Tuesday, June 4, 2013

"Rembuk" bagian 1

Bolehlah kamu panggil aku Rembuk. Rembuk saja, tak apa Rembuk saja tanpa embel- embel yang lain karena aku memang tidak punya nama lain. Bolehlah lidahmu menjulur depan mukaku sambil berkoar nama ini aneh. Boleh.. sangat boleh.. toh aku tak akan mampu melawan kamu, toh aku juga tak ada kerabat buat bantu melawan kamu. Nama ini pun bukan nama yang di beri sanak kerabat atau apa siapa yang terkasih buat menandai wujud diriku. Nama ini kupilih sendiri, karena sering kudengar orang- orang memanggil golongan kami begitu..
***
Kalau kamu mau tahu, ketika buka mata tahu- tahu aku ada disana. Satu tempat berlantai kardus warna coklat, satu tempat berdinding kardus warna coklat, satu tempat beratap kardus warna coklat. Waktu itu, aku dilempar kesana berbarengan dengan golonganku. Diluar ruangan, riuh suara manusia bercakap ini itu tak mampu kutangkap intinya. Tahu- tahu, ruangan ini bergoncang dan aku mulai menutup rapat kelopak mata takut melihat apa yang setelahnya terjadi. Goncangan dalam ruangan makin keras, kemudian ruangan ini terasa seperti dihempas badai besar hingga ketika aku beranikan diri membuka mata, wajahku tak lagi mampu memandang langit- langit ruangan ini karena seluruh wajahku malah sudah mencium lekat- lekat langit ruangan. Aku merasa sesak, nyata terasa aku tertindih golonganku sendiri, semua gelap.. tak ada suara.. Aku teriak sebisanya aku tapi tidak ada suara lain membalas teriakanku yang bisa pastikan aku bakal baik- baik saja. Aku terlalu kecil.. jantung dan paru- paruku terasa sangat panas seperti ingin meledup, sekali lagi aku berteriak sekuatnya aku, aku ingin ada satu suara lain membalas teriakan ini, biar pasti aku tidak akan apa- apa disini. Ini tenaga terakhirku buat menjerit.. aku merasa sangat pusing kemudian menutup mata, sejenak aku merasa hening..
***
“Kau berteriak berlebihan.. kau laki- laki bukan? Penakut sekali!,” ucap sinis satu sosok yang kurasa berada di samping kiriku. Kali itu, wajahku tak lagi mencium langit- langit. Wajahku sudah mampu memandang langit- langit dengan normal dari atas lantai tempatku merentangkan tubuh.
“Kau siapa! Tentu.. tentu aku sangat takut! Aku bahkan tak ingat  berapa lama aku tak melihat cahaya!, apa kau tidak merasa satu rasa yang sama denganku?! Bukankah kita satu golongan?!,” aku berteriak di kupingnya sambil menahan air mata yang nyaris tumpah dari kantong mataku.
“Jangan sok! Dari mana kau tahu cahaya?,” dia balik membentak aku.
“Sebelum tangan- tangan itu menjamah tubuhku kemudian melempar aku kesini, aku melihat cahaya putih terang di depan mataku,” ucapanku melembut.
“Kau merasa sedih? Kau merasa hampa? Kau merasa kecewa? Kau merasa ada satu hal yang hilang,” tanyanya mendadak juga lembut.
“Tentu! cahaya itu begitu cantik, ramah dan hangat di tubuhku! Apa kamu tidak pernah bertemu dia? Aku begitu berat mencintai dia! Dia.. dia satu wujud pertama dan yang ku kira terakhir seumur hidupku yang sungguh mampu merangkul aku,” air mata dalam kantung mataku tak lagi terbendung.
“Aku tak pernah bertemu dia, maka aku tak tahu harganya meski seandainya aku berhak untuk dirangkulnya,” dia menjawab cepat kemudian memalingkan wajah membelakangi mukaku.
Kami diam beberapa saat.
“Hey!,” bentakku karena rasa sebal tak di gubris lama oleh dia.
“Kita ini abdi.. kita cuma abdi.. jadi diam dan jalani sebaik mungkin,” dia tetap memunggungi mukaku.
Tiba- tiba terjadi guncangan hebat dalam ruangan itu. Gaduh kudengar suara manusia bercakap- cakap tanpa aku mampu menangkap inti percakapan tersebut. Langit- langit ruangan ini tiba- tiba terbuka, cahaya terang seperti menusuk mataku karena begitu lamanya aku tak melihat cahaya.
“Ingat.. kita hanyalah abdi.. lakukan sebaik mungkin,” sebuah tangan sudah menarik tubuh teman bicara pertama dalam hidupku itu dengan cukup cepat.
“Kau tahu! Itu cahaya! Sesuatu yang masuk ketika langit- langit itu dibuka, sesuatu yang masuk sebelum tangan tangan itu menjamahi kita lagi! Itu!,” teriakku padanya.
“Cahaya? Sangat menyakitkan bola mataku, cahaya tidak menyenangkan.. ,” dia tersenyum tipis buatku sebelum benar- benar menghilang bersama tangan- tangan itu.

Guncangan dalam ruangan terjadi lagi. Langit- langit ditutup lagi, sekelilingku gelap lagi.. aku menutup rapat- rapat kelopak mataku lagi.. aku mengulang pernyataan gadis tadi.. benarkah golongan kami cuma abdi?.
..BERSAMBUNG..

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!