamil berdua” tanpa teori yang melangit. Dia mencintai Ramlah, istrinya itu, dan melakukan segala hal yang sepakat mereka sebut sebagai sama-sama nyaman.

Lingkungan Ramlah pun sesungguhnya sudah sangat ideal, ya jika saja Ebo’ tidak bersikap sedemikian ajaib begitu. Selain suaminya yang menerapkan “hamil berdua”, masih ada Kholila, iparnya yang lajang dan mahasiswi tingkat akhir, mendukung kehamilannya dengan cara mengirim tips-tips selagi hamil dan melahirkan dari YouTube. Diam-diam melalui novela ini, kita juga bisa belajar sikap mana yang tepat dan tidak tepat ketika menghadapi orang hamil, lagi-lagi tidak secara tekstual dan di luar teori-teori berat. Pula bagaimana kita turut andil menciptakan lingkungan yang positif bagi seseorang yang tengah hamil.

Selain menunjukkan penguasaan yang cukup baik mengenai isu depresi setelah melahirkan, Ratih juga ternyata menguasai psikologi anak. Persoalan psikologi anak dilebur secara apik dalam dialog dan gaya penceritaan. Bahaya pelabelan bagi anak menjadi salah satu yang paling menonjol dalam cerita. Ratih tidak mendikte pembaca dengan kalimat teoretis semacam, bahaya pelabelan bagi anak adalah dan contoh-contohnya adalah. Dalam perkara pelabelan ini, Ratih justru menceritakannya melalui Mangsen yang entah bagaimana berkulit jelaga dan beda sekali dengan anggota keluarga lainnya.

Secara apik Ratih menggambarkan anak-anak sebaya yang enggan bermain dengan Mangsen karena dianggap aneh. Konsep aneh ini ternyata tidak didapat sendiri oleh anak-anak tersebut. Mereka mendapatkannya dari orang dewasa di sekitar. Figur orang dewasa yang dianggap serba tahu dan maha benar oleh anak-anak, membuat mereka membenarkan label soal Mangsen yang sengaja ditularkan. Pada akhirnya, berdasar label tersebut, anak-anak ini merasa sah saja menjauhi Mangsen yang berbeda. Toh, ini peraturan tidak tertulis dari para orang dewasa bukan?

Persoalan warisan label tersebut, tergambar dalam salah satu paragraf di halaman 74. Begini isinya; mereka enggan mengajak Mangsen bergabung karena telah dibekali peringatan orang tua masing-masing bahwa Mangsen tidaklah cocok menjadi teman mereka. Kulitnya berbeda. Ayah dan ibunya pasti berbuat banyak dosa. Jangan dekat-dekat supaya tidak ikut celaka.

Sayangnya, pada dua bab terakhir, Ratih terasa terburu-buru dan banyak menyajikan jalan cerita yang berulang telah disajikan terlebih dahulu dalam karya fiksi sejenis. Pijakan kuat dari bab-bab sebelumnya seolah lumayan bergoyang pada dua bab terakhir ini. Bahkan ada adegan-adegan yang mirip sinetron kejar tayang. Meski demikian, salah satu seri novela dari kompetisi penerbit Basabasi ini, bisa dibilang memberi edukasi soal pendidikan keluarga terhadap pembaca melalui cerita kelam yang di luar nalar. Silsilah Duka tetap layak mendapat tepuk tangan dan semoga, makin banyak penulis serupa Ratih yang tidak hanya menjual cerita kelam namun juga nilai-nilai yang dekat bila dipraktikkan dalam keseharian.


Catatan: Sejak 2019 sering lupa habis ngetik tulisan simpan di mana dan habis dimuat nggak dikliping di blog. Ini nyicil yang lupa-lupa itu yes.

Dokumentasi tampilan website.
Sumber: basabasi.co


Monday, May 17, 2021

Seberapa Fasis Kita Check

 

Sumber: Gugel

Kita mendaku anti feminis, RUU PKS bagi kita pro zina. Kemudian ada kasus kekerasan seksual di depan mata dan kita katakan,”Alah, biar tuh para feminis egonya dikoyak-koyak!”

