Tuesday, May 6, 2014

Jagal Ayat


                       Benderang. Kami di hempas lembut dari langit terang menuju bola tanah raksasa warna biru. Dua tanganku meremas erat tangan sesamaku di kanan dan kiri seperti takut kalau- kalau guncangan yang menyakitkan muncul. Nyatanya, cuma hentakan seperti kaki anak- anak yang muncul dua atau empat kali dalam perjalanan kami.
                       Cahaya putih tersaji makin mendekat depan muka kami. Nyalanya membuat mata kami berair hingga semua dari kami memaksa diri menutup mata.
                       Waktu bangun, tangan empuk yang sangat lembut memeluk kami semua. Kuputar kepalaku kesekitar. Disekitar cuma ada bau air dan batu. Tangan yang menyambut sejak kedatangan makin erat memeluk kami. Kami merasa damai.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Damai nyatanya tak cukup lama hinggap. Aku melihat seperempat dari rombongan kami menghilang dibalik jantung pemilik tangan empuk nan lembut yang menyambut kami tadi. Makin erat dua tanganku menggenggam tangan sesamaku yang ada di kiri dan kanan. Nyala sinar di sekitar makin redup.
                       Jantung itulah rumah kami.
                       Gelap. Aku membuka mata. Selebarnya. Sekuatnya. Namun tetap gelap.
                       Berusaha kugerakkan dua tanganku. Aku melihat sisi kiri dan kanan. Dua sesama yang sejak keberangkatan kugenggam erat tanganya sudah tidak ada. Mereka
hilang. Satu tangan lain yang hangatnya tidak melebihi hangatnya tangan pertama yang menyambut kami sudah membawa mereka kebalik jantungnya. Tangan itu sibuk menggores sesuatu pada daun- daun.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Jantung dan daun- daun itulah rumah kami.
                       Aku merasa sendirian. Mengapa aku di tinggalkan?.
                       Melayang aku dibawa angin. Sisa rombongan yang lain ternyata juga banyak yang melayang di udara. Mereka ke utara, barat, dan selatan. Sedangkan aku melayang tanpa mauku sendiri kearah timur.
                       Sepanjang jalan, aku melihat banyak sesamaku di rengkuh tangan- tangan hangat meski tak sehangat tangan pertama dan kedua yang menyambut kami datang awal tadi. Sesamaku hilang di balik jantung tangan- tangan cukup hangat yang meraih mereka sepanjang jalan kami melayang. Tangan- tangan itu tampak sibuk menggores sesuatu di daun, batu dan batang kayu.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.      
                       Jantung, daun, batu dan batang kayu itulah rumah kami.
                       Rombongan kami makin sedikit. Kami melintasi laut. Tak ada tangan sejauh ini. Ingin rasanya aku berjalan semauku mencari tangan yang mau merengkuh aku. Sayang, lumpuh kakiku. Cuma angin yang bisa di andalkan menggulir perjalananku biar tetap maju kedepan.
                       Tiba kami di pinggiran pasir yang berair. Rombongan kami berkurang lagi. Lebih banyak tangan meraih sesamaku yang kemudian memasukkan mereka ke dalam jantungnya. Tangan ini tak lebih hangat dari tangan mereka yang sibuk menggores sesuatu di daun, batu dan batang kayu sebelum kami melintasi laut. Tangan- tangan ini sibuk menggores sesuatu di atas lembaran tipis kulit kayu warna coklat.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Jantung dan lembaran tipis kulit kayu warna coklat itulah rumah kami.
                       Lagi. Tak ada tangan yang mau meraih aku. Angin membawa kami yang
tersisa membumbung lebih tinggi melewati daun- daun pohon kelapa. Daun, dahan dan kepala hitam semut- semut menunduk teduh memandang kami lewat.
                       Angin lebih keras membawa kami. Aku sampai tidak lagi bisa melihat sekeliling karena yang terlihat cuma kilat putih dan bau debu bercampur angin.
                       Kami menabrak dinding kayu. Keras, dingin dan kusam.
