Friday, March 6, 2015

Rumah (Bagian 1)


Aku baru duduk tiga puluh detik. “Mobilnya datang!” mereka menerobos masuk sambil bersiap mengangkat semua tas punyamu.
Badanmu lemas. Tapi, kamu masih saja menggenggam bolpoin pinjaman dan beberapa lembar kertas. Isinya puisi. Barangkali.
Aku kelewat takjub waktu melihat kamu. Kamu ringkih. Jiwamu sudah mengawali keringkihanmu. Rangkaian ucapan terimakasih buatmu tercecer, sejak aku sampai di depan pintu.
“Hei. Terimakasih sudah membuat aku lebih menata niat untuk menulis!” mestinya itu yang aku ucap.
Kamu sangat hati- hati bergerak. Kamu menutupi badanmu yang gemetar. Kamu menahan mual dan sakit.
Aku fokus bercerita ini itu. Hal- hal yang aku paksa, bisa bikin kamu tersenyum atau tertawa untuk beberapa detik.
Berhasil. Kamu tersenyum tipis beberapa detik. Aku tahu, kamu cuma sedang bertoleransi. Kamu ingin aku segera berhenti berusaha membuat kamu tertawa. Kamu ingin aku segera pergi. Kamu ingin menutup mata tanpa boleh aku melihatnya.
Kamu adalah rumah bagi banyak orang. Kamu rumah mereka. Kamu rumahnya. Kamu rumah dia. Kamu rumahku. Tapi, kamu sendiri tidak pernah memiliki rumah.
Pulanglah. Naiki mobil itu. Jangan kembali, sebelum kamu mau sedikit merendah buat memeluk Bapakmu.
Pulanglah. Naiki mobil itu. Jangan kembali, sebelum kami sudah terbiasa untuk tidak selalu pulang pada kamu.
Kamu bakal jadi lebih hebat. Ketika kamu sudah menemukan rumah…
SELESAI

NB: Terinspirasi dari kutipan Anny Zahra M,”Dia adalah rumah bagi banyak orang. Tapi, dia sendiri tidak meiliki rumah”


No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!