Kita mendaku relijius, LGBTQ bagi kita sesat. Kemudian ada kasus waria dibakar tanpa sebab dan kita katakan,”Alah, udah azabnya. Siapa suruh menyalahi aturan Tuhan!”

Kita mendaku pluralis, bagi kita NKRI harga mati. Kemudian ada fakta Palestina menerus dijajah Israel dan kita katakan,”Alah, yang teriak-teriak free Palestine memang udah kasih makan tetangganya?!”

Kata kuncinya adalah, ketika ada sebuah kasus yang biasanya disuarakan mereka yang bertentangan dengan keyakinan atau ideologi kita, itu kitanya tuh nggak fokus berempati atau membahas tragedi kemanusiaannya. Malah nih, kita fokus menyerang ideologi atau keyakinan yang berseberangan tadi.

Fasis itu yang gimandos sey? Fanatik... Fanatik...

Fanatik itu bukan hanya agama lho.

Yang merasa feminis, pluralis, sosialis dan lis-lis-an lainnya coba cek dulu dan jangan keburu merasa paling tercerahkan, apalagi sampai anggap fanatik tuh hanya identik dengan agama 🙅

Karena kalau kita merasa udah paling lis-lis-an, tapi masih bersikap macam paragraf sebelum-sebelumnya akika bahas tuh, ya jadinya sama aja. Fanatik-fanatik juga... Fasis-fasis juga...

Heuh 🤦

Jadi, sudah fasis berapa kali hari ini?

Tuesday, May 4, 2021

Begini Rasanya Jadi Pengisi Acara Parpol


Sumber: Gugel


Agustus 2020 lalu, Gofar Hilman menjadi olok-olok di Twitter setelah mempromosikan UU Cipta Kerja. Ada yang mengolok idealisme yang selama ini ia tunjukkan hancur setelah butuh uang, hingga mengolok ideologi punk yang katanya ia usung. Gofar Hilman pun memohon maaf dan mengaku tawaran tersebut ia terima murni karena ketidaktelitian.

Apa saya ikut mengolok Gofar Hilman? Ya, gimana ya. Mau mengolok sungkan juga karena faktanya, pernah juga saya nggak teliti menyeleksi sebuah tawaran.

Jadi seorang teman mengajak saya mengisi acara di Malang kota 2019 lalu. Temanya soal perempuan, dua pengisi acara yang lain pun tenaga profesional yang tidak tergabung dalam organisasi berbau politik mana pun. Satu orang model sekaligus make up artis, sedang satu lagi personal trainer sekaligus pakar public speaking. Si personal trainer ini lebih dahulu saya ketahui sepak terjangnya, posisi kampus kami juga dekat.

Sosial media komunitas tersebut kemudian mengikuti akun saya dan jumlahnya dua; pertama, markas komunitas dan kedua, komunitas itu sendiri. Ketika saya klik akun sosial media mereka ya... memang komunitas tersebut sering mengadakan acara pengembangan diri dan markasnya di sebuah tempat makan cepat saji. Dari dokumentasinya pun, personal trainer yang sudah lebih dahulu saya ketahui sepak terjangnya itu ternyata sering mengisi acara di sana.

Tapi ketika poster sudah perjalanan dibuat, teman saya yang menawari itu WA lagi. Isinya ternyata laporan keuangan komunitas tersebut dan sebuah pesan permintaan maaf jika lokasi acara komunitas itu ternyata milik orang partai. Teman saya ini memeringkatkan kalau mungkin di sana bakal ada bau-bau kegiatan politiknya. Tapi ya sudah deh, saya sudah terlanjur mengiyakan dan memang berniat cari pengalaman baru apapun bentuknya itu.

Mau tahu isi laporan keuangannya? Yang paling saya ingat sih, setiap pemateri mendapat alokasi seratus lima puluh ribu untuk souvenir. Lalu peserta dikenakan tiket dua puluh ribu per orang. Pokoknya total biaya dari pengadaan acara itu sampai jutaan.

