Motor biru melaju. Muka si pengemudi
merah, berpeluh, kosong matanya. Laju motornya lambat makin melambat. Dua detik
kemudian, motor biru itu melintas samping gadis dengan rok panjang hitam dan
motor merahnya.
Gadis itu menoleh. Matanya tertuju
antara roda depan dan belakang motor biru yang ada di sampingnya. Standar motor
itu setengah berdiri, hampir menyentuh aspal. Lama. Motor merah dan biru itu
berjalan beriringan. Mata si gads makin lebar mengamati standar motor biru yang
makin dekat dengan aspal.
Pikiran si gadis jadi macam- macam. Ia
bayangkan standar motor itu benar menyentuh aspal. Pastilah motor sekalian
pengemudinya berguling hebat di aspal. Pikiran- pikiran buruk gadis itu terus
berguling dalam otaknya. Tapi, tangan kanannya malah memutar gas kearah belakang.
Motornya bergerak maju, meninggalkan motor biru dan pengemudinya yang makin
jauh tertinggal di belakang punggungnya.
Motor merah sekalian si gadis hampir
menghilang dari garis jalan yang di kiri kanannya berjajar rumah toko. Jauh
dari garis jalan itu bukannya membikin pikiran buruk si gadis beranjak pergi.
Makin riuh pikirannya dengan bayangan manakala standar motor biru pemuda tadi
menggaruk aspal. Pastilah pengemudinya jatuh, terseret, berputar dan terlempar.
Suara klakson motor lain tepat di
belakang si gadis memecah lamunannya. Kemudi di tangan kiri dan kanannya mulai
meliuk tajam tanpa tentu arah berbarengan dengan
senggolan keras benda berat
dari belakang motor sebanyak dua kali. Tubuh dan motor si gadis makin miring ke
kanan. Menyentuh aspal. Berputar dua kali. Terlempar kedepan. Kaca helm si
gadis terbuka. Matanya terpejam. Dua tanganya masih menempel pada kemudi.
Gelap. Tusukan jarum infus membuat
nyeri lengan gadis pengemudi motor merah yang menggaruk aspal siang tadi. Ia
membuka mata kirinya pelan- pelan.
“Kamu di Rumah Sakit Umum Mbak... ,”
perawat muda menyambut mata si gadis yang baru terbuka. Belum usai perawat bicara,
suara kaki yang menerobos selambu hijau penyekat ruangan sudah memecah
heningnya suasana.
“Selamat sore. Saya dari Koran X Post.
Benar anda saudari Erma? ,” Pria usia 37 tahunan dengan tanda pengenal pers di
dadanya terus mengeluarkan kata- kata tanpa perduli napasnya yang tersengal
akibat langkahnya yang buru- buru tadi.
Mengangguk sopan. Tak ingin mengganggu,
perawat muda keluar dari ruangan bersekat kelambu hijau.
“ Ya. Saya Erma ,” gadis itu mengangguk
lemah sambil menahan nyeri pangkal lengannya.
“Boleh saya mengobrol sebentar? ,”
“Oh tentu ,” Erma berusaha menegakkan
kepalanya.
“Usia anda? ,”
“19 ,”
“Kuliah? ,”
Ya. Semester 4 pak ,”
“Di? ,”
“Universitas Y ,”
“Bagaimana kejadian yang Mbak alami
hingga akhirnya berada disini? ,”
“Ada suara klakson yang sangat
memekakan telinga dari belakang motor saya. Agaknya pengemudi yang membunyikan
klakson itu hendak beri peringatan pada saya agar segera menghindar oleh karena
sesuatu, tapi terlambat. Benda keras menghantam belakang motor saya. Saya
miring kekanan dan berputar dua kali kemudian terlempar ,”
Pria itu mengucap terimakasih. Tangan
kanannya menyalami Erma. Ia pergi bersama tanda pengenal persnya. Erma
memejamkan mata lagi.
Sisi kiri ruangan bersekat itu mendadak
riuh. Erma membuka sedikit mata kirinya.
“Motor biru pemuda itu hancur setelah
menabrak motor lain yang ada di depannya.
Si pemuda tewas di tempat ,” wanita
dengan suara berat menguasai awalan percakapan. Gemerincing mangkuk perak wadah
air bersahutan.
“Ya. Motor yang di tabrak pemuda itu
langsung rubuh dan menabrak motor lain yang ada di depannya. Begitulah
seterusnya. Untunglah korban tewas hanya pemuda itu seorang ,” suara wanita
lain menyusul.
“Standar motor biru milik pemuda yang
tewas itu belum di lipat waktu kecelakaan beruntun ini terjadi kata polisi ,”
“Mahasiswi yang ada di kamar sebelah
itu adalah korban terakhir dari kecelakaan beruntun itu bukan?. Beruntung motor
gadis itu tidak menggaruk pengguna jalan lain yang ada di depannya ,” jari si
penutur menunjuk kamar bersekat tempat Erma terbaring.
“Ya. Beruntung.. ,”
Erma diam. Dua matanya sekarang
melotot. Pemuda yang lupa melipat standar motor birunya itu, sempat melintas
samping motor Erma. Tapi dia diam.
“Pembunuh.. ,” bisiknya pelan diikuti
teriakan yang tidak jelas apa maknanya hingga mengundang orang di sekitar ruang
bersekat itu berdatangan.
TAMAT
Bagus banget cerpennya.
ReplyDeleteDi bagian ending, si mahasiswi bilang "pembunuh" ke dirinya sendiri bukan? Mungkin karena dia enggan memberi tahu si pemuda kalau standard motornya belum dilipat, padahal dia melihat.. (?)
Hehe
Ini cerpen mesti diremake. Cerpen lama. Berantakan banget. Thanks Anonim sudah ingatkan saya kalau banyak PR hehe...
Delete