Merupakan Nominasi 26 Cerpen Terbaik sebuah sayembara menulis nasional, 06 April 2015.
“Baba melindungi aku dari Mama!” Jingga menggeliat di atas kasur rumah sakit. Kaki dan tangannya di ikat di tiap ujung kasur.
“Baba melindungi aku dari Mama!” Jingga menggeliat di atas kasur rumah sakit. Kaki dan tangannya di ikat di tiap ujung kasur.
***
Jingga mengamati wajah Baba. Wajah Baba tirus. Alisnya tebal. Kulitnya lebih cerah daripada Jingga. Untuk seorang laki- laki, wajah Baba kelihatan kelewat lembut.
Dimana aku mengenal Baba? Kepala Jingga berdengung.
Dimana aku mengenal Baba? Jingga mengulang pertanyaan yang sama dalam batinnya. Kepalanya sekarang sepertidi remas.
Ada yang tidak beres dengan kepalanya setiap dia berusaha mempertanyakan kapan dia mengenal Baba.
***
“Papa. Siapkan makan juga untuk Baba…,” Jingga berbisik lemah. Johan cuma mengangguk. Dia menjaga perasaan Jingga.
Siapa Baba? Jingga selalu menyebut namanya dua minggu belakangan Johan selalu berpikir keras tanpa berani bertanya ketika Jingga mulai menyebut nama Baba.
***
“Tidur! Tidur! Kamu cuma bisa tidur!” Martini. Ibu Jingga. Dia mengambil mangkuk air yang ada di atas meja. Mangkuk itu hendak di lemparkan kearah Jingga. Baba mendorong Martini hingga menabrak pintu. Mangkuk terlempar dekat pintu hingga pecah.
Jingga cuma diam. Dua tangannya meremas selimut. Matanya kelihatan tegang.
Johan. Papa Jingga. Dia bersandar lemas di depan pintu. Matanya merah. Kemejanya kelihatan kumal.
“Martini! Aku mohon berhentilah! Lima belas menit saja aku mohon. Aku lelah sekali Martini. Jingga jadi seperti itu karena kamu Martini,” badan Johan merosot hingga terduduk. Dua tangannya menjambaki rambut.
Aku jadi seperti itu? Apa maksud Papa? Jingga gagal mencerna kata- kata Johan.
“Om. Biar saya bawa Jingga keluar rumah,” Johan tidak memandang atau menanggapi ucapan Baba. Baba meraih badan Jingga. Baba menggendong Jingga ke teras rumah. Mata Jingga sedikit cair setelah badannya diraih Baba. Dia merasa aman.
Dari teras kedengaran Johan dan Martini saling berteriak. Napas Jingga mulai berkejaran. Kelopak matanya sudah penuh dengan air.
***
Johan mengangguk lemah. Para tetangga mulai bubar. Garis polisi di pasang di sekeliling rumah.
“Ini karena baby blues Pak polisi…,” Johan mencengkeram pundak polisi yang menanyainya.
“Tenang Pak. Bisa Bapak jelaskan lebih lanjut di kantor,”
***
Selengkapnya dapat dibaca pada antologi 26 cerpen terbaik sebuah sayembara cerpen nasional di bawah ini.
Lomba yang saya maksud, adalah lomba yang diadakan oleh Forum Sastra Bumi Pertiwi (FSBP). Tidak seperti lomba lain yang sudah nampak ganjil di depan. FSBP makin menampakkan keganjilannya justru saat distribusi buku bersama Be Book Publisher. Antara penyelenggara dan penerbit indie yang ditunjuk, saling lempar tanggung jawab. Ternyata, penyelenggara dan penerbit yang ditunjuk, hanya mengincar naskah para peserta. Kerjasama dengan penerbit indie Be Book, tidak sedari awal diketahui peserta.
Kaver buku antologi 26 cerpen terbaik sebuah sayembara nasional. |
Judul : Menetau Genre : Kumpulan Cerpen Penulis : Ahmad Ijazi H, dkk
Tebal : 191 halaman Ukuran : 14X20 cm ISBN : 978-602 0855-07-3Untuk membaca cerpen secara gratis, klik (disini).
Lomba yang saya maksud, adalah lomba yang diadakan oleh Forum Sastra Bumi Pertiwi (FSBP). Tidak seperti lomba lain yang sudah nampak ganjil di depan. FSBP makin menampakkan keganjilannya justru saat distribusi buku bersama Be Book Publisher. Antara penyelenggara dan penerbit indie yang ditunjuk, saling lempar tanggung jawab. Ternyata, penyelenggara dan penerbit yang ditunjuk, hanya mengincar naskah para peserta. Kerjasama dengan penerbit indie Be Book, tidak sedari awal diketahui peserta.
Ini cerita horor??
ReplyDeleteatau dibikin seperti horor??
lebih ke triller,Mas :) dengan bumbu ilmu kejiwaan.
ReplyDeletekalau horror,aku kurang srek untuk nulisnya.
semoga antologinya segera jelas,kapan terbitnya :) jadi, Mas bisa bisa baca selengkapnya.