Saturday, June 8, 2013

Di balik Pena Cerita Kecil "Bangku Angkot dan Ketukan Nurani"

           
            Nulis itu kadang emang perlu di paksa. Weittzzz bukan kadang tapi mesti sering di paksa buat orang macam saya ini yang males banget menyelesaikan tulisan kecuali dalam tekanan dan keterpaksaan -_- Semester satu lalu saya salut banget sama pemaksaan menulis yang di lakukan dosen salah satu mata kuliah saya, beliau adalah mr. Zamrud Khatulistiwa. Zamrud Khatulistiwa sebenarnya hanya salah satu nama pena bapak dosen yang menurut desas desus yang beredar antar teman dan kakak kelas paling pelit memberi nilai.
            Nah, pemaksaan untuk menulis bebas ini terjadi waktu UAS. Ngga seperti dosen lain yang waktu itu sebagian besar menerapkan ujian tertulis waktu UAS, mr Zamrud Khatulistiwa malah menyuruh kami menulis bebas. Ngga sepenuhnya bebas sih, karena ada batasan tulisan seperti apa yang mesti di tulis, bisa di bilang bebas sendiri karena di dalamnya kami bebas menuangkan teriakan ide- ide kami hohooo. Yang lebih asyik, tulisan yang kami buat harus juga mengandung teori- teori yang telah di ajarkan di kelas dan itu memang jauh lebih bisa bikin kami menghayati teori yang ada dari pada disodori ujian tertulis berisikan nyanyian teori saja.
            Waktu yang di berikan sekitar satu minggu tapi dengan gaya sok seniman yang nunggu mood segala, saya dengan elegan dan memesona malah menyelesaikan tugas tersebutsehari sebelum tanggal pengumpulan #jangaaaan ditiru yaaa >,<
            Di bawah ini adalah hasil tulisan saya waktu itu dan alhamdulillah dapat apresiasi yang menggembirakan dari mr. Zamrud Khatulistiwa ^,~ 

Bangku Angkot dan Ketukan Nurani
Tiga tahun yang lalu, bermodalkan majalah ‘intisari’ hasil pinjaman dari tetangga, saya mendapati sebuah artikel yang sangat menarik. Artikel tersebut terlihat sederhana, namun benar- benar mengetuk nurani saya.
Bagaimana tidak?. Artikel tersebut menceritakan pengalaman salah seorang pembaca majalah ‘intisari’ ketika menaiki angkutan umum. Ada kisah apa kiranya didalam angkutan umum tersebut?. Ternyata pembaca tersebut menaiki angkutan kota yang benar- benar penuh sesak dengan penumpang. Salah seorang penumpangnya adalah perempuan muda dengan kaki kiri yang kurang sempurna, ia duduk di ambang pintu angkot. Kejadian yang menghentak nurani namun sering tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah dalam keadaan angkutan kota yang penuh sesak, ada penumpang baru masuk kedalam angkutan kota tersebut, penumpang- penumpang lain yang memang telah masuk sedari tadi kedalam angkutan kota dan duduk di ambang pintu angkot, semuanya bersikap tak acuh dengan kehadiran penumpang baru yang nampak kebingungan mencari tepat duduk sedangkan angkutan kota tersebut hendak segera berangkat. Dengan mimik tenang, perempuan muda dengan kaki kiri yang kurang sempurna tadi rela menggeser tempat duduknya untuk penumpang baru tadi, perempuan itu pun duduk lebih menjorok kedalam angkutan kota, bukan diambang pintu seperti sebelum penumpang baru tadi masuk.
Beberapa meter dari lokasi masuknya penumpang baru tadi, perempuan tadi ternyata turun dari angkutan kota. Memang ia susah payah untuk turun dari angkutan kota dengan posisi duduknya yang menjorok kedalam angkutan kota. Dari sana, hati penulis cerita tersebut terketuk. Bagaimana empati kita saat ini benar- benar mati. Bagaimana banyak dari kita menonjolkan individualisme tanpa perduli yang lain lagi. Kita bahkan kalah dengan orang yang secara fisik kurang sempurna kaitannya dengan empati. Didalam angkutan kota yang dikisahkan tersebut, para penumpang yang jarak tempuh tujuannya sebenarnya lebih panjang dari perempuan tadi, enggan menggeser sedikit posisi duduknya demi mempermudah penumpang yang baru masuk kedalam angkutan kota karena enggan bersusah payah apabila nantinya keluar dari dalam angkutan kota ditengah padatnya penumpang.
Setelah membaca artikel tersebut, saya mulai bertanya pada diri saya sendiri. Saya masuk kedalam golongan manusia yang mana?. Yang masih memliki empati ataukah yang secara tidak sadar menerapkan prinsip individualisme dalam lingkungan sosial?. Beberapa
saat kemudian, saya menukan jawabannya. Saya ternyata termasuk orang yang menerapkan prinsip individualisme. Empati saya tidak tajam. Saya termasuk pengguna aktif angkutan kota kala itu, namun saya dengan kesadaran penuh malah melakukan hal yang sama dengan sebagian besar pemumpang yang diceritakan dalam artikel tersebut. Saya belum mampu melakukan hal yang mengandung toleransi dan empati tinggi seperti perempuan muda dengan kaki kiri yang tidak sempurna dalam artikel tersebut.
Semenjak membaca artikel tersebut, saya selalu menekankan diri saya untuk selalu mengasah toleransi sekaligus empati dalam lingkungan sosial. Mengapa seorang dengan fisik kurang sempurna seperti dikisahkan dalam artikel yang saya baca tersebut sanggup melakukannya sedang saya tidak?. Itu sesuatu yang benar- benar membuat saya sangat malu.
                                                           

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!