Sumber: Gugel |
Hari itu, seorang laki-laki tua mengikuti Baim Wong dengan
menaiki motor sampai ke rumahnya. Berikutnya, berita-berita di internet
mengatakan Baim membentak pria itu. Video-video menunjukkan sang kakek terluka
dan menangis setelah Baim membentaknya sebagai pengemis.
Kakek Suhud nama laki-laki tua itu. Berikutnya, perdebatan
menyertai dengan terbagi jadi dua kubu. Kubu pertama menganggap cara kakek
Suhud mengikuti Baim menakutkan, sedang kubu kedua menganggap cara Baim
menanggapi sang kakek tidak manusiawi.
Saya pun tidak mendapat gambaran mesti memilih kubu
mana. Abu-abu saja begitu rasanya. Sedang 2017 lalu, pernah saya diikuti dan
direkam diam-diam waktu melawan pelaku pelecehan. Video itu lantas dibingkai
sedemikian rupa hingga saya seolah marah tanpa sebab.
Di kolom komentar, orang-orang merisak (membully atau
melakukan bullying) terhadap tubuh saya, mengomentari sikap sebagai perempuan
yang dianggap kasar, hingga ancaman kekerasan fisik dan usaha mencari identitas.
Ya. Saya adalah penyintas KBGO.
Pelaku hingga hari ini tetap melenggang, tanpa
regulasi apapun menjeratnya. Ia tetap membuat konten di media sosial,
mengumpulkan lebih banyak pengikut.
Sedang saya, bertahun-tahun mesti berusaha sembuh.
Sempat pula menghilang sama sekali dari media sosial dan hingga kini lebih
merasa aman diet digital.
Akun Instagram utama saya @trisnayantip bahkan
direncanakan deaktif permanen dan digantikan akun lain khusus DM, tanpa
pengikut. Tujuannya pun hanya mempermudah orang menghubungi apabila punya
keperluan.
Jadi ketika perdebatan mengenai kakek Suhud beredar,
saya langsung memposisikan diri sebagai orang yang diikuti sampai rumah. Apa
yang saya rasakan seandainya diikuti orang asing sampai ke rumah?
Takut. Hanya itu jawabannya. Sekalipun saya sudah
pulih, kenangan diikuti, direkam diam-diam, dikonfrontasi orang asing dan
dirisak sedemikian rupa di dunia siber tentu masih ada.
Bisa jadi reaksi saya terhadap kakek Suhud tidak
sesuai standar kemanusiaan seperti yang jadi ekspektasi banyak orang.
Barangkali saya akan meminta sang kakek berhenti, jika tetap diikuti bisa juga
saya lari, jika ternyata masih juga diikuti, batu barangkali bisa saya ambil
dan lempar.
Atau minimal berteriak dan mengumpat? Dengan berbagai
latar belakang, sayangnya saya ternyata bukan orang yang pintar mempergunakan
senjata satu ini buat membela diri.
Apalagi 2018 lalu saya mesti mengalami serangan panik.
Teman-teman Gusdurian Malang waktu itu harus repot menenangkan saya yang menangis
dan gemetar di tengah Alun-alun kota Batu. Keberadaan orang-orang yang lalu lalang
dan ramai ternyata membuat serangan panik itu muncul.
Meski nampak tenang, di tahun 2019 perasaan defensif jadi berlipat ganda. Satu waktu seorang teman perempuan nyaris menutup mata saya dari belakang serupa film India. Kami ada di acara bedah buku waktu itu dan saya menarik pergelangan tangannya ke depan, nyaris membanting dia. Dengan cengengesan teman saya itu berkata, kok kamu ternyata defensif.
Mata saya yang mulanya cemas dan marah mendadak cair.
Saya sadar sikap tenang palsu bubar malam itu. Buru-buru tangan si teman tadi
saya lepaskan, pembicaraan pun tidak membahas sikap defensif yang baru saja.
Sapaan serupa film India sebetulnya saya alami juga
dari teman yang lain semasa mahasiswa baru. Namun di masa itu, belum ada hal
yang membuat saya mesti merasa waspada di ruang publik. Jadilah bersama si
teman tadi kami tertawa bersama.
Sayangnya, kita kerap kali menilai reaksi seseorang
hanya berdasar kejadian hari itu. Padahal reaksi seseorang sebetulnya juga
kumulasi atas hal-hal yang sebelumnya dia alami.
Apakah orang yang tiba-tiba menunduk atau menolak waktu
ada perempuan paruh baya menawarkan barang di pinggir jalan itu jahat dan tidak
peduli? Bagaimana jika orang tersebut di masa kecil, ternyata pernah mendapat kata-kata
kasar dari pengasuhnya yang juga perempuan paruh baya? Jadi ketika ada yang
sosoknya mirip, spontan ia menghindar.
Ini seperti 2017 lalu, saya melawan pelecehan dengan
tindakan fisik karena pelaku tidak kunjung berhenti dengan kata-kata saja. Jadi
bagaimana bisa saya melawan dengan tindakan fisik? Ternyata dalam proses
penyembuhan, saya mendapati tumpukan ketidakberdayaan di tahun-tahun sebelumnya
ketika nyaris jadi korban soft rape juga dilecehkan dalam bentuk
disentuh secara fisik.
Tumpukan ketidakberdayaan itu ternyata harus saya
bayar dengan berjumpa pelaku pelecehan lain di tahun 2017 tadi. Yang ketika
keberanian melawan itu muncul, ternyata oleh para pelaku justru dibingkai
sedemikian rupa hingga mendatangkan penonton dan uang.
Hingga hari ini pun, saya cenderung kebingungan ketika
mendapati orang asing mendatangi meja di ruang publik. Entah itu pengamen,
penjual kartu perdana, penjual kue, mahasiswa yang sedang praktik, rasanya
buru-buru saya ingin menunduk atau pura-pura tidak melihat mereka ada.
Ya. Rasa takut itu belum pulih sepenuhnya ternyata.
Saya jadi ingat kejadian pengguna motor yang terseret
arus air setelah banjir 2021 lalu. Seorang laki-laki dewasa dirisak karena
dalam video ia terlihat diam saja, tidak terlihat ada inisiatif menolong.
Belakangan laki-laki itu dinyatakan berkebutuhan khusus.
Jadi apakah Baim Wong punya latar belakang kejadian di
masa lalu sehingga membentak kakek Suhud?
Jadi apakah kakek Suhud punya latar belakang kejadian
di masa lalu sehingga minta bantuan dengan cara mengikuti ke rumah?
Apakah suatu saat reaksi saya yang tidak ideal atas
suatu hal di ruang publik, kelak akan ada yang merekam lagi?
Dan apakah di saat itu perisakan serupa bakal saya
alami?
Semoga teman-teman yang sedang membaca tulisan ini tidak akan pernah mengalaminya.
Catatan:
Selasa, 4 Oktober 2022
Nama-nama yang disebutkan dalam tulisan ini ternyata ada yang menjadikan KDRT sebagai candaan, konten penghasil uang.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!