Thursday, February 20, 2014

Manuk Sakti


Karina pulang larut hari ini. Di antar pria yang kiranya seusia dia, sembilan belas tahun. Ia tiba depan rumah dengan jaket sangat tebal. Di lambaikan tangan kanan Karina manakala pria itu beranjak menjauh bersama motornya dari tempat Karina berdiri.
Sesegera mungkin Karina merogohi saku jaket tebalnya untuk mencari kunci dengan helm hitam yang tetap menggagah di kepalanya. Bertemu kunci yang ia cari, Karina memasukkan anak kunci ke lubang kunci pintu ruang tamu, ia masuk ke dalam rumah.
Tak tahu Karina, dua pasang mata intai dia dari rumah di ujung gang. Dua pasang mata itulah yang saling berbisik, membekap mulutku, menarik tubuhku kemudian memasukkan aku di antara ketiak mereka biar berhenti aku meronta.
Pagi hari, di keluarkannya aku dari ketiak mereka. Tubuhku sudah lemas. Aku di dudukkan di pinggiran kasur. Mereka menjambaki rambutku, mengaitkan pita- pita kawat di seluruh kepalaku. Di bedaki mukaku dengan bedak sangat putih hingga tak tampak muka asliku. Tak lupa, mereka oles perona bibir merah darah bersamaan pula dengan perona pipi warna oranye menyala. Mereka tersenyum- senyum tak tahan rasanya mereka mengarak aku keliling kampung depan orang- orang.
Berdua mereka meninggalkan aku di pinggiran kasur. Tak lama, mereka kembali lagi. Di copotinya seluruh pakaianku. Telanjang aku dengan riasan tebal di muka. Aku diam di
pinggiran kasur. Ingin menangis. Tapi sayang aku seperti tak punya anugrah bisa keluarkan air mata.
Mataku yang terasa tebal akibat bedak yang menindih seluruh mukaku membuatku baru sadar bahwa dua orang itu adalah dua wanita bertubuh tambun dengan baju terusan panjang sekenanya. Satu seperti ibu muda, satu lagi nenek tua.
Ibu muda keluar dengan menggelung rambut panjang berminyaknya ke belakang. Kasar ia gesekkan anak kunci pada lubang kunci ruang depan. Ia keluar sambil menenteng dompet yang besarnya tiga kepalan tangannya.
Tangan keriput nenek tua mendorong tubuh kurusku menyusul langkah si ibu muda. Aku besusaha meraih tangan ibu tua kemudian menggigitnya, tapi jitakan berkali- kali di kepalaku bikin aku menyerah juga.
Riuh suara terkikik sejumlah ibu yang mengerumuni gerobak sayur depan rumah para penyiksaku. Badan kecilku yang sawo matang, di bawa ibu tua ke atas gerobak sayur. Tak indah muka dan badanku di pandang barangkali waktu itu. Kulit tubuhku yang warna sawo matang mesti di adu dengan riasan warna putih di mukaku.
“Karina pulang larut sekali semalam. Dia di antar pria ,” ibu muda mengawali percakapan.
“Ah masa?. Aku kira dia gadis pendiam yang tidak neko- neko ,” ibu berambut sebahu menyahut sambil jari- jarinya memasukkan kepingan kerupuk ke dalam kantong kresek.
“Ah, bu RT ini. Saya dan anak saya lihat sendiri malam itu lewat jendela kamar ,” ibu tua mencubit pahaku manakala aku hendak buka mulut. Aku diam menahan sesak di dada.
“Diam- diam bikin hanyut itu si Karina ,” ibu berkerudung merah jambu seperti mengamini arah pembicaraan ibu tua dan putrinya.
“Sopan sih. Tapi ya, luarnya saja tuh sepertinya. Hahaha ,” Ibu berambut keriting panjang menambahkan pewarna kelopak mata warna hijau tua di mukaku.
“Ah, saya sih belum percaya. Bisa saja Karina pulang malam karena suatu alasan, bukan karena dia macam- macam ,” wanita yang di panggil- panggil bu RT menghapus perona mata itu di mukaku. Aku tersenyum padanya. Dia penyelamat atas rasa maluku.
“Yah. Ada benarnya juga. Karina begitu sopan, dia jarang keluar rumah kecuali keperluan mendesak ,” ibu kerudung merah jambu melepas satu kawat di rambutku.
“Mereka kelihatan mesra sekali malam itu. Apa itu bukan tanda? ,” ibu tua mengoles perona kelopak mata warna oranye kali ini. Aku menjerit. Di jitaknya kepalaku dua kali.
Sibuk ibu muda, ibu tua dan ibu- ibu lainnya memilah ikan dan sayur yang bakal di bayar. Aku kedinginan dan telanjang, di lupakan begitu saja di atas gerobak.
Lama. Para ibu itu melenggang pergi satu- satu termasuk dua penyiksaku itu. Kakiku hendak turun dari gerobak. Belum sampai, tangan bu RT menyambar lenganku. Lembut, dia gandeng aku sambil tangannya yang lain menenteng belanjaan.
Sampai di rumah. Aku di dudukkan bu RT di kursi ruang tamu. Ia meninggalkan aku agak lama di ruang tamu. Bau masakan tercium dari tempatku duduk. Bau masakan itu tetap mengepul ketika bu RT membawa kapas dan air di tangannya menuju ruang tamu.