Singkat cerita, acara berlangsung. Ternyata pemilik markas dan komunitas adalah perempuan berusia lima puluhan, sebaya ibu saya. Malam itu, ia memakai dress putih, celana tiga per empat dan sepatu kets sewarna, kostum yang seolah menegaskan, ini lho saya yang paling ngerti milenial. Sempat juga ia turut berbicara di akhir acara, meski nggak ada ucapannya yang ada bau-bau partai. Saat itu dia hanya mengulas materi acara dari awal hingga akhir.

Ya, usai acara juga si ibu partai ini tanya nama pengguna sosial media para pemateri dan mengikuti akun kami. Sesama pemateri pun saling bertukar nama pengguna dan mengikuti sosial media masing-masing.

Eh, lha tapi ternyata kami dapatnya ucapan terimakasih dan menu makanan paling murah di lokasi acara yang tempat makan cepat saji itu. Nggak ada sertifikat, uang transport apalagi. Sudah begitu, sehari setelah acara, ada teman dari Gusdurian WA saya. Anak ini dikenal suka bisnis memang, jadi jika ada seminar-seminar dari lembaga tertentu begitu dia seksi cari-cari peserta. Jadi, nggak heran lingkaran pertemanan si teman ini sampai ke orang-orang parpol juga.

Yang bikin nggak nyaman itu ya, foto kami mengisi acara ternyata dipakai dan disebar untuk kampanye kemana-mana dan teman saya ini yang bilang. Tjuy, bayangkan... Kamu mula-mula mengira hendak mengisi acara di komunitas belajar biasa, kemudian justru tahu isi laporan keuangannya, tapi datang hanya diberi menu termurah lalu fotomu disebar untuk pencalonan ibu tersebut jadi caleg. Partainya? Ternyata betulan partai yang konsepnya ‘anak muda’ banget itu.

Bahkan anak HMJ kampus dan unit aktivitas lebih menghargai tenaga manusia meski nggak punya dana. Mereka dengan terus terang akan bilang tema dan sasaran acaranya apa dan siapa. Mereka pula yang terang-terangan bilang nggak ada dana untuk transport tapi masih berusaha memberi hidangan terbaik dalam bentuk kue dan minuman, juga sertifikat yang dibingkai cantik. Bukan soal harganya ya tjuy, tapi kejujuran dan menghargai tenaga sesama manusia itu lho.

Saya masih bersyukur, oleh si pembuat poster yang entah siapa itu nama saya hanya ditulis blogger dan satu lagi predikat, pokoknya bukan Gusdurian. Lha, kalau ditulis Gusdurian ya menangis dong saya. Gusdurian nggak boleh ikut politik praktis. Ya, memang saya nggak ikut, tapi mengisi acara yang ternyata ditujukan untuk politik praktis kan jadinya saudaraan.

Lalu kabar baiknya, ibu tersebut gagal di pencalegan. Di Instagramnya, beliau mengunggah foto surat pengunduran dirinya dengan caption yang intinya marah karena partai sudah nggak bisa mewadahi idealismenya. Hehe... Iya, idealismenya.

Setelahnya, saya putuskan unfollow dua akun komunitasnya. Selanjutnya, agaknya saya juga bakal unfollow akun ibu tersebut. Seram juga soalnya, jika terus berhubungan dengan orang-orang yang mau keuntungan sebanyak mungkin dengan modal sedikit mungkin, nggak jujur pula.

Khawatirnya juga, kejadian saya mengira komunitas tersebut kredibel gara-gara melihat si anak kampus sebelah terlihat bergiat di sana, terjadi juga pada teman-teman yang lain. Bisa jadi teman-teman mengira komunitas tersebut kredibel karena melihat profil saya yang selama ini hanya dekat dengan komunitas non profit kok ternyata pernah mengisi acara di sana, bahkan saling follow juga.

