Sumber: Gugel |
Iwul memanggil saya. Ia duduk di sebelah teman sekelas kami yang menangis tergugu di sudut kelas. Ekonomi si teman ini katanya lagi hancur-hancuran dan dengan tatapan memohon, Iwul minta saya meminjamkan uang dua puluh ribu untuk si teman tadi.
Si Iwul sendiri sahabat baik saya sejak kelas sepuluh. Dia juga suka membersihkan mushola sekolah dengan sukarela dan punya uang saku seribu saja sehari. Ibunya buruh dan bapaknya kerja serabutan. Rumah dia ada di pinggir rel kereta api dan... Teman yang dia bersimpati betul itu bahkan nggak lagi mau akrab dengannya.
Saya pun merogoh uang yang ada di saku rok. Ada dua puluh ribu sebetulnya, hasil menyisihkan uang berhari-hari namun hanya saya bagi sepuluh ribu. Sebetulnya jika bukan karena Iwul, saya pasti berpikir uang itu dipakai membantu teman yang lain saja. Soalnya, si teman yang Iwul mohon dipinjamkan uang tadi menyapa saya pun hampir nggak pernah.
Iya... Iya... Hati saya nggak semulia kamu yang berpikir semua orang pasti baik dan membantu tanpa hitung-hitung hubungan personal. Toh pada akhirnya, uang itu diterima si teman ini tanpa ucapan terimakasih. Yang mengucap terimakasih justru Iwul, berkali-kali.
Uang yang sudah saya niatkan dalam hati nggak perlu diganti itu pun terjawab siang hari. Saya pergi ke tempat kerja ayah sepulang sekolah dan bosnya seorang cina yang dikenal dermawan, memberi uang saku. Jumlahnya? Dua puluh ribu. Dua kali lipat dari uang yang saya beri pada si teman tadi.
“Tuhan melipatgandakan ganjaran...” kalimat demikian seolah terdengar, meski saya lupa dari guru agama semasa SD, SMP atau SMK.
Bos ayah berlalu dan saya melihat punggungnya dari belakang. Beberapa kali saya pandangi uang dua puluh ribu yang di masa itu memang cukup banyak.
“Tahu gitu, aku tadi pinjami dia dua puluh ribu...” batin saya.
Tanggal dan jam unggah mencatut tanggal dan jam lahirnya Diyah.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!