Friday, March 6, 2015

Rumah (Bagian 2)


“Ayo!” Z mempersilahkan aku untuk duduk di boncengan motornya.
Z matanya sedih. Aku tahu kamu pasti ngerti. Bermenit- menit setelah kamu pergi naik mobil, dia tetap sedih. Tapi dia tidak menangis. Dia laki- laki. Laki- laki kebanyakan, yang tidak terlatih untuk menangis.
Kamu jahat. Kamu biasakan Z untuk selalu pulang pada kamu. Z menganggap kamu rumah. Dan selalu begitu!
Kamu pergi naik mobil. Z rasa, dia sudah kehilangan rumah. Kamu tahu apa rasa kehilangan rumah?
Z takut kena panas. Z takut kena hujan. Z kelewat terbiasa, tidak kena panas dan hujan. Karena kamu, adalah rumahnya. Rumah yang membuat dia lupa bagaimana rasa ketika terkena panas dan hujan.
“Z aku lupa bilang pada dia. Aku berterimakasih. Karena dia, aku jadi lebih niat untuk menulis,” Z meilirik aku dari spion. Kemudian, dia buru-buru kembali melihat kearah depan.
“Nanti juga dia bakal kembali. Katakan saja waktu dia kembali lagi,” ucapan Z kedengaran tidak meyakinkan. Bukan berarti dia bohong soal ucapannya. Tapi, Z suaranya kelihatan takut. Takut menghadapi panas dan hujan selama kamu belum kembali.
“Oke. Baiklah,” suaraku selalu ceria. Padahal, aku kecewa penuh karena ucapan terimakasihku pada kamu tercecer begitu saja.
Kami diam. Aku melihat ke kiri dan kanan. Memberi kesempatan buat Z untuk mengendalikan napas dan ketakutannya.
“Dia guru yang hebat. Bukan begitu?”
Z menarik napas dalam- dalam. Dia seperti bersiap untuk bicara banyak tanpa jeda napas.
“Dia memang guru yang hebat. Dengan ilmu psikologinya dia bisa…” Z terus bicara. Inti pembicarannya sama. Bahwa kamu. Adalah guru yang hebat.
Aku mengalihkan pandanganku ke sisi kiri. Aku berkali- kali cuma mengiyakan ucapan Z.
SELESAI

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!