Ya gimana ya, mau hujat Gofar Hilman juga saya sendiri punya dosa. Bedanya, bung Gofar sejak awal kesepakatannya kegiatan bisnis, sedang saya dan teman-teman yang terjebak komunitas ibu partai tersebut kesepakatannya kegiatan sosial. Tapi tidak ada salahnya juga sama-sama lebih teliti di hari berikutnya.

Doa saya hingga hari ini hanya satu, semoga ibu tersebut bisa menemukan partai baru yang sesuai dengan idealismenya.

Ehe.

 

*Ditulis bulan September 2020, lalu lupa upload. 

Jadi mikir untuk mulai foto dengan orang-orang lintas parpol lalu diunggah di tulisan ini buat koleksi. Bolehlah ini jadi capaian hidup.

Catatan: 

Beberapa waktu setelah tulisan ini diunggah, salah satu publik figur yang disebut dalam tulisan ini viral di Twitter sebagai pelaku kekerasan seksual. Tulisan ini tidak akan dihapus karena sebagai pengingat.

Sunday, April 25, 2021

Semua Bisa Jualan Body Positivity dan Mental Health Awareness, Termasuk Si Pembully

Sumber: Gugel

Ramah dan bersahabat, itulah kesan pertama yang saya dapat ketika 2016 kali pertama bersalaman dengan si pembully itu. Dia sudah lulus kuliah sedang saya baru selesai seminar proposal, kami seangkatan, hanya saja saya yang telat lulus karena masalah kesehatan. Jika fisik kami digambarkan dalam pertemuan hari itu, ia memiliki berat 10 kilo di bawah indeks massa tubuh, sebaliknya saya yang 10 kilo di atas indeks massa tubuh. Sedang kulit kami sama terang.

Di hari-hari berikutnya, kami masih sering bertemu di warung kopi yang sama bahkan tergabung dalam komunitas serupa. Ia aktif datang sebagai moderator maupun audien, sedang saya yang menjadi audien dan kontributor tulisan.

“Aku tuh pengin punya lengan kayak kamu, seger gitu...” katanya ramah, sambil memegang lengan saya yang gemuk dan segera setelahnya, ganti memegang lengannya.

Ucapannya kali itu lebih terasa sebagai upaya membesarkan hati, tidak ada body shaming sama sekali. Pancaran mata si pembully itu pun hangat, selaras dengan kampanye body positivity yang kerap ia gencarkan di media sosialnya. Bahwa ia, betulan menganggap gemuk bukan masalah jika diterima.

Dari satu komunitas, kami selanjutnya masuk dalam komunitas yang satu lagi. Kali ini bukan lagi komunitas literasi, namun komunitas feminis. Dua komunitas ini masih satu atap dan yang membuat saya masuk adalah si pembully ini, mempertemukan pula dengan banyak teman lainnya, lintas kampus.

Di hari-hari berikutnya, si pembully ini tetap hangat, bahkan pernah punya rencana mengunjungi rumah saya. Ia bahkan membagikan tulisan saya di grup. Sebuah tulisan yang dimuat di website feminis yang hari itu dianggap prestisius. Meski lupa persisnya, ia jelas menyertakan kalimat kebanggan terhadap saya. Ia melakukan hal serupa pula di story WAnya.

Beberapa teman menyahut, mengucap selamat dan kalimat berbau kebanggaan sejenis. Dari semua itu, semestinya cukup untuk meyakini si pembully itu teman yang baik. Ia seorang feminis yang betul menerapkan women support women. Hingga saya mulai dekat dengan lebih banyak teman dalam komunitas tersebut dan mendapati konflik antara si pembully ini dengan satu teman fakultasnya sebut saja Maia.

Maia ini dua tingkat lebih muda dari si pembully di kampus. Diakui Maia, orang yang mengenalkannya pada feminisme adalah si pembully, bahkan mengajarinya metode penelitian. Seolah, Maia ini ‘dipungut’ lalu dididik si pembully ini. Jika digambarkan secara fisik, Maia memiliki berat badan pas dengan indeks massa tubuh, wajahnya pula standar industri, sedang si pembully wajahnya standar industri ketika menggunakan make up.