“Tega sekali mereka ngomong macam- macam soal Karina. Benar atau tidak asal Karina tak sampai racuni otak anak- anak mereka, apa urusan mereka? ,” ucapnya sambil mengusapkan kapas basah di pipiku yang penuh riasan.
Separuh mukaku terbebas dari riasan tapi bu RT buru- buru pergi ke pintu depan untuk menyahuti tamu yang datang. Siapa yang datang? Nyoya Laras yang datang.
“Kurang berapa kali cicilan baju muslim saya bu? ,” Nyonya Laras duduk di kursi ruang tamu tanpa di persilahkan.
“Kurang dua kali bu ,” bu RT buru- buru menyusul Nyoya Laras yang duduk.
Nyonya laras mengeluarkan lembaran- lembaran uang kemudian segera pamit dan keluar rumah. Ia membawa aku. Lenganku di cengkeram kasar.
Baru tiga langkah meninggalkan pintu, Nyonya Laras mengoles bedak putih tebal lagi di separuh wajahku yang tadinya sudah di bersihkan oleh bu RT. Nyonya Laras juga balik badan menghampiri bu RT yang baru saja hendak menutup pintu.
“Bu, benar ya?. Si Karina anak bu Joko itu sekarang mulai neko- neko? ,”.
“Ah. Saya tidak berani komentar Bu Laras ,” bu RT tersenyum lembut di sambut raut sebal dari Nyonya Laras. Nyonya Laras menarik aku. Ini awal siksaan berat yang baru.
Nyonya Laras membawa aku ke sebuah warung. Di dudukkannya aku di etalase toko.
“Beli apa Nyah? ,” sapa pria paruh baya dari balik etalase.
“Telur seperempat kilo Mas Kri ,”
“Eh, Nyah. Sudah dengar soal Karina?. Anak bu Joko yang kuliah di kampus X itu loh.. ,” laki- laki yang namanya mas Kri itu mulai mengambil satu telur dari bawah meja.
“Dia mesra sekali dengan pria yang mengantar pulang larut malam itu ,”
“Hah? Mesra bagaimana toh Nyah? ”
Nyonya Laras menebalkan perona oranye di pipi kananku.
“Tahulah anak muda sekarang, gandeng tangan sudah jadi hal biasa ,”
“Wah, hati- hati kebablasan tuh. Malah waktu berboncengan, si Karina juga mrangkul perut pemuda itu erat- erat ,” yang di balik etalase mengambil pemberat untuk menimbang telur. Setelahnya, dia oleskan perona oranye di pipi kiriku.
Aku ingin teriak sekerasnya, tapi serak suaraku. Tidaaaaak! Tidaaaaak! Bukan begitu! Bukan begitu Karina! Yang kalian ceritakan itu bukan Karina. Mereka terkekeh- kekeh seperti telinga mereka sudah di sumpali kain- kain beludru biar  tak dengar apa ucapku.
Di bawanya kantong kresek isi telur itu oleh Nyonya Laras. Aku di campakkan bersama pria paruh baya di balik etalase.
Badanku di junjung tinggi- tinggi. Mas Kri pria itu di panggil. Ia begitu senang melihat tubuhku di genggamnya.
“Telur seperempat kilo Mas Kri ,” suara nenek berambut tipis membuyarkan rasa senang Mas Kri.
“Iya Mbah.. ,” Mas Kri dengan senyum terlebar mulai memindahakan telur ke timbangan.
“Mbah sudah dengar kalau Karina sekarang neko- neko? ,” Mas Kri tangannya tetap sibuk memindahkan telur ke timbangan.
“Tahu dari mana Mas? ,”
“Dari orang- orang. Siang malam, tidak kenal waktu, Karina berbocengan dengan seorang pemuda. Di rangkul mesra perut pemuda itu tiap mereka berboncengan ,” mas Kri menebalkan perona bibirku dengan warna merah.
Nenek yang ada di depan mas Kri cuma tersenyum tipis.
“Berapa mas Kri? ,”
“Biasanya lah.. ,” Mas Kri ketus.
Nenek itu mengeluarkan lembaran uang di dompetnya. Di hapusnya sedikit perona di pipi kiriku. Ia pergi dengan menenteng kantong kresek isi telur.
Aku bersorak. Tak ada cerita lagi soal Karina. Cerita itu berhenti pada Mas Kri yang mendengus sebal memandang Nenek pembeli telurnya barusan mulai berjalan meninggalkan halaman warung. Aku terbahak keras. Mas Kri menjitaki kepalaku.
Di campakkannya aku di atas etalase toko. Nelangsa aku sendirian disana, mau turun pun tempat ini tingginya minta ampun buatku. Tubuhku yang telanjang aku rapatkan dengan tangan. Tak tahu aku apa yang hendak terjadi setelah ini. Tebal tipisnya riasanku pun aku tak tahu bakal kapan terjadi. Yang aku tahu, Karina bukan apa yang mereka kata.
Karina pulang di antar Aji, teman sekampusnya. Karina menunggui teman perempuannya yang jatuh dari tangga hingga hilang kesadaran mulai sore hari sepulangnya dari kampus. Temannya itu tak kunjung bangun sampai dini hari, hingga akhirnya Aji, teman laki- laki yang turut menunggui menawarkan Karina untuk di antar pulang karena hari sudah terlalu larut dan teman yang lain pun sanggup menunggui.
Lalu aku?. Aku lah kabar burung yang dirias tebal biar Karina tampak menarik diceritakan. Punya daya apa aku?.

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!