Sumber: Gugel |
Tidak jelas dari mana ia mendapat rantai, kunci, gembok, beserta papan-papan kayu. Rantai, kunci dan gembok dia rangkai sehingga pintu mustahil didobrak dari luar, sedang papan-papan kayu ia paku saling silang di jendela dan plafon.
Sebentar kemudian dia mengibas keringatnya dengan tangan kiri, memandang hasil kerjanya lalu berdecak sendiri. Ia pun mulai masuk kamar mandi, berendam dengan air bercampur busa juga menyalakan lilin wangi. Setelahnya, ia memasak mie instan favoritnya, mencoba meniru tampilan paling mirip dari bungkus, juga menyeduh coklat hangat. Sebuah novel juga sudah tersaji di meja.
Ia begitu, setiap hari. 365 dikali lima...
Sampai satu waktu, ada yang mengetuk pintu. Bukan kurir, karena para kurir sudah tahu harus meletakkan paket di sudut mana dan tanpa suara.
Dia terenyak. Pelan-pelan dibukanya gembok, diurainya rantai, dibukanya kunci. Yang di depan pintu terus saja berdiri sambil tersenyum saja, tidak ada upaya mengetuk pintu sekali lagi, apalagi memaksa masuk jendela atau menjebol plafon seperti orang-orang terdahulu.
Hingga ia pun betul-betul membuka daun pintu. Namun yang sedang berdiri tidak masuk juga hingga betul-betul dipersilakan. Setelah masuk pun tidak duduk juga hingga betul-betul dipersilakan.
Lama-lama mereka duduk berdua dan saling senyum saja, hingga terbahak dan menangis bersama. Mula-mula, ia ogah berbagi mie instan, coklat hangat, apalagi novel yang tersedia di meja. Tidak bisa, yang tiga itu favoritnya.
Namun lama-lama, ia mempersilakannya makan dari mangkuk dan minum dari gelas yang sama. Novel itu bahkan sengaja diletakkan di pangkuannya.
“Rumahmu di mana? Boleh saya mengetuk pintunya balik?” ia bertanya.
Untuk saudara laki-lakiku dan mbak-mbak yang kupikir tidak akan pernah pergi dengan pamit.
Semangat o ya, Mas. Ingat, Mike Mohede pernah bernyanyi,"Rasa yang ada di hati tak mungkin berdusta uwo uwo yea..."
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!