Keganjilan mulai terasa ketika di grup WA, adik tingkat Maia membagikan sebuah acara gerakan perempuan. Ada foto di mana ia dan Maia berada di sana. Kalimat yang menyertai foto pun berupa ajakan jika teman-teman di grup ingin bergabung, maka dipersilakan. Sayangnya, sekutu si pembully sebut saja mbak Anggun, justru memojokkan adik tingkat Maia. Meski tidak dapat mengetik ulang bagaimana persisnya kalimat mereka karena kejadiannya sudah 2017, siapapun jelas bisa menangkap si adik tingkat ini dipojokkan sesungguhnya karena ia dianggap sekutu Maia dan bukannya karena si adik ini dianggap mengunggah kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan komunitas.

Melihat si adik tingkat dipojokkan dan makin mundur agaknya karena bingung dan merasa sungkan soal usia, saya pun akhirnya turut berkomentar. Saya menyatakan bahwa, kalimat yang dipermasalahkan justru ajakan yang terkait dengan pengembangan komunitas. Tidak layak si adik tingkat dirisak sedemikian rupa untuk hal yang salah saja tidak.

Hingga mbak Anggun berhenti menyalahkan si adik tingkat di grup WA, konflik ternyata tidak tuntas. Si adik tingkat mengirim pesan pribadi kepada saya, menyatakan sangsi atas tindakannya sendiri. Jangan-jangan betul ia salah seperti kata mbak Anggun, namun saya yakinkan ia tidak salah dan mbak Anggun sedang gaslighting saja.

Setelahnya, barulah masalah Maia dan si pembully mulai terungkap. Si pembully ternyata kerap merisak Maia setelah ia mengetahui, jejaring Maia di dunia feminisme jauh lebih banyak dan cepat. Masih Maia yang bahkan menjadi pendamping penyintas di sebuah LSM yang tidak dijangkau si pembully. Dua di antara bentuk perisakan itu antara lain, meninggalkan Maia ketika hendak pergi ke Jakarta. Padahal proposal hingga mendapat pendanaan sebelum acara, semua Maia yang mencari. Ia betul-betul tidak diberitahu kapan kereta berangkat dan setelah diprotes, si pembully sambil menangis berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan menyatakan sangat menyesal. Tentu kalimat barusan terus diulang ketika ia melakukan hal serupa dan Maia melakukan protes yang sama.

Sebelum Maia betul-betul pergi, hasil kerjanya pernah juga diakui si pembully dan mbak Anggun, sekutunya. Jadi komunitas membuat acara dengan tema penelitian dan feminisme. Konsep acara, semua Maia yang membuatnya sedang ketika hari H, ia ditinggalkan. Bahkan yang masuk media dan diwawancara, justru si pembully dan mbak Anggun. Pada berikutnya, Maia keluar dari grup WA dan betul keluar dari komunitas. Praktik penyingkiran oleh si pembully dan para sekutunya berhasil.

Awal 2018, seorang teman menyatakan si pembully, mbak Anggun dan satu lagi sekutunya yang seorang lelaki, membicarakan Maia. Sambil tertawa-tawa, mereka katakan Maia layaknya dibikinkan pangggung membaca tulisan secara erotis sampai orgasme. Si lelaki itu sendiri ada di komunitas literasi dan feminis yang sama dengan si pembully dan mbak Anggun. Serupa dengan mereka berdua, si lelaki ini gemar berdagang isu kemanusiaan ketika tampil di panggung.

Masih di awal tahun 2018, saya berjumpa dengan si pembully dan mbak Anggun ketika Haul Gus Dur di gedung kesenian. Dengan senyum mengejek, si pembully memanggil saya dan di hadapan mbak Anggun ia katakan,”Sorry, ya. Bukannya aku body shaming, tapi kamu emang makin gemuk.” Disusul tatapan puas dan tawa keduanya.

