Merupakan Nominasi 26 Cerpen Terbaik sebuah kompetisi tingkat nasional, 06 April 2015.
Tentang Baby Blues, klik http://semangkaaaaa.blogspot.com/2015/04/baby-blues.html
'Baby Blues' Wujud Kekecewaan Kepada Teman-Teman penulis yang Asal Comot Istilah Psikologi, klik http://semangkaaaaa.blogspot.com/2015/02/baby-blues-sebuah-cerpen-wujud.html
'Baby Blues' Wujud Kekecewaan Kepada Teman-Teman penulis yang Asal Comot Istilah Psikologi, klik http://semangkaaaaa.blogspot.com/2015/02/baby-blues-sebuah-cerpen-wujud.html
Baby Blues
Oleh:
Poppy Trisnayanti Puspitasari
17 Januari…
Jingga
memeluk buku tebal warna hijau dengan sampul bertulis Sybil. Badannya gemetaran. Rambutnya lepek. Minyak dan ketombe
melapisi hampir seluruh rambutnya yang sebahu. Dua pipinya dipenuhi jerawat.
Matanya kelihatan ketakutan dan kikuk.
“Sa…
saya mau mengembalikan buku,” Jingga meletakkan buku dan kartu anggota di meja
petugas perpustakaan.
“Kamu
baik- baik saja?” perempuan usia tiga puluhan yang menjadi petugas mengamati
Jingga dari ujung kepala hingga kaki.
Jingga
menggeleng. Dia buru- buru menarik kartu anggotanya setelah si petugas mencatat
bukti pengembalian.
Baru
dua langkah. Badan Jingga makin gemetaran. Kakinya lemas. Badannya jatuh. Si
petugas perpustakaan berdiri memastikan. Dia kembali duduk, setelah beberapa
orang mengerumuni dan berusaha menyadarkan Jingga.
“Jingga!”
suara Baba mulai kedengaran. Tipis. Berulang. “Jingga!” suara Baba makin keras.
Jingga tergagap. Kepalanya sangat sakit. Matanya terbuka pelan- pelan.
“Ba…
Baba… aku kenapa?” Baba meletakkan kain basah di kening Jingga.
“Suhu
badanmu tinggi Jingga. Kamu sempat hilang kesadaran,” tangan kiri Jingga
berusaha menggapai meja kecil di samping kasurnya. Dia meraih kaca rias yang
besarnya hampir dua kali telapak tangannya.
“Jingga
jangan banyak bergerak. Badanmu masih sangat lemah,”
“Aku
hanya…,” Jingga tidak melanjutkan ucapannya. Gemetaran. Dia meletakkan kaca itu
hingga pantulan mukanya mulai kelihatan. Jingga menarik kemudian melepas
napasnya cepat- cepat. Dia kelihatannya lega setelah melihat pantulan mukanya
di kaca.
Tidak
ada rambut lepek berminyak yang dipenuhi ketombe. Tidak ada jerawat menjijikkan
yang memenuhi dua pipinya. Tidak ada mata ketakutan. Cuma ada Jingga. Rambut
lurus sebahu. Wajah bersih dengan kulit kuning langsat. Mata bulat kelihatan
percaya diri.
“Kamu
kenapa Jingga?” Baba mengambil kain di kening Jingga yang mulai kering. Kain
itu di masukkannya dalam mangkuk berisi air. Baba mengangkat kain itu kemudian
memerasnya sebentar. Kain itu diletakkan di kening Jingga setelahnya.
“Tidak
ada. Aku cuma mimpi buruk Ba…,”
Brak!
Pintu
kamar dibanting hingga terbuka.
“Tidur!
Tidur! Kamu cuma bisa tidur!” Martini. Ibu Jingga. Dia mengambil mangkuk air
yang ada di atas meja. Mangkuk itu hendak di lemparkan kearah Jingga. Baba
mendorong Martini hingga menabrak pintu. Mangkuk terlempar dekat pintu hingga
pecah.
Jingga
cuma diam. Dua tangannya meremas selimut. Matanya kelihatan tegang.
Johan.
Papa Jingga. Dia bersandar lemas di depan pintu. Matanya merah. Kemejanya
kelihatan kumal.
“Martini!
Aku mohon berhentilah! Lima belas menit saja aku mohon. Aku lelah sekali
Martini. Jingga jadi seperti itu karena kamu Martini,” badan Johan merosot
hingga terduduk. Dua tangannya menjambaki rambut.
Aku jadi seperti itu? Apa maksud
Papa? Jingga gagal mencerna kata- kata Johan.