                       Rombongan kami berkurang lagi. Tangan- tangan yang lebih banyak jumlahnya dari yang menggores sesuatu di lembaran kulit kayu mulai meraih sesamaku yang tersisa satu- satu ke permukaan jantung mereka. Tangan- tangan itu hambar. Tidak dingin, tidak panas dan tidak hangat. Dengan menyeret kaki, aku berusaha menarik salah satu tangan yang barangkali mau meraih aku bila tahu aku tengah sendirian. Tapi angin menjauhkan aku dari dinding kayu itu.  Dari jauh aku melihat tangan- tangan yang barusan menangkap sesamaku sibuk menggores sesuatu di atas lembaran putih bernama kertas.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Permukaan jantung dan lembaran putih bernama kertas itulah rumah kami.
                       Kami melayang lagi. Angin menampar tubuh kami ke atas sebuah kubah. Lantunan kalimat indah mengalir dari puncak kubah. Tak asing kata- kata itu bagi kami. Kalimat itu sering kami dengar hingga hafal bahkan sebelum kami di hempas ke dalam bola tanah raksasa warna biru ini. Kalimat indah pujian untuk Tuhan.
                       Tangan- tangan muncul. Jauh lebih banyak dari tangan yang meraih sesamaku di dinding kayu. Tangan- tangan itu panas, di raihnya sesamaku ke permukaan jantung mereka. Tubuhku tak tersentuh mereka namun kulitku rasanya seperti terbakar.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       Sesamaku yang tertangkap melotot menahan panas. Aku maupun mereka
seperti hendak teriak. Namun, ketika aku merogoh rongga mulutku, barulah aku sadar bahwa kami tidak punya daging lentur yang namanya lidah.
                       Angin datang lagi. Badanku melayang lagi. Kali ini bersama daun kering, debu, dan kotoran hewan.
                       Dari jauh. Aku melihat tangan- tangan panas tadi menggores sesuatu diatas kertas putih. Bukan dengan tangan mereka. Tapi, menggunakan mesin besar bersuara keras yang membuat kertas- kertas itu dalam goresan serupa.
                       Permukaan jantung dan kertas- kertas dalam goresan yang sama itulah rumah kami.                      
                       Aku dan sisa rombongan melayang lagi. Lama. Kami menabrak sebuah dinding kaca. Besar, tinggi, bagian teratasnya hilang ditimbun awan.
                       Suara gaduh mendadak menggaruki kupingku. Tangan- tangan yang jauh lebih panas adanya daripada yang ada di kubah menarik badan sesamaku.
                       “Kitab suci! ,”
                       “Ayat suci! ,”
                       “Demi Tuhan ,”
                       “Menangkanlah aku!,” jerit pemilik tangan- tangan panas itu berulang- ulang.
                       Kasar. Leher sesamaku di cengkeram. Mereka di lempar ke meja-meja bundar dan kursi- kursi besar berbantal.
                       Ini kali pertama aku benar- benar tak berharap ada yang meraihku. Tangan- tangan yang saat ini gaduh menyeret kasar badan sesamaku adalah siksa. Aku tahu.
                       Nyatanya. Satu tangan panas ternyata meraih badanku. Kulit mukaku mengelupas. Leherku berdarah- darah. Di lemparnya aku ke meja besar berbentuk lingkaran.
                       Si empunya tangan bersorban dan berbaju putih.
                       “Emas! ,”
                       “Bunuh hak! ,”
                       “Emas! ,”
                       “Bunuh hak! ,”
                       “Kitab suci .”
                       “Ayat suci ,”
                       “Demi Tuhan! ,”
                       “Menangkanlah aku! ,” Lenganku jadi biru. Dicengkeram oleh dia si peraihku. Dia teriak soal dunia, aku, Tuhan dan kemenangannya. Aku di dorong tepat ke muka pemilik tangan yang lain.
                       Pemilik muka yang lain meneriakkan hal yang serupa. Sesamaku yang ditangkap olehnya dilempar balik tepat ke muka peraihku.
                       Terus begitu. Dijadikan kami senjata untuk saling lempar antar muka.
                       Kami tak punya lidah. Hati kami yang teriak sebut- sebut nama Tuhan.
                       Tuhan kami..
                       Tuhan kami..
                       Dihempas kami.
                       Dilempar kami.
                       Dibuat kami berdarah- darah.
                       Tak diberi kami barang sebuah rumah. 
                       Mereka sebut kami.
                       Mereka sebut kitabMu.
                       Mereka sebut asmaMu.
                       Demi mereka menang.
                       Beri ampun mereka Tuhan..

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!