Dari situ saya memahami, kebaikan si pembully terhadap saya sebelum 2018 ternyata grooming saja alias kedok dari kejahatannya. Bagaimana ia mendukung saya menulis, mendukung penerimaan tubuh hingga merangkul dengan ramah ketika 2017 berjumpa di sebuah acara buku, ternyata kedok, semuanya kedok. Yang bisa jadi ketika tidak pernah terang-terangan memihak Maia dan siapapun yang dianggap temannya, saya tidak akan percaya bagaimana ia dirisak sedemikian rupa. Semacam, nggak mungkin deh dia gitu. Ke aku aja baik kok...

Toh, kita memang kerap tidak percaya seseorang melakukan kejahatan ketika pelakunya tidak melakukan serupa terhadap kita. Kita kerap melakukan negasi atas pengalaman orang lain jika tidak mengalami yang serupa. Dan selamat, di situlah kita menjadi alat grooming bagi para pelaku kejahatan, entah itu seorang tukang merisak maupun predator seksual.

Namun semenjak kejadian adik tingkat Maia yang dirisak di grup hingga meragukan dirinya sendiri, saya memang melihat kejadian itu sebagai sebuah data. Sekalipun tidak mengalaminya sendiri, jika ada fakta di depan mata kenapa harus membuat negasi? Apalagi jelas si adik tingkat ini tidak melakukan kesalahan.

Data itu ternyata bertambah ketika Maia dijadikan guyonan seksual dan saya sebagai yang nampak keberpihakannya kena body shaming. Jadi si pembully tidak bisa menemukan argumen yang masuk akal untuk melawan keberpihakan saya terhadap ‘musuhnya’, satu-satunya hal yang dianggap kekurangan hanya berat badan, apalagi dia tahu saya tidak bisa disentuh soal itu. Bagi yang kerap membaca tulisan saya soal persepsi tubuh di blog, tentu tahu apa sebabnya.

Keterbukaan saya soal kasus Maia, adik tingkatnya dan diri saya sendiri ternyata membawa pada data yang lain. Pertengahan 2018, adik tingkat saya di UKM akhirnya bercerita bahwa selama SMA, ia ternyata dirisak oleh si pembully! Saya tentu kaget dan menyesal. Menahun saya bareng si adik ini, bahkan pernah di tahun 2017 di sebuah acara buku, kami satu meja dengan si pembully dan ia belakangan baru mengaku takut sekali hari itu. Sayangnya, saya betul tidak mendeteksi semuanya. Adik tingkat ini tidak berani bercerita karena takut hubungan saya dengan si pembully rusak dan lagi, ia sering sangsi soal pengalamannya. Apalagi, si pembully tiba-tiba bersikap ramah terhadapnya dan di media sosial, ia kerap berbagi seputar feminisme.

“Aku kira dia udah berubah, Mbak. Dia positif banget di Instagramnya, suka berbagi soal feminisme juga.” Ucap adik UKM.

Jadi jika Maia dianggap mengungguli si pembully dalam karir aktivisme, adik tingkat saya itu dianggap merebut laki-laki yang disukainya selama SMA. Bentuk perisakan itu salah satunya menyoraki si adik tingkat yang tengah berolahraga di lapangan sekolah. Hanya karena tubuhnya dianggap sedikit berisi, meski jauh untuk dikatakan gemuk, dijadikannya itu bahan merisak oleh si pembully. Bersama teman-temannya, ia mengomentari tubuh adik tingkat tadi beramai-ramai.

Jika digambarkan secara fisik, adik tingkat ini berat badannya pas dengan indeks massa tubuh dan wajahnya standar industri. Semasa sekolah, akademisnya juga sangat baik. Jadi selain tubuh yang dianggap tidak sekurus si pembully, ia tidak punya bahan merisak lain. Apalagi lelaki yang disukainya itu ternyata memilih si adik tingkat.