“Om.
Biar saya bawa Jingga keluar rumah,” Johan tidak memandang atau menanggapi
ucapan Baba. Baba meraih badan Jingga. Baba menggendong Jingga ke teras rumah.
Mata Jingga sedikit cair setelah badannya diraih Baba. Dia merasa aman.
Dari
teras, kedengaran Johan dan Martini saling berteriak. Napas Jingga mulai
berkejaran. Kelopak matanya sudah penuh dengan air.
“Lupakan
saja Jingga. Ada aku sekarang,” Baba memeluk Jingga dari samping. Jingga
meredam air matanya yang hampir jatuh cepat- cepat. Badan Baba didorong sedikit
menjauh setelahnya.
Jingga mengamati wajah Baba. Wajah Baba tirus.
Alisnya tebal. Kulitnya lebih cerah daripada Jingga. Untuk seorang laki- laki,
wajah Baba kelihatan kelewat lembut.
Dimana aku mengenal Baba?
Kepala Jingga berdengung.
Dimana aku mengenal Baba?
Jingga mengulang pertanyaan yang sama dalam batinnya. Kepalanya sekarang
sepertidi remas.
Ada
yang tidak beres dengan kepalanya setiap dia berusaha mempertanyakan kapan dia
mengenal Baba.
“Jingga?”
Baba menyentuh punggung tangan Jingga. Secara tidak sadar, Jingga meletakkan
tangan kanannya di atas kepala sambil berkali- kali meremasnya. Jingga merasa
sakit yang lumayan menggangu di kepalanya.
Jingga
menggeleng. “Baba… dimana kita pertama bertemu?” mata Baba kelihatan terluka.
“Kamu keberatan menjawab? Baik, tidak usah saja kalau begitu,” Jingga
memalingkan mukanya.
“Tidak apa- apa,” Baba tersenyum
memaksa. Tangannya mengelus kepala Jingga.
“Kita mulai berkenalan dari pembatas
novel yang kamu sewa dari perpustakaan kota. Kamu ingat?”
“Novel Sybil?”
“Tepat Jingga. Kamu lupa mengambil
pembatas buku punyamu ketika mengembalikan novel itu ke perpustakaan,”
“Lalu kamu menghubungi nomor telepon
yang tertera dalam pembatas buku itu?”
“Iya. Karena aku merasa… jarang
orang yang menggemari novel nonfiksi semacam Sybil,”
“Banyak orang akan merasa ngeri ketika membaca Sybil. Tidak akan ada yang percaya
seorang Mama bisa melakukan hal semenjijikkan itu pada putrinya. Setiap hari
dia selalu menyiksa Sybil. Tapi aku tidak terkejut waktu membaca buku itu. Kamu
tahu Mamaku Ba… meski tidak seburuk Mama Sybil tapi dia…,” Jingga mulai
sesenggukan.
“Ada aku sekarang… kamu tidak
semestinya terus ketakutan begini Jingga,” Baba meletakkan tangan Jingga di pipinya.
Suara pecahan piring mulai
bersahutan dari dalam rumah. Johan berlari keluar rumah. Menuju teras.
“Jingga! lari Jingga!” Johan
berteriak. Martini membawa pecahan piring. Dia berlari menuju teras. Johan
sudah berlari ke seberang jalan. Martini matanya kelihatan sangat marah. Dia
melirik Jingga. Jingga dan Baba tetap berada di tempat.
“Semua gara- gara kamu Jingga!”
Martini hampir saja menusuk pecahan kaca itu pada leher Jingga. Baba menyeruduk
perut Martini. Martini jatuh terlentang. Pecahan kaca di genggamannya terlempar
tepat di kaki Baba.
Baba maraih pecahan kaca itu kemudian
menusukkannya ke leher Martini. Martini menjerit kemudian mulai berhenti
bernapas dan bergerak.
Jingga memeluk Baba dari belakang. Para
tetangga mulai berlarian mendekat di sekeliling teras. Johan menarik badan
Jingga.
“Berhenti! Jingga berhenti!” Jingga
mulai merasa basah dan lengket di kedua tangannya. Bau amis memenuhi hidungnya.
Dia menunduk. Dia lihat tangannya penuh darah. Pecahan piring ada di tangan
kanannya.
Jingga gemetaran hebat. Pecahan
piring itu dia lepas di lantai.
“Tidak! Baba tidak salah. Mama
selalu berlaku jahat padaku setiap hari. Papa tidak pernah membela aku seperti
Baba membela aku!”
“Jingga!” Johan mengguncang dua
lengan Jingga.
“Jangan masukkan Baba ke penjara Pa!
Jangan! Dia cuma membela aku. Dia temanku Pa!” Jingga menjerit. Dia terduduk di
lantai.
“Baba? Siapa Baba? Kamu selalu ngeyel bercerita soal Baba dua minggu
terakhir ini Jingga!”
Salah seorang lelaki bertubuh tambun
berinisatif memanggil ambulans dan polisi. Dia sibuk berbicara dengan
ponselnya. Dia adalah tetangga yang tinggal di samping rumah Jingga.
“Baba! Tolong aku Baba!” Jingga
menoleh ke sekeliling. Dia mencari Baba. Baba tidak ada!
Jingga berlari tehuyung menerobos orang-
orang yang berkerumun. Dia mengguncang pundak seorang perempuan yang rumahnya
ada di seberang jalan. “Baba! Apa Ibu melihat Baba? Dia laki- laki. Wajahnya
tirus, kulitnya putih, alisnya tebal,” perempuan itu menggeleng. “Tidak ada
laki- laki semacam itu sejak kami semua berkumpul disini Jingga,”
“Papa!” Jingga menjerit. Kembali dia
menerobos kerumunan. Dia mengambil pecahan piring yang ada di lantai. Dia
meraih kerah baju Johan. “Karena Papa! Karena Papa, Baba jadi pergi
meninggalkan aku!” Jingga hampir mengayunkan pecahan piring itu menuju leher
Johan. Dua lelaki muncul di antara kerumunan. Mereka berdua memegang lengan
Jingga. Jingga meronta hingga pecahan piring di tangannya jatuh lagi ke lantai.
Polisi datang. Jingga di borgol
kemudian dimasukkan dalam mobil polisi.
“Kami butuh keterangan Bapak. Apa
benar, Bapak adalah Bapak Johan?” polisi yang memiliki perut buncit dan
bertubuh paling pendek menggiring Johan kedalam mobil polisi yang berbeda.
Johan mengangguk lemah. Para
tetangga mulai bubar. Garis polisi di pasang di sekeliling rumah.
“Ini karena baby blues Pak polisi…,” Johan mencengkeram pundak polisi yang
menanyainya.
“Tenang Pak. Bisa Bapak jelaskan
lebih lanjut di kantor,”
***
Dokter
mulai menulis di atas sebuah buku catatan. Mata Johan dan Martini kelihatan
tegang.
“Istri
anda mengidap Baby blues. Agaknya
gangguan tersebut tidak diketahui selama tiga belas tahun hingga berlanjut
dengan depresi. Ngomong- ngomong berapa
usia putri semata wayang anda sekarang Pak?”
“Dua
bulan lagi, dia genap tiga belas tahun,” Johan mulai melirik Martini yang
kelihatan marah.
Dokter
mengangguk.
“Baby blues adalah gangguan emosi pada
seoarng ibu setelah melahirkan. Biasanya terbentuk karena tekanan ekonomi,
khawatir akan masa depan anak dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan si ibu
akan terus menerus merasa sedih dan menangis. Kalau berlanjut, bisa berujung
depresi, kekerasan dan kebencian terus menerus pada si anak,”
“Saya
suka memukuli Jingga karena dia nakal! Dia nakal!” Martini menerobos keluar
ruangan. Johan buru- buru berdiri.
“Istri
saya tidak gila!”
“Bukan
gila Pak… hanya depresi. Menurut data yang kami gali, istri Bapak suka
melakukan kekerasan psikis maupun fisik pada putri Bapak. Lama kelamaan, hal
ini bisa mengganggu juga pada jiwa putri Bapak. Saya sarankan, Ibu Martini
segera mendapat terapi,”
“Kau!”
Johan menunjuk wajah dokter. Napasnya berkejaran. Dia menggebrak meja kemudian
buru- buru menerobos keluar ruangan.
***
“Jadi
tiga tahun yang lalu, seorang psikolog sudah menyarankan agar Ibu Martini
mendapat terapi gangguan baby blues?”
Johan
mengangguk.
“Saya
mengabaikannya. Saya membohongi diri dengan mengatakan bahwa keluarga saya
baik- baik saja,” pipi Johan mulai basah.
***
17 Januari…
Jingga
memeluk buku tebal warna hijau dengan sampul bertulis Sybil. Badannya gemetaran. Rambutnya lepek. Minyak dan ketombe
melapisi hampir seluruh rambutnya yang sebahu. Dua pipinya dipenuhi jerawat.