Data masih terus bertambah, ketika seorang teman lelaki yang semasa SMA ternyata satu angkatan dengan si pembully, ternyata pernah dimusuhi teman-temannya sendiri. Si pembully menebar cerita bahwa pacar-pacar standar industri yang didapat teman kami ini hasil dari pelet. Semua hanya karena teman kami ini dianggap wajahnya tidak standar industri, jadi mustahil mendapat pacar yang dianggap unggul secara fisik. Padahal siapapun yang mengenalnya di komunitas tahu, bagaimana ia jago membikin puisi, musikalisasi hingga menggombal. Ia juga kreatif dan pintar, nyambung diajak mengobrol. Perempuan menyenanginya? Tidak heran. Ia juga teman yang bisa diajak saling dukung. Apa benar nilai teman kami ini sekadar kulit dan dagingnya?

Entah berapa banyak lagi korban dari si pembully ini sebetulnya. Korban yang sangsi hendak bicara karena imej yang ia bangun. Bahkan pernah, saya satu panggung dengan teman satu jurusannya di kampus dan si teman ini nampak kagum sekali dengannya. Saya pilih pura-pura tidak mengenal si pembully, ketimbang fakta-fakta yang penggemarnya belum perlu tahu itu bocor. Kalaupun kelak ia mengetahui fakta-fakta tersebut, biarlah dengan tangannya sendiri.

Si penggemar ini pintar dan fisiknya standar industri. Tapi bagaimana bisa ia diperlakukan baik oleh si pembully bahkan seolah dibimbing? Semua ternyata karena ia bergerak di bidang public speaking, bidang yang tidak serupa dengan si pembully. Jadi sekalipun ia pintar dan standar industri, tidak bakal tuh dianggap ancaman. Sebaliknya saya yang bukan ancaman di dunia aktivismenya, akibat berat badan juga tidak dianggap punya fisik standar industri, namun berpihak pada yang dianggapnya ‘musuh’, jadilah bagi si pembully, saya layak balas diusik.

Hari ini, si pembully tetap berjualan konsep persepsi tubuh positif di depan orang-orang, ini masih ditambah berdagang konsep psikologi klinis sesuai jurusannya di S2. Dengan getol ia juga menyuarakan pentingnya pola asuh yang baik.

Pernah seorang teman bertemu dengannya di MATOS tahun 2018 dan ia tanyakan kabar Maia. Teman kami menjawab, Maia masih berkonsentrasi dengan anaknya yang masih bayi. Disaksikan si teman tadi, si pembully mengangkat sebelah bibirnya, spontan tersenyum puas mendengar ‘musuhnya’ dianggap hidup tidak lebih baik darinya yang sudah mendapat beasiswa S2.

Si pembully sendiri sempat terusir dari komunitas karena disingkirkan teman perempuan lain yang sama-sama-sama sindrom ratu lebah dengannya. Bahkan si penyingkir ini dengan bangga menyatakan, si pembully ketakutan waktu jumpa dengannya. Ini belum lagi masalah dengan mbak Anggun dan sekutu lelakinya itu. Setelah terlempar dari lingkaran lamanya, si pembully pun kemudian mengambil psikologi klinis di provinsi lain ketika lolos beasiswa S2, dengan tetap berusaha meninggalkan komentar mendukung di sosial media Maia maupun adik UKM saya.

Ini semua bukan FTV sinema pintu taubat di mana pembully hidupnya blangsak dalam waktu singkat. Pada nyatanya, si pembully tetap melanjutkan hidupnya, menjadi pembicara di mana-mana dengan tema kesehatan mental. Sedang Maia melanjutkan studinya ke benua lain tahun 2019 dan adik UKM menikah dengan lelaki yang ia cintai tahun 2020.

Ada kemungkinan ketika ganti kejahatan teman perempuan yang menyingkirkannya terungkap dan sisi-sisi si pembully sebagai korban diangkat, ia akan kembali lagi ke Malang lantas mendapat panggung lebih luas dan korban perisakannya makin tidak berani berbicara. Entahlah... Tunggu saja yang lebih jahat dari si penyingkir itu bertindak dan baku hantam dengan si pembully atau tunggu ia terjerat jati diri aslinya sendiri. Kita tinggal tonton sambil menyiapkan banyak camilan, karena bukankah semua kejahatan itu berpola?