Matanya kelihatan ketakutan dan kikuk.
“Sa…
saya mau mengembalikan buku,” Jingga meletakkan buku dan kartu anggota di meja
petugas perpustakaan.
“Kamu
baik- baik saja?” perempuan usia tiga puluhan yang menjadi petugas mengamati
Jingga dari ujung kepala hingga kaki.
Jingga
menggeleng. Dia buru- buru menarik kartu anggotanya setelah si petugas mencatat
bukti pengembalian.
Baru
dua langkah. Badan Jingga makin gemetaran. Kakinya lemas. Badannya jatuh. Si
petugas perpustakaan berdiri memastikan. Dia kembali duduk setelah beberapa
orang mengerumuni dan berusaha menyadarkan Jingga.
“Suhu
badan gadis ini panas sekali. Cari ponselnya. Hubungi Ayah atau keluarganya,”
Perempuan
berkacamata tebal berinisiatif merogoh saku baju Jingga. Ponsel Jingga di
temukan. Dia menelepon Johan.
Johan
datang tiga puluh menit kemudian. Jingga sempat hilang kesadaran beberapa
menit. Berkali- kali Johan mengucap terimakasih pada setiap orang yang membantu
Jingga. Johan memasukkan tubuh putrinya ke dalam mobil.
Jingga
di tidurkan Johan di atas kasur
setelah sampai dirumah. Johan meletakkan kain basah di kepala Jingga.
Setelahnya, Johan keluar kamar. Dia hendak menyiapkan makanan untuk Jingga.
“Papa.
Siapkan makan juga untuk Baba…,” Jingga berbisik lemah. Johan cuma mengangguk.
Dia menjaga perasaan Jingga.
Siapa Baba? Jingga selalu menyebut
namanya dua minggu belakangan Johan selalu berpikir
keras tanpa berani bertanya ketika Jingga mulai menyebut nama Baba.
Martini
masuk kedalam kamar. Dia kelihatan sedih. Dia mendekati Jingga. Duduk di pinggiran
kasur. Tangannya mengelus kepala Jingga.
“Jingga…
jangan sakit. Mama sedih waktu Jingga sakit,” Jingga terpejam sampil menikmati
tangan Martini yang hangat.
Johan
tiba di depan pintu kamar sambil membawa baki makanan. Dia tersenyum.
Beberapa
detik kemudian. Martini bangkit. Matanya kelihatan tegang dan marah. Dia
menghampiri Johan. Dia rebut baki yang ada di tangan Johan. Dia membanting baki
itu ke lantai. Pecahan piring berserakan.
“Tidur!
Tidur! Kamu cuma bisa tidur!” Jingga tergagap. Dia memaksa membuka matanya yang
berkunang- kunang.
Martini
menghampiri Jingga. Dia menjambaki Jingga.
“Papa
tolong…,” Johan cuma menggeleng. Pipinya basah. Dia membalik badan dan berjalan
menjauhi kamar. Jingga menjerit kesakitan berkali- kali.
“Martini
baik- baik saja. Dia tidak gila. Dia memukuli Jingga karena Jingga memang
nakal,” Johan berbisik berkali- kali. Dia duduk di lantai teras rumah.
“Jingga!
Jangan lari!” Martini menjerit. Jingga berlari. Dia berhenti di teras rumah
sambil membawa pecahan piring.
Jingga
mengacungkan pecahan piring itu kedepan.
“Jingga!”
Johan ikut menjerit.
“Papa
tidak pernah membela Jingga! Papa tidak pernah melindungi Jingga!” Jingga
berteriak sambil kembali menerobos masuk rumah. Dia menyeret Martini hingga
teras. Pecahan kaca dia tusukkan di leher Martini.
Martini
menjerit sekerasnya. Para tetangga mulai berdatangan.
***
“Baba
melindungi aku dari Mama!” Jingga menggeliat di atas kasur rumah sakit. Kaki
dan tangannya diikat di tiap ujung
kasur.
Lomba yang saya maksud, adalah lomba yang diadakan oleh Forum Sastra Bumi Pertiwi (FSBP). Tidak seperti lomba lain yang sudah nampak ganjil di depan. FSBP makin menampakkan keganjilannya justru saat distribusi buku bersama Be Book Publisher. Antara penyelenggara dan penerbit indie yang ditunjuk, saling lempar tanggung jawab. Ternyata, penyelenggara dan penerbit yang ditunjuk, hanya mengincar naskah para peserta. Kerjasama dengan penerbit indie Be Book, tidak sedari awal diketahui peserta.
No comments:
Post a Comment